SEJARAH TOPENG SIDAKARYA
Sejarah
Topeng Sidakarya diawali dari perjalanan seorang Brahmana yang bernama Brahmana
Keling. Berikut adalah ringkasan dari perjalanan beliau. Pada jaman dahulu di
suatu daerah yang bernama Keling ada seorang pendeta yang sangat termashyur
karena pandangannya tentang kebenaran yang utama yang mempunyai “Ilmu Kelepasan
Jiwa”. Ia disebut sebagai Brahmana Keling karena beliau berasal dari sebuah
daerah yang bernama Keling di Jawa Timur. Beliau juga mendirikan pesraman atau
pertapaan di lereng Gunung Bromo. Brahmana Keling adalah putra dari Danghyang
Kayumanis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Mpu
Beradah. Tetapi sampai saat ini belum ada yang tahu nama Beliau yang
sebenarnya, karena beliau berasal dari daerah Keling maka beliau dipanggil
dengan sebutan Brahmana Keling.
Dalam buku
Babad Sidakarya karangan I Nyoman Kantun, S.H. MM dan Drs. I Ketut Yadnya
terbitan PT Upada Sastra pada tahun 2003, diceritakan bahwa Brahmana Keling
melakukan perjalanan ke Madura, Bali, dan terakhir menuju Badanda Negara atau
Sidakarya sekarang. Berikut ini adalah riwayat perjalanan beliau.
Perjalanan Brahmana Keling ke
Madura
Konon
kerajaan Madura pernah lalai untuk menunaikan Saji Pepajegan yang
merupakan upacara tarian persembahan kepada para Leluhur. Karena raja pada
waktu itu kurang yakin terhadap akibat yang ditimbulkan apabila upacara tidak
dilaksanakan, dan juga rakyat Madura kurang memperhatikan serta melupakan
tradisi warisan dari generasi sebelumnya, akhirnya terjadi kekacauan di
Kerajaan Madura. Mendengar peristiwa itu, Brahmana Keling lalu pergi ke Madura.
Sesampainya beliau di Madura, Raja menjamunya selayaknya menjamu seorang
Brahmana. Saat itu, beliau banyak memberikan nasihat – nasihat terutama untuk
Sang Raja agar upacara yang Saji Pepajegan dilaksanakan dengan baik
demi kesejahteraan rakyat. Awalnya Raja tidak percaya terhadap nasihat – nasihat
yang diberikan oleh Brahmana Keling kepadanya, tetapi Brahmana Keling tidak
putus asa begitu saja karena Beliau tahu bahwa Sang Raja selalu dihantui oleh
rasa bimbang.
Supaya Sang Raja merasa yakin,
Akhirnya Brahmana Keling memperlihatkan dan menunjukkan kekuatan batinnya
dengan cara Pohon pisang yang sudah layu dan kering Beliau hidupkan lagi
sehingga menjadi hijau dan subur kembali, Benang yang semula berwarna hitam
dalam sekejap beliau rubah menjadi berwarna putih, dan hal – hal aneh lainnya
yang Brahmana Keling tunjukkan pada Raja agar Sang Raja percaya padanya.
Akhirnya Sang Raja terperangah dan terpesona melihat keajaiban yang
Brahmana Keling tunjukkan. Sejak saat itu, Sang Raja sangat taat menjalankan
petunjuk – petunjuk yang diberikan oleh Brahmana Keling, beliau juga ditunjuk
untuk memimpin upacara di Madura. Setelah itu, upacara – upacara seperti tari
saji pajegan berlangsung dengan lancar dan sukses. Keadaan kerajaan kembali
aman dan tenteram. Oleh karena itu di Madura beliau dijuluki sebagai Brahmana
Wasaka yang kira – kira berasal dari kata Wacika yang berarti
ucapan atau perkataan dan Satya yang berarti kesatria atau kebenaran.
Secara umum Brahmana Wasaka berarti apa yang beliau ucapkan selalu dapat
dibuktikan kebenarannya (sidhi ngucap sidhi mandi). Beliau selanjutnya
kembali ke Jawa Timur.
Perjalanan Brahmana Keling ke
Bali
Sekembalinya
beliau ke Jawa, dengan perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, sampailah
beliau di sebuah Desa bernama Desa Muncar. Di sini beliau beristirahat sejenak sambil menikmati keindahan panorama
selat Bali. Tiba – tiba muncul ayahnya (Dang Hyang Kayumanis) yang bercerita
panjang lebar tentang keberadaannya di Nusa Bali. Ayah beliau juga bercerita
tentang kerajaan Gelgel yang dipimpin oleh Dalem Waturenggong dan didampingi
oleh Dang Hyang Nirartha sebagai penasehat dalam bidang keagamaan (kerohanian)
yang akan melaksanakan upacara Eka Dasa Rudra di Pura Besakih.
Setelah pertemuan Dang Hyang Kayumanis dan Brahmana Keling, Sang Ayah
melanjutkan perjalanan ke Pesraman di Jawa Timur (Daerah Keling) sedangkan sang
Anak melakukan perjalanan ke pulau Bali menuju Kerajaan Gelgel.
Tak ada yang tahu tentang bagaimana
perjalanan Brahmana Keling ke Bali. Sesampainya beliau di Gelgel, Kerajaan
sedang dalam kondisi sepi dan beliau disapa oleh beberapa pemuka masyarakat
yang ada di Kerajaan. Beliau tiba dalam kondisi lesu, lusuh, dengan pakaian
yang kumal dan kotor. Ketika beliau ditanya tentang tujuan beliau ke Gelgel,
beliau menjawab bahwa beliau ingin menemui saudaranya yaitu Sang Prabu Dalem
Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Karena orang yang ingin ditemui oleh
Brahmana Keling tidak ada di Kerajaan, maka beliau dipersilahkan oleh pemuka
masyarakat yang menyapa beliau untuk menuju ke pura Besakih sebab mereka sedang
mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan upacara Eka Dasa Rudra.
Sesampainya beliau di pelataran Pura Besakih, beliau disapa oleh masyarakat
yang sedang ngayah dan ditanyakan maksud kedatangan beliau. Brahmana Keling
menjawab bahwa beliau ingin bertemu saudara beliau yaitu Dalem Waturenggong dan
Dang Hyang Nirartha. Masyarakat tadi tidak percaya terhadap jawaban Brahmana
Keling yang mengaku – ngaku sebagai saudara dengan Dalem junjungannya, bahkan
masyarakat ini tersinggung karena menurutnya tidak mungkin Dalem junjungannya
memiliki saudara yang penampilannya seperti pengemis. Tetapi Brahmana Keling
tetap bersikeras dan beliau berhasil masuk ke dalam pura. Akhirnya mungkin
karena kelelahan, Brahmana Keling langsung menuju ke pelinggih Surya Chandra
dan duduk beristirahat untuk melepas penatnya. Tak berselang berapa lama,
datanglah Sang Prabu Dalem Waturenggong, begitu beliau menoleh ke atas
pelinggih Surya Chandra alangkah terkejutnya beliau. Karena murkanya beliau
langsung memanggil prajurit untuk menanyakan siapa gerangan orang yang telah
berani duduk di atas pelinggih Surya Chandra. Prajurit menjawab bahwa orang itu
(Brahmana Keling) memang dari tadi memaksa untuk masuk dan beliau mengaku
sebagai saudara Sang Prabu dan Dang Hyang Nirartha. Tetapi tidak ada yang tahu
mengapa tiba – tiba orang itu sudah ada di atas pelinggih Surya Chandra.
Bertambah murkalah Sang Prabu setelah
mendengarkan apa yang disampaikan oleh prajurit tersebut. Sang Prabu lalu
memerintahkan Rakyat dan semua pengayah untuk mengusir orang yang disangka gila
tersebut. Karena saking mulianya hati sang Brahmana, beliau tidak melawan
sedikitpun saat diusir oleh rakyat dan pengayah karena Sang Prabu sudah tidak
mengakui beliau sebagai saudara lagi. Sebelum Brahmana Keling meninggalkan
Besakih, beliau mengucapkan kutukan yang berbunyi “wastu tata astu
karya yang dilaksanakan di pura Besakih ini tan Sidakarya (tidak sukses), bunga
kekeringan, rakyat kegeringan (diserang wabah penyakit), sarwa gumatat gumitit
(binatang kecil/hama) membuat kehancuran (ngerebeda) di seluruh jagat (bumi)
Bali.” Begitulah ucapan yang keluar dari mulut Brahmana Keling yang
bagaikan suara petir di langit yang cerah. Semua masyarakat menyaksikan dengan
mulut menganga, terpaku tak berkutik sedikitpun. Lalu Brahmana Keling
meninggalkan Besakih menuju Barat Daya.
Dan apa yang dikatakan oleh Brahmana
Keling menjadi kenyataan hingga dalam suatu pertapaan yang dilakukan oleh Dalem
Waturenggong, beliau mendapat pawisik yang mengatakan bahwa hanya Brahmana
Keling saja yang dapat mengembalikan keadaan seperti semula, lalu Brahmana
Keling dijemput oleh rombongan dari kerajaan Gelgel dan Brahmana Keling
bersedia untuk menghadap Dalem Waturenggong di kerajaan Gelgel. Ternyata
setibanya Brahmana Keling di Kerajaan Gelgel, beliau dapat mengembalikan
keadaan seperti sedia kala, menjadi aman dan tentram. Sehingga beliau
dianugrahi gelar Dalem Sidakarya.
Sebagai penghormatan dan kenangan dari
peristiwa di atas, selanjutnya dari ketiga tokoh penting dalam pemerintahan
Dalem Waturenggong yaitu Dalem Waturenggong sendiri, Dang Hyang Nirartha, dan
Dalem Sidakarya, akhirnya Dalem Waturenggong memerintahkan Pasek
Akeluddadah untuk pertamakalinya membuat tapel atau topeng yang
menggambarkan Sang Tiga Sakti atau ketiga tokoh yang berperan penting dalam
pemerintahan Dalem Waturenggong. Menurut orang yang menulis buku ini,
Akeluddadah berasal dari dua kata yaitu Akelud yang berarti penyucian atau
pembersihan(pemarisudha) dan Dadah yang berarti air atau air
suci(tirta). Jadi Akeluddadah berarti tirta pemarisudha atau penyucian segala
bentuk mala atau kotoran yang disimbolkan dengan topeng yang
dipentaskan sebagai tarian sacral pada sebuah pelaksanaan upacara Yadnya.
Karena I Pasek ini berjasa dalam membuat topeng Akeluddadah, maka beliau
disebut dengan Pasek Akeluddadah. Namun topeng yang dibuat oleh Pasek Akeluddadah
belum diketahui keberadaannya.
Demi kesempurnaan upacara Yadnya, sebagai
penutup rangkaian upacara dipentaskan Tari Topeng Sidakarya yang dalam
pentasnya dapat dibawakan dengan seorang diri (memajeg) atau ditarikan
oleh lebih dari satu orang tergantung keadaan. Dalam Tari Topeng Sidakarya,
tokoh penting yang ditampilkan adalah Tokoh Dang Hyang Nirartha sebagai
Pendeta, Dalem Waturenggong sebagai Penguasa/Raja dan Dalem Sidakarya yang
disebut sebagai Sang Tiga Sakti.
Perjalanan Brahmana Keling ke Badanda Negara(Sidakarya sekarang)
Singkat cerita sampailah Brahmana Keling
di Badanda Negara yaitu di Desa Sidakarya sekarang. Badanda Negara berasal dari
kata Badanda yang berarti Padanda atau pandan (pohon berduri) dan Negara
berarti Wilayah, maka Badanda Negara berarti Pandan Negara atau suatu wilayah
dimana banyak tumbuh pohon pandan dan sejenisnya. Di pesisir selatan kerajaan
Badung banyak ditumbuhi dengan pohon pandan, jeruju, serta bakau, oleh karena
itu daerah pesisir ini lumrah disebut dengan Badanda Negara atau Pandan
Negara. Di sana beliau membuat pesanggrahan / pesraman sebagaimana layaknya
seorang Brahmin.
Sepeninggal Brahmana Keling dari Pura
Besakih, tidak berapa hari suasana jagat Bali terutama kerajaan Gelgel dan
sekitarnya berangsur – angsur menampakkan situasi yang tidak mengenakkan.
Seperti ucapan Sang Brahmana Keling dalam kutukannya, semua pohon – pohonan
yang berguna bagi pelaksanaan karya Eka Dasa Rudra di Besakih seperti kelapa,
pisang, padi, sayuran, dan sebagainya semua layu. Buah – buahan berguguran,
wabah dan hama seperti ulat, tikus, dan lain – lain semakin banyak dan ganas
menyerang tanaman – tanaman petani. Bumi seketika menjadi kering kerontang,
wabah penyakit (gerubug) menyerang penduduk. Terjadi pertengkaran
antar pengayah yang disebabkan oleh hal – hal yang sepele, hingga keadaan
menjadi kacau balau. Oleh karena itu, pelaksanaan karya urung dilaksanakan,
karena sudah tidak memungkinkan untuk diteruskan. Melihat kenyataan seperti
itu, Dang Hyang Nirartha diperintahkan oleh Dalem Waturenggong melakukan
upacara pembasmian, bahkan dengan dilakukannya tapa semadi oleh Dang Hyang
Nirartha seakan – akan tidak mempan, bahkan terkesan masalah semakin menjadi –
jadi. Semua keadaan serba menyedihkan. Akhirnya Ida Dalem sendiri yang turun tangan.
Pada suatu malam Dalem Waturenggong mengadakan Tapa Semadi di Pura Besakih.
Beliau mendapatkan pewisik dari ida Betara yang berstana di Pura Besakih, bahwa
Dalem Waturenggong telah berdosa karena mengusir saudaranya sendiri secara hina
dan hanya Brahmana Kelinglah yang dapat mengembalikan keadaan seperti sedia
kala.
Setelah mendapatkan petunjuk berupa
pawisik, esok harinya Dalem Waturenggong langsung memanggil perdana menterinya
yaitu Arya Kepakisan (Gusti Agung Petandakan) serta memanggil para patih lainnya
seperti Arya Pengalasan, Arya Ularan, dan lainnya termasuk para punggawa untuk
mengadakan siding. Dalam Sidang tanpa agenda tersebut, diputuskan agar
menjemput Brahmana Keling yang pernah diusir sebelumnya secepatnya karena hanya
beliau yang dapat mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Dikatakan juga
bahwa beliau (Brahmana Keling) sedang berada di Badanda Negara yaitu di pesisir
selatan Kadipaten Badung. PAda waktu itu yang menjadi Anglurah (Raja) di
Badanda Negara (Badung) adalah I Gusti Tegeh Kori dari Dinasti Tegeh Kori.
Singkat cerita berangkatlah rombongan yang
ditugaskan untuk menjemput Brahmana Keling ke Badanda Negara. Pertama – tama
mereka menuju Kerajaan Tegeh Kori untuk meminta petunjuk lebih lanjut.
Akhirnya mereka diarahkan untuk menuju Pandan Negara (Pesisir Selatan
Kerajaan Badung yang menjadi Sidakarya sekarang). Sesampainya rombongan di
Pandan-Negara, bertemulah mereka dengan Brahmana Keling. Mereka langsung
menghaturkan sembah sujud mohon ampun sekaligus menceritakan tentang maksud
kedatangan mereka menghadap beliau. Sesuai dengan perintah Dalem Waturenggong,
Brahmana Keling diminta untuk bersedia datang kehadapan Dalem Waturenggong
sesegera mungkin. Sesudah mereka bercerita, Brahmana Keling mempersilahkan
mereka untuk kembali ke Kerajaan Gelgel lebih dulu, Brahmana Keling akan
menyusul kemudian.
Topeng
Sidakarya
|
Selain versi cerita di
atas ada juga versi cerita lainnya tentang kedatangan Brahmana Keling ke Bali
yang sedikit berbeda namun intinya tetap sama. Kisahnya konon terjadi pada
pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel, tatkala beliau mengadakan upacara
besar di Pura Besakih. Banyak pandita yang diundang untuk muput upacara ini. Tersebutlah pandita (brahmana) sakti
dari Keling, yang tidak diundang dalam upacara itu, tetapi ingin terlibat muput
karya. Niatnya ini karena didasarkan pada hubungan kekerabatan antara Keling di
Jawa dan Gelgel di Bali karena itu beliau datang. Sayangnya, karena perjalanan
yang jauh dan berhari-hari, Pandita Keling sampai di Gelgel dalam keadaan
kumal, bajunya compang-camping, mirip seorang pengemis. Dalam pakaian seperti
itu, tak ada seorang pun staf kerajaan yang percaya kalau tamu tanpa diundang
ini seorang pandita. Maka, Pandita Keling diusir dengan paksa, setelah sebelumnya
sempat dihina.
Pandita
Keling pergi dengan dendam. Di sebuah tempat yang sepi, dia melakukan
perlawanan dengan mengucapkan mantra yang berisi sumpah yadnya yang
diselenggarakan oleh Dalem Waturenggong tidak akan membawa berkah/tidak
berhasil, malahan menimbulkan bencana. Semua banten menjadi busuk dan
tikus-tikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus semakin banyak sampai
merusak tanaman petani. Rakyat menjadi resah. Raja Waturenggong dalam samadinya tahu
siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia lantas mengutus Arya Tangkas
untuk menjemput pandita yang masih tinggal di tempat sepi (suung) itu. Raja
meminta maaf dan mempersilakan Pandita Keling untuk ikut muput upacara bahkan
menjadi pamuput paling akhir sehingga karya itu menjadi sida (diberkahi).
Prosesi ini bagi masyarakat kebanyakan lantas disebut pamuput Sidakarya.
Dari legenda itu masyarakat Hindu di
Bali lantas membuat Topeng Sidakarya. Wujudnya berwajah jelek dengan gigi
merangas sebagai simbol dari pandita yang wajahnya mirip gelandangan. Karena
itu, penari Topeng Sidakarya biasanya lebih banyak menutup wajah (terutama
mulut) dengan kain putih yang dibawanya. Namun, mantra yang diucapkan sangat
bertuah karena dilakukan dengan ngider buwana (ke segala arah). Itu sebabnya,
tidak semua penari topeng mampu menarikan Dalem Sidakarya.
Proses Tarian dan Ritual Pembuatan
Topeng Sidakarya
Adapun ciri –
ciri dari topeng Sidakarya adalah berwarna putih, bermata sipit, giginya agak
maju (jongos), berwajah setengah manusia dan setengah demanik, berambut sebahu,
memakai kerudung yang dirajah, dan penarinya biasanya membawa bokoran berisi
canang sari, dupa, beras kuning, sekar ura, dan sebagainya sebagai symbol
kedarmawanan. Penari topeng sidakarya lalu menari dangkrak – dingkrik
dan dilanjutkan dengan menangkap penonton yang masih anak – anak lalu diberikan
uang kepeng yang artinya kurang lebih sebagai perwujudan mengobati orang sakit
serta memberikan kesejahteraan pada orang lain. Ini juga merupakan simbolis
siklus kehidupan yaitu lahir, kecil, muda, tua, mati. Setelah itu penari
mengucapkan (ngucarang) mantra yang isinya:
“Dadia punang ikang kalan
nira, mijil Dalem Sidakarya, kadi gelap dumereping randu raja menala, gumeter
ikang pretiwi apah teja bayu akasa, lintang tranggana ketekeng surya senjana
metu aku saking Mutering Jagat Sudha butha kala liak, desti teluh trangjana
pada nembah tanwani teken aku, apan aku mawak pemarisudha jagat. Sakuwehing
mala, lara, roga, wigena pada geseng. Ong, Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang,
Mang, Sing, Wang, Yang.”
Setelah
nguncarang mantra tersebut dilanjutkan dengan menaburkan beras kuning yang
menyimbulkan pemberian laba kepada para Butha Kala supaya tidak
mengganggu ketentraman hidup manusia, serta menebarkan kesejahteraan pada umat
manusia sehingga terwujud rahayuning jagat. Serta dibarengi dengan
penebaran sekar ura yang merupakan symbol medana – dana (bersedekah)
. Dengan selesainya pementasan Topeng Sidakarya maka tuntaslah segala rangkaian
pelaksanaan upacara Yadnya yang disebut “Sidakarya”.
Ø Ritual pembuatan
Tak hanya sang penari, proses pembuatannya
pun tak bisa sembarangan karena memang tak dipakai untuk sembarangan. Topeng
Sidakarya ini lain dengan topeng-topeng yang dibuat dan dijual secara massal,
seperti di pasar-pasar kerajinan atau pasar oleh-oleh. Perbedaannya bisa mulai
dari pemilihan bahan kayu, ritual memulai memahat, pengawetannya, hingga ritual
penghidupan topeng tersebut. Namun, jangan salah paham dengan adanya ritual
penghidupan topeng ini. Penghidupan ini bukannya topeng tersebut kemudian bisa
berbicara, melainkan dimaksudkan terasa lebih hidup dan menyatu dengan sang
penarinya, yakni proses inisiasi (penyucian) dan pesupati (menghidupkan).
Biasanya, si penari topeng Sidakarya yang telah mewinten memiliki satu topeng
khusus untuk dirinya ngayah. Satu hal lagi, pembuat topengnya pun melewati
tahapan mewinten. Ida Bagus Sudiksa (51), asal Banjar Jambe, Kerobokan Kaja,
pun mengingatkan permintaan membuat topeng Sidakarya ini tidak bisa sembarangan
meminta. Menurut dia, penyakralan pada pembuatan topeng ini mampu menahan
manusia untuk tidak semena-mena terhadap alam, khususnya pepohonan. Ia
beranggapan pendahulunya telah memikirkan bagaimana agar manusia tidak
sembarangan menebang atas nama kesenian, budaya, atau adat. Karena itu, dari pemilihan
kayu hingga penebangannya pun harus disesuaikan dengan musim serta hari baiknya
dengan tujuan agar alam tidak murka. Namun, ketika topeng sudah menjadi
kerajinan yang dibuat secara massal, manusia menjadi rakus tanpa memilih kayu
itu sudah cukup umur sampai tanpa pemilihan musim yang tepat pula. Semua demi
kepentingan uang, bahkan pariwisata. Wajar jika kemudian alam menjadi murka.
Inilah salah satu pesan topeng Sidakarya tentang alam. Waktu pembuatan topeng
sakral ini pun bervariasi, tergantung dari mood sang pengukirnya, bisa hanya
tiga hari atau sebulan. Sama halnya dengan Pak Nang Tesen, Sudiksa pun
mendapatkan bakat keturunan dari almarhum ayahnya, Ida Pedanda Gede Telaga.
Mereka ini bukan perajin, melainkan seniman yang telah melalui tahapan penyucian.
Namun, bakat ini bisa dipelajari dan tidak semuanya mendapatkan dari garis
keturunan.
Hal yang unik selama pembuatan topeng
sakral, antara lain, adalah pengawetannya yang harus direbus dengan kuah bumbu
genep (bumbu dapur lengkap) selama 12 jam tanpa putus. Meski demikian, lanjut Sudiksa yang juga dosen
manajemen pemasaran di Universitas Udayana itu, awet dan tidaknya topeng juga
tetap tidak lepas dari awal pencarian kayu cendana, pole, atau batang kamboja,
termasuk pemilihan tanggal penebangannya. Ia menambahkan, dari sejak ayahnya
puluhan tahun lalu, semua pembuatan topeng menggunakan ilmu logika.
Sayangnya, bahan pengawetan alami ini
tidak diikuti dengan pewarnaan alami. Sudiksa mengatakan, pewarnaan alami tidak
lagi memiliki kualitas sama kuat antara puluhan tahun lalu dan sekarang. Karena
itu, ia terpaksa menggantikan dengan cat kimia dengan pemilihan kualitas nomor
wahid. Topeng sakral selain topeng Sidakarya di Pulau Dewata, juga ada topeng
yang sengaja disakralkan dan biasanya disimpan di pura-pura, seperti Rangda,
Barong, dan Irarung. Pementasannya pun tidak setiap saat karena memiliki hari
atau waktu pementasan sendiri. Semua topeng sakral ini pun diberikan banten dan
doa-doa, terutama ketika tumpek wayang, sebagai persembahan kepada Dewa Iswara.
Di dalam topeng Pajegan ada topeng
yang mutlak harus ada, yakni topeng Sidakarya. Oleh karena demikian
eratnya hubungan topeng Pajegan dengan upacara keagamaan, maka topeng
ini pun disebut Topeng Wali. Dramatari Topeng hingga kini masih
ada hampir di seluruh Bali.
|
Makna Filosofis Topeng Sidakarya Ditinjau Dari Perspektif Pendidikan
Hindu
Banyak sekali unsur mendidik yang kita
dapat temui dalam Topeng Sidakarya. Baik dari sejarahnya, maupun dalam proses
tariannya. Dalam sejarahnya, saat Brahmana Keling melakukan
perjalanan-perjalanan mulai dari perjalanan ke Madura, ke Bali hingga ke
Badanda (Sidakarya), banyak sekali bisa kita temui aspek-aspek mendidik yang
secara inplinsif mengandung pesan-pesan mulia kepada kita sebagai manusia
khususnya umat Hindu. Seperti pada awal perjalanan beliau ke Madura, yang
disebabkan karena raja di wilayah tersebut telah melupakan tradisi persembahan
tarian Pepajegan yang biasanya
dipersembahkan untuk para leluhur. Dari sini kita bisa belajar bahwa kita tidak
boleh melupakan tradisi yang diwariskan oleh para leluhur kita meskipun kita
sekarang telah memasuki jaman modern. Tradisi leluhur harus tetap dijaga dan
dilestarikan karena itu adalah warisan yang sangat berharga untuk kita yang
tidak bisa kita temui di tempat lain. Dan kita juga harus selalu mengingat para
leluhur kita yang telah mewariskan beraneka ragam kearifan lokal yang saat ini
menjaga kebanggaan kita yang sekaligus membedakan kita dengan daerah lain.
Dilanjutkan dengan saat beliau mendatangi
Bali dengan maksud untuk ikut membantu pelaksaan Karya Eka Dasa Ludra yang
diselenggarakan oleh Raja Dalem Waturenggong (Kerajaan Gelgel) yang masih
saudaranya di Pura Besakih. Raja Waturenggong tidak mau mengakui Brahmana
Keling sebagai saudara karena penampilan beliau yang lusuh seperti pengemis
akibat dari perjalanan jauh yang beliau tempuh. Hal itu membuat brahmana
tersebut merasa terhina, dan akhirnya pergi dari tempat itu. Dan tentunya
dampaknya adalah Karya yang diadakan oleh raja tidak memberi berkah terhadap
kerajaan maupun rakyatnya, malah terjadi kekeringan dan bencana yang melanda
wilayahnya. Dari kejadian tersebut kita bisa petik hikmah dan pembelajaran
bahwa kita tidak boleh memperlakukan sesama ciptaanNya dengan tidak baik. Semua
manusia adalah sama di hadapan Tuhan. Walaupun berbeda kedudukan, status
ekonomi maupun status sosial. Janganlah memandang orang dari penampilannya saja
akan tetapi kita juga harus memandang niat baik dan kesungguhan orang lain.
Kemudian, dari ritual tarian Topeng
Sidakarya kita bisa mengambil beberapa nilai mendidik yang bisa kita jadikan
pembelajaran untuk kita semua. Pertama, sang penari yang menarikan Topeng
Sidakarya menghamburkan beras dalam bokor yang dipegangnya, yang mengandung
arti medana/bersedekah atau juga bisa diartikan “berbagi kebahagiaan”. Pesan
yang dapat kita tangkap adalah sebagai manusia kita harus bisa berbagi dengan
sesama. Tidak hanya mementingkan diri sendiri. Saat kita mendapat rejeki, kita
harus menyadari bahwa kita juga harus ingat dan membantu sesama yang sedang
kesusahan. Dan dalam tarian tersebut, sang penari juga menangkap seorang anak
kecil yang kemudian diberikannya uang, sebagai simbol penyembuhan penyakit dan
pemberian kesejahteraan pada umat. Hal ini mengajarkan pada kita bahwa dana
atau sedekah yang kita berikan kepada sesama yang sedang kesusahan, akan
memberikan kehidupan dan kesejahteraan bagi mereka. Karena kita harus selalu
peduli kepada sesama yang sedang membutuhkan pertolongan.
Secara garis besarnya bila kita kaitkan dengan
Yadnya yang kita lakukan, kita bisa mengambil hikmah bahwa Yadnya yang kita
selenggarakan harus dengan tujuan untuk kesejahteraan dunia, kebahagiaan dan
ketentraman semua makhluk. Kita tidak boleh egois, hanya mendoakan diri sendiri
tanpa perduli dengan sesama ciptaan-Nya. Alangkah indahnya jika Yadnya yang
kita lakukan bisa dinikmati berkahnya oleh dunia dan semua makhluk ciptaan
Tuhan. SEMOGA SEMUA MAKHLUK BERBAHAGIA
terimakasih informasinya. saya sedang mencari buku nya, untuk referensi. bisa di dapat dimana ya?
BalasHapus