Minggu, 19 Februari 2017

UPACARA NEGTEGANG



      "NEGTEGANG BERAS"   
Sejatinya tujuan utama dari kita berupacara adalah suatu langkah untuk mendekatkan diri kepadaNya guna senantiasa kita ada dalam lindunganNya. Untuk tujuan itulah kita kebanyakan (selain penganut faham atheisme) memeluk salah satu agama yang kita yakini sebagai jalan terbaik kita untuk selalu terhubung denganNya. Riilnya agama tertua yang diwahyukanNya ke bumi pada sebagian kecil ajarannya mengenal empat jalan untuk terjadinya perubahan hidup kearah yang lebih baik lahir dan bathin, hal itu lumrah disebut catur marga (catur yoga. Keempatnya merupakan jalan/marga untuk menghubungkan/mendekatkan diri denganNya/ Hyang Widhi : bhakti marga, karma marga,jnana marga, dan raja marga.

Khusus tentang bhakti marga, merupakan suatu usaha menghubungkan diri denganNya beserta manifestasinya dengan cara sujud bakti, menyucikan pikiran, mengagungkan kebesaranNya dan menghindarkan diri dari aneka perbuatan tercela/ menjauhi semua laranganNya. Demi lancarnya pelaksanaan bhakti marga umat Hindu membuat suatu media diantaranya berupa aneka tempat suci ( Kamar Suci,merajan, pura ), serta  pratima, upakara, dan yang lainnya. Tempat sucinya umat Hindu yang populer itu adalah pura (replika sorga), purapun didirikan dengan aneka upakara sakralnya misalnya mecaru, melaspas, dan ngenteg linggih yang acapkali disebut karya agung. Hindu itu agama nan unik bukan ribet, buktinya semua ritual keagamaannya ada tingkatan-tingkatannya dari manista, madya dan utama     yang semuanya mengandung nilai budaya dan filosofi tinggi. 

            Kita ambil contoh, salah satu jenis ritual yang disebut “Negtegang manik galih/negtegang baas”, ritual ini tidak dilaksanakan jika upacara yadnya hanya berupa puja wali biasa/ngodalin biasa . Negtegang manik galih baru dilaksanakan setingkat upacara yadnya  yang tergolong besar  . Negtegang manik galih/baas, kurang lebih merupakan suatu prosesi keagamaan yang menyatakan suatu kesanggupan untuk melaksanakan yadnya yang terkatagori besar dalam artian siap mental juga materi. Selain itu upacara negtegang tersebut bertujuan untuk membersihkan alat-alat upakara yang akan digunakan untuk membentuk bebantenan. Ritual yang satu ini berserana utama beras, beras diupacarai sebagai simbul kesiapan beryadnya dalam artian hingga batas waktu selesainya upacara yadnya dimaksud yakin tidak akan kekurangan sandang pangan, utamanya segala kelengkapan upakara yadnya yang akan dipersembahkan harus mendapat penglukatan/pemarisuda di saat upacara negtegang diselenggarakan. Idealnya saat upacara negtegang tersebut heddaknya membuat satu tempat sakral yang sering disebut dengan “Lumbung Ayu”. Di Lumbung Ayu tersebut ditempatkan beberapa jenis sarana upakara, misalnya beras, beras merah, ketan, injin dan kacang-kacangan. Tak luput juga sarana lainnya seperti minyak, gula, kopi, gula aren, tepung,bahan bumbu-bumbuan, daun, kayu bakar dll untuk dibersihkan/diparisuda agar nantinya bisa digunakan sebagai sarana upakara. Sarana yang digunakan saat membuat suatu upakara hendaknya suci, maka dari itu upacara negtegang dan nyangling itu sangatlah perlu dilaksanakan. Upacara negtegang tersebut dilaksanakan setelah pelaksanaan matur piuning/pemiut, lalu nanceb tetaring dan pemelaspas tetaring. Setelah alam/bhuana agung bersih, maka dimulai untuk membawa alat-alat dan sarana upakara ke pura, saat itulah mulai dipersiapkan upacara negtegang.
           
            Dalam rangkaian tersebut dilaksanakan pula upacara pengraksa karya, ngadegang tapini, maguru dadi, mapengalang dan ngunggahang sunari. Pengraksa Karya/pangemit karya bertujuan untuk memohon bantuan kepada para bhuta kala dan panca korsika agar tidak mengganggu jalannya upacara. Sri Raksa (bhuta Ulu Guwak), Guru Raksa (bhuta Ulu Asu), Rudra Raksa (bhuta Ulu Singa) , Kala Raksa (bhuta Ulu Gajah) dan Siwa Raksa Bhua (Ulu Lembu). Mereka berada disetiap sudut pekarangan Pura/Mrajan. Mereka akan menolak segala yang berbau negative yang akan mengganggu jalannya upacara, dari memedi, wong samar yang akan menyebabkan koos/boros serta para tamu-tamu yang berdatangan akan merasa nyaman dibuatnya. Setelah mepengemit karya lalu upacara mepengalang sasih di depan candi bentar (jaba Sisi). Tujuan dari pada mepengalang adalah untuk memohon kesucian pikiran dan keterangan hati dalam melaksanakan upacara. Mepengalang sasih ini juga bermakna “galang” layaknya disaat malam yang gelap lalu disinari dengan cahaya rembulan purnama. Apapun yang kita cari tidak akan menemui hambatan karna telah tercerahkan, galang juga bermakna tidak merasakan cuntaka/kesebelan,karna dengan nunas tirta pengalang tersebut maka pikiran kita menjadi bersih, suci dan siap untuk ngayah membuat upakara yang suci. Lalu ada upacara ngadegang Taksu tapeni/Betari Uma Dewi, beliau adalah dewanya tukang banten, yang mana kalau disimbulkan dalam upakara beliau adalah dewi dari betara siwa yang selalu mendampingi beliau untuk mengajarkan umat Hindu membuat/ngereka upakara/banten. Dewa Siwa sendiri bergelar Sang Hyang Rare Angon, beliau akan ngangon atau mengajarkan umatNya untuk selalu melaksanakan ajaran agama berdasarkan susastra suci(Weda). Itulah tujuannya melaksanakan upacara meguru dadi, agar apapun yang dikerjakan mendapatkan bimbingan dan arahan supaya tidak keliru dalam membuat alat dan sarana upacara. Kemudian ada upacara ngunggahang Sunari, acara ini bertujuan untuk menyampaikan informasi tentang pelaksanaan upacara tersebut kesegala arah, dari sapta petala, sapta dewata sampai ke sapta sunia. Itulah sebabnya lubang yang terdapat dalam sunari itu berjumlah tujuh buah/sapta Brahman. Sunari/Sundari juga berarti indah, harmonis. Alunan suaranya yang indah itu akan mengundang perasaan yang damai, nyaman, tentram dalam melaksanakan ritual keagamaan. Dalam batang sunari tersebut terdapat pula hiasan Kera sebagai lambang Angin (Marut/maruti/Hanoman). Disisi lain Sunari juga bermakna “Sunar’/Sinar” dan I bermakna menuju, jadi dengan sunari kita dihrapkan menuju pada kecerahan sinar. Anak kera juga juga bernama “Ape”, jadi karena “sing nawang ape”maka perlulah sinar pencerah agar dapat melaksanakan upacara dengan baik dan benar.

Lumrahnya setelah upacara negtegang manik galih keesokan harinya/lusanya dilanjutkan dengan upacara “nyangling” dan ngingsah beras catur warna. (mencuci beras serana upakara misalnya bahan tepung untuk nyamuh). Upacara nyangling dan ngingsah beras dapat juga diartikan sebagai simbol dari kesiapan umat untuk melaksanakan upacara yang terkatagori karya agung. Nyangling sama artinya dengan nyelir yang pada intinya menunjukkan kesiapan seluruh umat Hindu untuk melaksanakan semua rangkaian upacara yang telah dijadwalkan hingga ke akhir acara yadnya. Nyangling juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang bersih, bening, nyalang/bersih bersinar, setelah upacara ngingsah dilanjutkan dengan ngereka beras catur warna untuk membuat lingga dari betara sri dan betara sedana ( sang Hyang Manik Galih ), dibutuhkan 2 buah bokor, dialasi dengan kain putih untuk reka betara sedana (oleh laki-laki) dan kain kuning sebagai reka betari sri (oleh perempuan) dengan masing masing 3 buah kwangen, beras ditempatkan paling atas sebagai kepala, di bahu dan lengan ditempatkan ketan, lalu di perut memakai injin dan di kaki beras merah. Lingga tersebut dilengkapi dengan kwangen dan uang bolongnya. Air ingsahan beras tersebut disiramkan pada kaki-kaki pelinggih di pura untuk mohon kesejahteraan. Setelah upacara tersebut dilaksanakan maka untuk setiap harinya dilaksanakan upacara penyahian, dengan mempersembahkan banten sewentena/soda dan segehan kemasing-masing bucu/pengraksa karya dan dihadapan taksu/tapeni. “Nahanta karuhunakena krama tapeni, duk angengkab karya bebanten ring penyamuhannya akarya sesanganan adegakena widhining tukang rumuhun, Betari Uma maka widhining tukang, maka sajna sang hyang Tapeni ana pariwaranya watek apsari, maaran dewa Pradnyan, Dewi Wastu, Dewi Kedep, ika maka guruning tukang atanding banten, ika astiti akna rumuhun dening sopakaraning daksina panuntun mwang pras, canang wangi-wangi mwang soda, ajuman katipat kelanan, canang raka rayunan muncuk kuskusan, iwak sarwa suci, sari arta sakotama
Mwang ana pariwaranya watek bhuta, ngaran ni Buta Kencak, Ni Bhuta Swadnya, Ni Bhuta Pancad, ika kang juru karya gupuh, wehana labaan, sega telung pangkonan, iwak sakewenang. Wus mangkana angawiti sira akarya, den ambek suci juga ayuwa sabda gangsul, wak prakasa, mwang cemer, tinemah kita de betari, balik sabda rahayu juga ucap menk maka ucapanta, apan risedengta akarya banten ya ika kalanta angajum rupa warnaning mwang pawanganing sarwa Dewata-Dewati, Bhatara mwang Bhatari, ika nimitaning whidi widana aranyaikang sarwa bebanten, apanya dadi lingga, dadi saksi, dadi cahya, dadi cihnaning wang astiti bhakti ring widhi, panunggalanya ring raga juga ya staning widhi anuksma, ring bumi unggwaning astiti.
Seimbangkan antara upakara, ritual dan tattwanya, karena itu merupakan yadnya, kalau menyimpang dari tattwanya disebut “buta”, kalau tidak memakai tatanan/susila yang benar disebut “tuli”, kalau tidak menggunakan upakara disebut “lumpuh”, kerjanya sia-sia, karena merupakan manipestasi dari tubuh kita. Maka dari itu marilah kita bersama belajar tentang hakekat upakara dan upacara, agar senantiasa kita memperoleh kedamaian dan kesejahteraan, karena dengan mengikuti tuntunan sastra kita berupacara akan memperoleh hasil yang maksimal. Salam Mk Pasek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar