Tattwaning
genta
- Lontar Dharmaning Kusuma Dewa dan Lontar Lingganing Kusume Dewa menyebutkan : “Nihan Pawekasing batara, ring pemangkun ida, yan rawuh patatoyan ida ring madia pada, kena pamangkun ida angasrening betara, angagem bajra patatoyan, maka weruh ikang mangku, kawit kertaning betara, yanora ngagem bajra, nora weruh ring kepamangkuan, angora-ora, angiya-ngiya sira, angasa- asa, nora kayun ida turun, apan sira tan meling ring kawit-kawitan kandaning pamangku”.
- BENTUK GENTA
- CARA MEMEGANG GENTA
- Tehnik menyuarakan genta• Brahmara Mangisep Sari• Lembu Mangan Dukut• Bhima Kroda lan welatuk ngulkul
- DISKRIPSI GENTA• Kelahiran Genta • Kitab Mahabrata (Santi Parwa) • Kitab Mahabrata (mandala 100) • Lontar Prakempa • Lontar Kundalini • Wisnu Purana
- KITAB MAHABRATA (SANTI PARWA)Dua orang Pendeta dari sorga yaitu Bhagawan Narada dan Parwata datang kekerajaan bernama sanjaya untuk memenuhi undangan akan mengadakan korban suci(yadnya), agar raja Sanjaya mempunyai Putra. Setelah yadnya dilaksanakan, raja berputra dua orang.
- Karena kesaktian kedua pendeta tersebut Bhatara Indra menjadi iri hati, lalu merubah wujud Genta kedua Pendeta menjadi dua ekor harimau untuk membunuh kedua putra raja.Pada saat itu pula kedua Pendeta itu datang, berkat kesaktian mereka kedua putra raja Sanjaya hidup kembali
- KITAB MAHABRATA (MANDALA 100)• Diceritrakan Dewa Indra berperang melawan Wredasura.• Dewa Indra kalah.• Dewa Indra menghadap Dewa Brahma.• diberi petunjuk mendapatkan salah satu tulang rusuk Bhagawan Dadachi.
- • Tulang rusuk itupun didapatkannya dan dijadikan Genta hingen hiasan angkus pada bagian ujungnya.• Dengan senjata ini wredasura dapat dikalahkan.
- L0NTAR PRAKEMPA• Suara genta = inti alam.• Suara ini berasal dari suara alam (Prakempa ) yang lahir dariYoga Sang Hyang Tri Wisesa.
- dan ada lagi wijaksara yakni dipurwa rupanya putih aksaranya Sang, di tenggara rupanya dadu aksaranya nang, di selatan rupanya merah aksaranya Bang, di barat daya rupanya jingga aksaranya Mang, dibarat rupanya kuning aksaranya Tang, di barat laut rupanya hijau aksaranya Sing, di utara rupanya hitam aksaranya Ang, di timur laut rupanya biru aksaranya Wang, ditengah ardah rupanya manca warna aksaranya Ing, dan di tengah urdah rupanya sarwa warna aksaranyaYang.
- Suara yang ada dari masing- masing arah adalah :• Timur : dang• Tenggara : udang• Selatan : ding• Barat daya : uding• Barat : deng• Barat laut : udeng• Utara : dung• Timur laut : ndeng• Tengah : ndang
- Suara-suara tersebut diatas digabungkan menjadi sepuluh suara yaitu panca suara patut pelog dan panca suara patut selendro. Dari sinilah ada tujuh suara yang merupakan inti sari dari percampuran sepuluh suara yaitu :ding, dong, deng, ndung, dang, dung.ndang. Ini sebenarnya suara yang sejati keluar dan berasal dari ciptaan Sang Hyang Bhuwana yang dinamai Suara Genta Pinara Pitu.
- LONTAR KUNDALINI, Diceritrakan perjalanan Dewi kundalini, bertemu dengan Mahayogi. Dengan kesaktian Dewi Kundalini berhasil masuk ke tubuhYogin setiap kali Dewi Kundalini melewati candra yang ada dalam tubuh Sang Yogin selalu didengarnya suara halus. Adapun suara-suara halus itu tiada lain dari Suara Genta Pinara Pitu.
- WISNU PURANA, Ketika kelompok Asura Mandhena berkuasa, mereka tak segan-segan membuat keonaran di alam. Setiap akan menjelang senja selalu matahari dimangsanya, sehingga dunia ini menjadi gelap. Akhirnya Dewa Brahma beserta para Pendeta melakukan pemujaan dengan memercikkan air suci keangkasa.
- Air suci itu berubah menjadi sebuah Genta. Genta ini dapat menumpas para Asura Mandhena.• Dari sumber metologi di atas, Genta pada mulanya dibuat berdasarkan penafsiran Genta Pinara Pitu dan di dalam Dewa-Dewa Hindu Genta di bawah oleh Dewa Indra dan Iswara.
- HIASAN GENTA
- HIASAN ARCA WISNU
- ARCA BHATARA GURU
- HIASAN LEMBU
- HIASAN KAMBING
- HIASAN NAGA
- HIASAN SIWA DI ATAS LEMBU
- HIASAN BAJRA (PETIR)
- HIASAN GARUDA
- HIASAN GANAPATI
- Bahan Genta• Campuran Emas-Perunggu untuk Genta Utama• Campuran Perak-Perunggu untuk Genta Madya• Campuran Kuningan- Perunggu untuk Genta NIsta
- Fungsi Genta• Sebagai sarana pemujaan• Sebagai simbol• Sebagai kulkul• Sebagai uter• Orag• Lonceng
Genta / Bajra yang sekarang masih
dipakai oleh pemangku
atau para sulinggih
untuk melaksanakan upacara
(ref1). Sedangkan untuk bahan baku genta
seperti logam genta, logam lonceng, logam bel atau ritika merupakan logam yang
cocok dipergunakan sebagai bahan pembuat genta karena bahan - bahan tersebut
menyebabkan suara genta bunyinya amat nyaring bila dipukul.
Logam genta terdiri atas 2 macam yakni ritika dan kakatundi
, yang sebagaimana disebutkan Parisada Hindu Dharma
Indonesia dalam Dhatu atau Logam
:
- Ritika, jika logam ini dipanaskan dan kemudian dicelupkan ke dalam cuka (kanji) warnanya akan berubah menjadi merah tembaga.
- Kakatundi, Bila warnanya berubah menjadi hitam.
Alunan suara sapta
genta dalam tetabuhan selonding menurut Lontar Prekempa
sebagaimana dijelaskan dalam artikel Purantara Bugbug Denpasar, Genta dengan sapta suara yang sering disebut sebagai genta
pinara pitu sejatinya disebutkan berasal dari suaranya alam semesta atau bhuana agung
ini, yang ketujuh suaranya disebutkan berasal dari :
- Byomantara Gosa, berasal dari Akasa
- Arnawa Srutti, sebagai unsur Apah.
- Agosa,
- Anugosa,
- Anumasika dan
- Bhuh Loko Sruti.
- Unsur Pertiwi.
Sapta suara genta yang intinya dihimpun oleh Bhagawan
Wismakarma menjadi Dasa Suara, yaitu
- Lima suara Patut Pelog sebagai Sangyang Panca Tirta
- Lima Suara Patut Selendro sebagai Pralingga Sangyang Hyang Panca Geni.
Sehingga pengembangan sapta suara genta tersebut sampai saat
ini disebutkan dijadikan unsur dewata dalam kreasi gamelan dalam mengiringi
tarian dan seni tradisional Bali yang ada sampai saat ini.
GENTA PINARA PITU : NADA BRAHMAN
Seluruh sistem agama Hindu dan Filsafat Hindu didasarkan
pada ilmu tentang vibrasi yang disebut nada brahman (Donder, 2005: 74).
Demikian pula halnya dengan suara genta sulinggih bisa juga
disebut dengan nada brahman yang kemudian bervibrasi membentuk
beraneka-ragam nada / suara yang dipakai dalam gambelan Bali.
Selanjutnya perkembangan ajaran filsafat Siwa dan
Buddha dalam dimensi lima memiliki kesamaan, sehingga apabila di
interpretasikan dalam bentuk empat kuku kawang dan satu lingga/pusuh
cepaka akan mendapatkan formulasi sebagai berikut :
Persamaan filsafat Siwa dan Buddha dalam dimensi lima
menurut Siwa Tattwa (Siwa Gama) dan Sanghyang
Kamahayanikan, sebagai berikut :
SIWA
|
BUDDHA
|
1. Panca Brahma :
– Içwara (Sadhyota)
– Brahma
(Bamadewa)
– Mahadewa
(Tatpurusa)
– Wisnu
(Aghora)
– Çiwa (Icana)
|
- Aksobhaya (Ah)
- Ratna sambhawa (Rih)
- Amitabha (Trang)
- Amogasiddhi (Hum)
- Wairocana (Ang)
|
2. Pancaksara
: Na,Ma,Si,Wa,Ya
|
2. Pancaksara : Na,Ma,Bu,Da,Ya
|
3. Panca Mahabhuta
: – Pertiwi
– Bayu
– Apah
– Teja
– Akasa
|
3. Panca Dhatu :- Akasa
- Apah
- Teja
- Bayu
- Pertiwi
|
Apabila disimak, makna yang terkandung dari kutipan di atas
bahwa dengan maksud mengundang para dewa, manusia menyuarakan kentongan dewa,
suara kentongan yang di dengar menimbulkan reaksi asosiatif dari para dewa
bahwa di dunia ada upacara ritual dan manusia bermaksud mengundang para dewa.
Geger atau hiruk pikuk, gemuruh (Zoetmulder,2004: 285) merupakan wujud nyata
dalam bentuk perilaku yang timbul dari reaksi asosiatif karena mendengar suara genta.
Sesuai dengan konsep melakukan puputan sudah pasti diikuti dengan suasana ramya
dan sepi (Heneng = nengakna). Skema di bawah ini mungkin lebih memudahkan untuk
memahami fungsi asosiasi sebuah genta.
Skema Asosiatif Genta sebagai Sebuah Tanda
Gambar di atas merupakan imajiner dari pemahaman fungsi
asosiasi genta. Dimulai dari sulinggih yang menyuarakan genta.
Sulinggih berperan sebagai penanda atau yang memberikan tanda dalam
bentuk suara genta yang kemudian di dengar oleh manusia di alam bwah
loka, bhuta kala di alam bhur loka dan dewa-dewa di alam swah
loka. Masing-masing kelompok yang ada pada tri loka mengasosiasikan
tanda atau těngěran (bahasa Jawa Kuno) sebagai pertanda adanya upacara.
Skema Integrasi yang Bersumber dari Asosiatif Genta
Berdasarkan upacara yang berlangsung, genta memiliki
beberapa fungsi praktis diantaranya :
- 1. Fungsi sebagai alat komunikasi dan menghantarkan persembahan umat
- 2. Fungsi praktis sebagai alat konsentrasi
Apabila bentuk genta dengan aksara ongkara pranawa
dibandingkan akan ditemukan adanya persesuaian bentuk dan makna. Nāda (
) disesuaikan dengan lingga/pusuh cepaka, windu ( O )
diposisikan pada pangkal lingga yang menyatukan ke-empat kuku kawang,
ardha candra ( ) disesuaikan dengan dua kuku kawang dalam
posisi horizontal, sedangkan angka tiga ( O ) diposisikan sama dengan tangkai
dan bogem genta, apabila hal pendekatan tersebut digambarkan akan
terlihat seperti:
Berdasarkan kutipan di atas, tentunya dapatlah dipahami
bahwa genta berasal dari Śiwa (ghanta mijil saking nada),
dipergunakan oleh sulinggih (Śiwa sekala), secara struktur
mengandung konsep Śiwa dan nada atau suara genta kembali
kepada Śiwa tertinggi atau sunia, kehampaan. Secara ringkas apa
yang dipaparkan di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar di bawah ini akan memudahkan pemahaman terhadap makna
genta sebagai penyatuan tiga konsep arah pemujaan yang direalitakan
dengan kehidupan di sebuah gunung.
Ramya artinya
rame; dalam kehidupan berarti dinamis, penuh gejolak, semarak. Śūnya
artinya kosong, kehampaan, sepi, sunyi, puput, nengakna tidak bergerak
(Zoetmulder, 2004: 1147).
Dalam kehidupan di sebuah gunung, situasi ramya
terjadi pada bawah gunung. Di sana hidup bermacam-macam tumbuhan dan binatang
termasuk manusia sehingga menjadi ekosistem yang besar menyebabkan rantai
makanan yang panjang akibatnya timbulah kehidupan yang dinamis, penuh gejolak.
Diperlukan upaya untuk memelihara dan menyeimbangkan kehidupan yang kompleks
tersebut dan ini merupakan tugas bhujangga (bhuta mātra),
menghadapi situasi yang kompleks dan penuh resiko bhujangga
mempergunakan banyak peralatan antara lain genta, genta uter,
genta orag, ketipluk dan sangkha atau sunggu.
Pada kehidupan dipertengahan gunung, ekosistem mulai
mengecil, rantai makanan menjadi pendek, gejolak mulai berkurang, secara kasat
mata hanya tumbuhan dan hewan yang mampu beradaptasi dengan udara dingin dan
air yang mampu bertahan, untuk menjaga keseimbangan alam tengah (air dan udara)
disebut dengan prana mātra buddha mempergunakan genta dan bajra,
selanjutnya pada ujung gunung sebagai simbol alam atas yang sudah sunya sulinggih
Śiwa hanya mempergunakan genta, ini merupakan tahapan
terakhir dari proses pendakian spiritual atau proses peleburan untuk mencapai
kelanggenngan, kebijaksanaan, kesadaran akan pengetahuan tertinngi (pradnya
mātra).
Penelitian oleh para ahli terhadap bunyi, banyak
menghasilkan teori-teori yang sangat membantu kehidupan manusia dalam bidang
ilmu filsafat. Khususnya bidang kosmologi, lahir sebuah teori yang dikenal
dentuman besar atau ledakan mahadasyat (big bang),
yang sangat dibanggakan oleh dunia barat. Sebenarnya dalam kosmologi Hindu hal
tersebut sudah lebih dulu diungkapkan pada zaman Weda oleh para Rsi,
walaupun dengan cara pandang dan gaya bahasa yang berbeda namun prinsip-prinsip
dasarnya sama, yaitu teori big bang memandang bahwa semua zat (citta
dan triguna) dalam prosesnya dahulu menjadi berbentuk suatu massa
yang padat, yang menyerupai sejenis atom raksasa (hiranyagarbha),
kemudian massa itu meletus (mahāswara, nāda, om) membentuk bola api (Brahmā).
Selanjutnya, materi ledakan lainnya yang terpencar membentuk gugusan tata
surya. Sedangkan esensi, asal dari semua zat yang disebutkan dalam teori big
bang belum dapat diuraikan melalui sains, hal itu hanya bisa dijelaskan
melalui sudut pandang agama.
Pada Mikrokosmos, suara genta pinara pitu
disamakan dengan tujuh cakra yang terdapat dalam tubuh manusia di
sekitar merudanda, yang dikenal dengan sapta cakra, yang
mengandung pancaran energi ke-Tuhanan. Berikut gambar posisi cakra utama
yang disesuaikan dengan badan fisik :
Sumber
Gambar: Kamajaya, 1998: 67
Perputaran cakra-cakra tersebut menghasilkan
gelombang-gelombang energi dan suara. Proses pengendalian cakra-cakra
ini diajarkan dalam yoga. Pengaruh positif terhadap cakra-cakra
bisa juga terjadi melalui berkah yang diberikan seorang yang suci (yogin)
dengan meletakkan tangannya pada sahasrara cakra atau dapat
disebabkan oleh bunyi (Kamajaya, 1998: 71).
Setiap titik cakra di dalam tubuh cenderung untuk
merespon secara khusus bunyi, nada, irama tertentu. Cakra dasar
merespon secara khusus terhadap nada- nada bass. Cakra dasar erat
kaitanya dengan nada C, termasuk nada C minor dan C sharp (Setiadarma
dalam Donder, 2005: 41). Terserapnya musik atau bunyi ke dalam sukma yang mempengaruhi
perputaran cakra-cakra menuju puncaknya digambarkan oleh Granoka,
sebagai berikut :
Pada esensi puncak dari suara genta pinarah pitu
merupakan penyatuan purusa-pradana yang disebut dengan prana-pramana-tiga,
yaitu suara Ongkara, sapta ongkara, nawa pranawa yang kemudian
digambarkan sebagai berikut :
Sumber
Gambar: Granoka, 1998: 44
Lontar Prakempa
menyebutkan bahwa bunyi, suara mempunyai kaitan erat dengan panca maha bhuta
yang masing-masing memiliki warna dan suara, kemudian menyebar ke seluruh
penjuru bumi dan akhirnya membentuk sebuah lingkaran yang disebut pengider
bhuana. Untuk jelasnya, berikut ini gambar yang kami kutip dari Prakempa
:
Kemudian, oleh Bhagawan Wiswakarma suara-suara itu dibentuk
menjadi dua kelompok nada, yaitu limanada laras pelog dan lima nada
laras slendro. Laras pelog berkaitan dengan panca tirta
sebagai manifestasi dari Bhatara Smara. Laras slendro berkaitan
dengan panca gni sebagai manifestasi dari Bhatari Ratih. Dari
sepulu nada yang dijiwai oleh Smara-Ratih, lahirlah tujuh buah nada yang
kemudian disebut genta pinara pitu. suara genta juga
dimaknai sebagai suara sukma, suara hati yang timbul dari Buddhi yang hning
atau dikenal dengan Kecaping Buddha Kecapi.
Membicarakan kamahamiatmanan genta piara pitu tidak
cukup memandang dari sudut panca nada (kukul, gambelan, kidung, genta
dan mantra) karena menyangkut dua komponen yaitu genta dan pemakainya.
Namun, di dalam mengungkapkan atau mengkaji hal tersebut di atas tidaklah mudah
disebabkan oleh keterbatasan penulis. Apalagi penulisan tentang Kemahamiatmanan
Genta Pinara Pitu yang sangat rahasya seperti tersurat di
dalam Lontar Pandita Kalimosada (druwen Grhya Wanasari Sanur 1b. …. agar
diketahui jika kita tahu dengan katikelaning genta pinara pitu /
perumusan sepuluh aksara suci, dan sastra sanga / sembilan aksara suci pengider
bhuwana serta Bhodakacapi, boleh kita mengucapkan aksara Kalimosada
putus dan sastra sanga serta Bhodakacapi ….., dst.
Dalam Lontar Prakempa, diuraikan asal, jenis, dan
makna suara yang ada di jagat raya ini, yang disebut genta pinarah pitu
yang memiliki hubungan erat dengan konsep genta yang akan dibicarakan.
Menurut kamus bahasa Kawi-Indonesia, kata ghanta merupakan bahasa Kawi
yang dalam bahasa Indonesia berarti lonceng, genta, tirtir (Simpen,
1982: 49).
- Genta artinya : Suara yang keluar dari dalam tubuh dan pikiran yang paling dalam yang mengandung kesucian yang lebih sering disebut “suara sukma“ atau suara batin, dengan kata lain genta merupakan perwujudan dari suara sukma atau suara batin
- Genta artinya : Suara yang maha suci dan agung yang memenuhi jagat raya yang bersumber dari inti bumi sehingga juga disebut dengan “Maha Suara”. Artinya genta merupakan replika dari sumber suara alam atau makrokosmosBerdasarkan dua sumber yang berbeda yaitu antara kamus dan hasil wawancara jelas sekali tampak adanya perbedaan yang mendasar dimana arti kata genta pada kamus masih bersifat fariatif/jamak sedangkan pada hasil wawancara arti kata genta dari beberapa pendapat sulinggih ada titik temunya (persamaanya) yaitu genta artinya suara, perbedaan terletak pada sumber suara yaitu antara buana alit dan buana agung. Demikian halnya, kata ghantā dalam kamus Simpen yang artinya lonceng, genta, tirtir belum menunjukan adanya hubungan dengan genta yang berarti suara karena masih bersifat kata benda. Namun, apabila dicermati ke-tiganya memiliki persamaan yaitu bisa mengeluarkan suara apabila difungsikan. Dalam pasang kalimat kata genta bisa berarti suara dimana kata genta akan berubah bunyi mengikuti sifat kalimat yang dimaksud. Misalnya, dalam kalimat “sambat-sambatnyâmlas-asih tan pendah gěntěr alaŋu”. Genter artinya suara guntur, atau dalam kalimat “swara niŋ mrdaŋga kalawan tabě-taběhan ahöm agěnturan”. Agenturan dalam hal ini artinya suara gemuruh (Zoetmulder, 2004: 290).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar