Segehan
Upacara
Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil disebut dengan “Segehan“, Sega
berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Oleh sebab itu, banten segehan
ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk
pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan),
kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau
dananan. Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi
nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe,
garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut
kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika),
bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.
Selain segehan yang paling sederhana dan setiap kali kita laksanakan adalah
Saiban/ngejot. lihat dharma wecana saiban!!!!
Jenis-jenis
segehan ini bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna nasi yang di
gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah Segehan Kepel dan Segehan Cacahan, Segehan
Agung, Gelar Sanga, Segehan Tuutan, segehan wongwongan dll.
Segehan
ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara /
Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah
/ sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk
bahkan ke perempatan jalan.
Fungsi
segehan ini sebagai aturan terkecil (dari caru) untuk memohon kehadapan Hyang
Widhi agar terbina keharmonisan hidup, seluruh umat manusia terhindar dari
segala godaan sekala niskala, terutama terhindar dari gangguan para bhuta-kala
(Kala Bhucara-Bhucari). Segehan yang besar berbentuk caru.
Warna
segehan disesuaikan dengan warna kekuatan simbolis kedudukan dari para dewa (Istadewata) yang dihaturi
segehan. Pada waktu selesai memasak, dipersembahkan segehan cacahan (jotan,
yadnya sesa, nasinya tidak dikepel, tidak dibuat tumpeng) kehadapan Sang Hyang
Panca Maha Bhuta. Segehan ini dihaturkan di tempat masak (api), di atas tempat
air (apah), di tempat beras (pertiwi), di natah/halaman rumah (teja), dan di
tugu penunggu halaman rumah (akasa). Dalam hal ini bahan yang dimasak (nasi,
sayur, daging, dan lauk-pauk lainnya) itu diyakini terdiri atas bahan panca
mahabhuta. Segehan ini dihaturkan sebagai tanda terima kasih umat terhadap
Hyang Widhi karena telah memerintahkan agar para bhuta (panca maha bhuta)
membantu manusia sehingga bisa memasak dan menikmati makanan, dapat hidup
sehat, segar dan sejahtera.
Ada
pula segehan yang dihaturkan di perempatan jalan, di halaman rumah, di luar
pintu rumah, dan sebagainya. Itu disebut segehan manca warna, kepel, atau
agung. Segehan manca warna ini di timur berupa nasi berwarna putih (Dewa
Iswara), di selatan nasi berwarna merah (Dewa Brahma), di barat nasi berwarna
kuning (Dewa Mahadewa), di utara nasi berwarna hitam (Dewa Wisnu), dan di
tengah-tengah nasi berwarna manca warna atau campuran keempat warna tadi (Dewa
Siwa), sesuai dengan kekuatan Istadewata yang berkedudukan di dikpala, di empat
penjuru arah mata angin ditambah satu di tengah-tengah.
Dalam
“Lontar Carcaning Caru”, penggunaan ekasata (kurban dengan
seekor ayam yang berbulu lima jenis warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni:
ada unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempat warna tadi) sampai
dengan pancasata (kurban dengan lima ekor ayam masing-masing dengan bulu
berbeda, yakni unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempatnya,
sehingga akhirnya juga menjadi lima warna) ini masih digolongkan segehan
**khusus untuk kelengkapan piodalan saja, sehingga memiliki fungsi sebagai
runtutan proses piodalan (ayaban atau tatakan piodalan) yang memilki kekuatan
sampai datang piodalan berikutnya.
Caru
Upacara
Bhuta Yadnya dalam tingkatan madya ini di sebut dengan “Caru“. Pada tingkatan
ini selain mempergunakan lauk pauk seperti pada segehan, maka di gunakan pula
daging binatang. Banyak jenis binatang yang di gunakan tergantung tingkat dan
jenis caru yang di laksanakan. menurut “lontar Carcaning Caru”
jenis-jenis caru adalah Caru ayam berumbun ( dengan satu ekor ayam ), Caru
panca sata ( caru yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan dengan arah
atau kiblat mata angin ), Caru panca kelud adalah caru yang menggunakan lima
ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau yang lain sesuai dengan kebutuhan
upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.
Baten
caru berfungsi sebagai pengharmonis atau penetral buwana agung (alam semesta),
di mana caru ini bisa dikaitkan dengan proses pemlaspas maupun pangenteg
linggihan pada tingkatan menengah (madya). Usia caru ini 10-20 tahun,
tergantung tempat upacara. Penyelenggaraan caru juga dapat dilaksanakan
manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan proses pengharmonisan dengan
caru sehingga lingkungan alam kembali stabil.
Tawur
Tingkatan
yang utama ini di sebut dengan Tawur. Adapun yang digolongkan tawur dimulai
dari tingkatan balik sumpah sampai dengan marebu bumi—sesuai dengan yang
tersurat dalam “lontar Bhama Kertih” digolongkan sebagai
upacara besar (utama) yang diselenggarakan pada pura-pura besar. Tawur ini
memiliki fungsi sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta). Adapun tawur
ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun (untuk eka dasa rudra),
dan 1000 tahun untuk marebu bumi.
Tawur
dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai pangenteg linggih maupun
upacara-upacara rutin yang sudah ditentukan oleh aturan sastra atau rontal pada
berbagai pura besar di Bali. Tawur ini memiliki makna sebagai pamarisuddha
jagat pada tingkatan kabupaten/kota, provinsi, maupun negara. misalnya Tawur
Kesanga dan Nyepi yang jatuhnya setahun sekali, Panca Wali Krama adalah upacara
Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap sepuluh tahun sekali, dan Eka Dasa Rudra
yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap seratus tahun sekali.
Caru Adalah Memaknai
Ruang dan Waktu
Setiap upacara agama yang berdasarkan Veda selalu ada tiga unsur yang memvisualkan nilai-nilai suci upacara agama Hindu. Ketiga unsur tersebut adalah Mantra,Yantra dan Tantra. Mantra adalah suatu ucapan/kata-kata suci untuk menghubungkan diri dengan Hyang Maha Kuasa Yantra itu berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya alat atau sarana dalam bentuk simbol.
Setiap upacara agama yang berdasarkan Veda selalu ada tiga unsur yang memvisualkan nilai-nilai suci upacara agama Hindu. Ketiga unsur tersebut adalah Mantra,Yantra dan Tantra. Mantra adalah suatu ucapan/kata-kata suci untuk menghubungkan diri dengan Hyang Maha Kuasa Yantra itu berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya alat atau sarana dalam bentuk simbol.
Yantra dalam upacara agama Hindu di
Bali disebut banten atau upakara. Banten inilah yang menggunakan sarana
tumbuh-tumbuhan dan hewan di samping unsur unsur panca maha bhuta lainya.
Tantra adalah gerak/sikap yang dipakai saat menghubungkan diri dengan Hyang
Widhi, seperti mudra, Yoga dll.
Dalam Lontar Yadnya Prakerti
disebutkan, sebagai berikut, " ..... Sehananing bebanten pinaka raganta
twi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka Andha Bhuwana." Artinya,
semua bebanten adalah lambang dirimu sendiri, lambang kemahakuasaan Tuhan dan lambang
isi alam semesta. Berdasarkan uraian Lontar Yadnya Prakerti ini banten memiliki
tiga makna. Banten bermakna sebagai simbol manusia, baik lahir maupun batin,
bermakna untuk melambangkan berbagai wujud kemahakuasaan Tuhan dan banten juga
melambangkan keberadaan isi alam semesta ini berupa planet-planet isi ruang
angkasa.
Caru Artinya Cantik
Dalam kitab Samhita Swara
disebutkan, arti kata caru adalah cantik atau harmonis. Mengapa upacara Butha
Yadnya itu disebut caru. Hal itu disebabkan salah satu tujuan Butha Yadnya
adalah untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam lingkunganya. Dalam
kitab Sarasamuscaya 135 disebutkan, bahwa untuk menjamin terwujudnya tujuan
hidup mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha, terlebih dahulu harus
melakukan Butha Hita. Butha Hita artinya menyejahtrakan alam lingkungan.
Untuk melakukan Butha Hita, itu
dengan cara melakukan Butha Yadnya. Hakekat Butha Yadnya itu adalah menjaga
keharmonisan alam agar alam itu tetap sejahtra. Alam yang sejahtera itu artinya
alam yang cantik.
ButhaYadnya pada hakekatnya merawat
lima unsur alam yang disebut panca maha butha (tanah, air, api, udara dan
ether). Kalau kelima unsur alam itu berfungsi secara alami, maka dari kelima
unsur itulah lahir tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itulah sebagai bahan dasar
makanan hewan dan manusia. Kalau keharmonisan kelima unsur alam itu terganggu
maka fungsinya pun juga akan terganggu. Dalam Bhagawadgita III.14 disebutkan
tentang proses berkembangnya makhluk hidup dari makanan. Dari hujan datangnya makanan.
Hujan itu datang dari Yadnya. yadnya itu adalah Karma. Dalam Bhagawadgita ini
memang disebutkan hanya hujan. Namun dalam proses menumbuhkan tumbuh-tumbuhan
tidaklah hanya hujan saja yang dapat melahirkan tumbuh-tumbuhan. Kelima unsur
alam tersebut juga berfungsi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.
Tanah, api (matahari), udara dan
ether juga berfungsi untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Peredaran kelima unsur
alam itu melahirkan iklim serta siang dan malam. Karena itu upacara mecaru itu
berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat manusia agar
memiliki wawasan kesemestaan alam.
Hubungan antara manusia dehgan alam
haruslah berdasarkan konsep Cakra Yadnya sebagaimana ditegaskan dalam kitab
Bhagawadgita III.16. ini artinya antara alam dan manusia harus menjaga
kehidupan yang saling memelihara berdasarkan Yadnya. Keberadaan alam ini karena
Yadnya dari Tuhan. Karena itu manusia berutang moral pada Tuhan dan alam secara
langsung. Utang moral itulah yang disebut rina dalam kitab Manawa Dharmasastra.
Dalam Yajurveda XXXX.l disebutkan bahwa Tuhan itu berstana pada alam yang
bergerak atau tidak bergerak (Isavasyam Idam Jagat). Ini artinya alam itu
adalah badan raga dari Tuhan. Karena itu upacara mecaru itu berarti suatu
kewajiban merawat badan raga Tuhan dalam wujud merawat alam.
Di dalam kitab Manawa Dharmasastra
V.40 disebutkan, tujuan digunakan tumbuhtumbuhan dan, hewan tertentu sebagai
sarana upacara yadnya adalah sebagai upaya dan doa agar semua makhluk hidup
tersebut meningkat kualitas dan kuantitasnya pada kelahiran yang akan datang.
Akan menjadi tidak cantik kalau
penggunaan tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut hanya mentok di tingkat upacara
semata. Tujuan hakiki dari upacara mecaru itu adalah pelestarian alam dengan
eko sistemnya. Dari alam yang lestari itu manusia mendapatkan sumber kehidupan.
Jadinya hakekat Butha yadnya itu adalah mecaru untuk membangun kecantikan alam
lingkungan sebagai sumber kehidupan semua makhluk ciptaan Tuhan. Dan sudut
pandang upacara; caru itu adalah salah satu jenis upacara Butha Yadnya.
Kalau Banten Butha Yadnya itu masih
menggunakan nasi dengan lauknya bawang jahe belum menggunakan hewan itu disebut
Segehan. Segehan itu pun banyak jenisnya. Ada segehan Nasi Sasah, ada Segehan
Nasi Kepel, Segehan Nasi Wong-Wongan, ada Segehan Naga dan sebagainya. Kalau
banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan ayam, banten itulah yang disebut
Caru. Ada Caru Eka Sata, Panca Sata, Panca Sanak, Panca Kelud. Balik Sumpah.
Menurut Lontar Dang Dang Bang
Bungalan, kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan binatang kerbau tidak
lagi ia disebut banten Caru. Banten itu sudah bernama Banten Tawur. Misalnya
Tawur Agung sudah menggunakan binatang kerbau seekor. Umumnya dipergunakan
untuk Tawur Kesanga setiap menyambut tahun baru Saka. Kalau ditambah lagi
dengan tiga ekor kerbau disebut Mesapuh Agung, ditambah lagi dengan lima ekor
kerbau. Demikian antara lain disebutkan dalam Lontar Dang Dang Bang Bungalan.
Namun pada hakekatnya semuanya itu tujuannya adalah mecaru mewujudkan
keharmonisan sistem alam semesta.
Dengan Caru Mengatasi Bhutakala
Bhuta Kala umumnya dibayangkan
sebagai suatu makhluk ajaib yang berwajah serem menakutkan. Mulutnya lebar,
bertaring panjang, mata merah mendelik, rambut tergerai tanpa aturan, perut
gendut dengan sikap garang. Keadaan itu sering diwujudkan dengan ogoh-ogoh
menjelang Nyepi. Penggambaran Bhuta Kala itu sangatlah wajar sebagai imajinasi
para seniman dan rohaniawan. Karena kalau manusia. tidak harmonis dengan Bhuta
Kala perasaan ngeri seperti melihat Bhuta Kala yang digambarkan di atas. Dalam
bahasa sehari-hari di kalangan umat Hindu terutama di Bali ada istilah mecaru
untuk nyomia Bhuta Kala. Upacara nyomia Bhuta Kala artinya mengubah sifat ganas
Bhuta Kala menjadi bersifat lembut membantu manusia untuk mengembangkan
perbuatan baik.
Jadi hakekat upacara mecaru itu
adalah memotivasi spiritual agar selalu berbuat mengubah sifat ganas menjadi
lembut tentang keberadaan Bhuta Kala itu. Dengan demikian terjadilah suatu
hubungan yang harrnonis antara manusia dengan Bhuta Kala, Keharmonisan itulah
tujuan dari upacara mecaru itu.
Bhuta Kala yang digambarkan itu
tidak lain dari pada sifat-sifat alam kita ini. Manusia hidup bersama alam
bahkan jasmani manusia juga disebut alam kecil atau Bhuwana Alit. Sifat alam
kadang-kadang sebagai sahabat manusia kadang-kadang sebagai musuh manusia. Api
dan air bisa menjadi sahabat dan membantu kehidupan manusia. Bisa juga menjadi
musuh manusia seperti menimbulkan kebakaran, banjir dan lainnya. Agar alam itu
selalu dapat bersahabat dengan manusia, yang harus aktif membangun persahabatan
itu adalah manusia itu sendiri. Persahabatan dengan alam itu dapat dilakukan
dengan cara sekala atau nyata dan dengan cara niskala atau dengan cara
kerokhanian. Upacara mecaru adalah membangun persahabatan dengan alam dengan
cara niskala. Cara niskala ini harus seimbang dengan cara sekala. Dengan
demikian Bhuta Kala itu akan selalu menjadi sahabat membantu kehidupan manusia.
Dari sudut arti kata, Bhuta Kala
berasal dari kata Bhuta yang artinya unsur-unsur alam kita ini. Bhuta dibangun
oleh lima elemen yang disebut Panca Maha Bhuta, yaitu unsur tanah, air, api,
udara dan ether. Lima unsur itulah yang membangun alam ini seperti
planet-planet yang bertebaran di kolong langit ini. Planet-planet yang paling
dekat dengan kita adalah bumi, bulan dan matahari. Perputaran planet-planet itu
menimbulkan waktu dan musim. Waktu dalam bahasa Sanskerta adalah Kala. Bhuta
Kala arti sebenarnya adalah Ruang dan Waktu. Manusia hidup dalam suatu ruang
dan waktu tertentu. Tidak ada manusia hidup tidak berada pada ruang dan waktu
tertentu itu. Ruang dan wakru itu dapat menjadi sahabat manusia dapat pula
menjadi musuh yang menyusahkan manusia. Dalam persahabatan ini manusialah yang
semestinya aktif menjalin persahabatan dengan ruang dan waktu itu. Untuk itu
manusia hendaknya memahami peredaran ruang dan waktu itu dan segala potensi
yang dikandung dalam peredaran tersebut. Dengan caru itu berarti kita dapat
memanfaatkan secara positif ruang dan waktu atau Bhuta Kala, sehingga Bhuta
Kala tidak lagi mengerikan.
Mengapa caru Menggunakan Binatang
Banten Bhuta Yadnya yang disebut
caru selalu menggunakan binatang kurban. Penggunaan binatang ini sangat
menentukan nama dan tingkatan banten caru tersebut. Misalnya caru Eka Sata
menggunakan ayam brumbun atau lima warna. Caru Panca Sata menggunakan lima ekor
ayam.
Demikian seterusnya. Pemakaian
binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana upacara Yadnya telah disebutkan
dalam Manawa Dharmasastra V.40. Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan
sebagai sarana upacara Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan
berikutnya. Manusia yang memberikan kesempatan kepada tumbuh-tumbuhan dan hewan
tersebut juga akan mendapatkan pahala yang utama. Karena setiap perbuatan yang
membuat orang lain termasuk sarwa prani meningkat kualitasnya adalah perbuatan
yang sangat mulia. Perbuatan itu akan membawa orang melangkah semakin dekat
dengan Tuhan. Karena itu penggunaan binatang sebagai sarana pokok upacara
banten caru bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat kebinatangan atau
keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan terus meningkat menuju kesifat-sifat
kedewaan.
Memaknai Caru..
Caru dalam hal ini adalah suatu
upacara yang termasuk upacara Bhuta Yadnya..yaitu upacara yang ditujukan kepada
mahluk-mahluk yang dianggap sebagai mahluk bawah dari manusia…Caru berarti
suatu kecantikan atau suatu keharmonisan…Jadi berdasarkan arti dari caru itu
sendiri, maka caru bertujuan untuk menjaga suatu keharmonisan dari kehidupan
manusia itu sendiri…
Terdapat 5 Yadnya yang diketahui
atau di ajarkan dalam Agama HIndu…yaitu :
1.Dewa Yadnya…Upacara menghormati
dan pengorbanan kepada Dewa…
2.Pitra Yadnya..Upacara menghormati
dan pengorbanan kepada Leluhur…
3.Manusa Yadnya…Upacara menghormati
dan memperingati kehidupan sebagai manusia…
4.Rsi Yadnya..Upacara menghormati
dan pengorbanan kepada guru…
5.Bhuta Yadnya..Upacara mengharmonisasikan
dunia dan pengorbanan kepada para bhuta..
Hal ini didasarkan pada tiga hutang
manusia , yaitu Tri rna…dewa rna, pitra rna , Rsi rna…
Dunia itu benarlah bahwa manusia
tidak sendiri hidup di atasnya..masih ada mahluk-mahluk lain selain pula
tumbuhan dan hewan-hewan serta mahluk-mahluk bawahan..agar kehidupan bersifat
atau menuju suatu keharmonisan tentunya ada suatu simbol-simbol yang mungkin
bisa dicanangkan dalam memaknai serta teryakini nantinya terjadi suatu
keharmonisan tersebut…
Penggunaan hewan dan
tumbuh-tumbuhan serta bebanten lainnya, merupakan simbol-simbol diri, serta
simbol-simbol yang menggambarkan bagaimana rupa Tuhan itu yang terciptakan
dalam bentuk tersebut…. Hewan-hewan yang digunakan dalam pecaruan
sebenar-benarnya akan ditingkatkan hidupnya menjadi lebih baik yang berhubungan
dalam suatu keyakinan samsara selanjutnya…pelaksanaan upacara bhuta yadnya
sering kali terjadi suatu permasalahan, ada yang mengatakan terlalu ekstrim
dengan menyembelih binatang kemudian dikuliti dan dipersembahkan kepada Hyang
Kuasa, ada lagi permasalahan penempatan sanggah cucuk yang seringkali terjadi
perbedaan pandangan baik dari tukang banten maupun pemimpin upacara, ada yang
mengatakan sanggahnya menghadap ke tengah, ada yang mengatakan menghadap ke
luar. Itu sah sah saja tergantung sekarang kita memahami hakekat caru tersebut,
jikalau menghadap ke luar maka disaat mengembalikan kekuatan unsur panca maha
bhuta tersebut hendaknya dikembalikan ke masing masing tempat asalnya dan
merubah sifat bhuta menjadi sifat dewanya masing masing, jikalau menghadap ke
tengah maka pengembalian kekuatan unsur panca maha bhuta tersebut ke tengah
bumi (Bhuana Agung/Alit), sifat bhuta yang kurang harmonis yang dimiliki oleh
manusia (Bhuana Alit) harus dirubah menjadi sifat dewa yang penuh cinta kasih,
itulah sebabnya caru tersebut jangan dipertentangkan lagi mau menghadap ke
tengah atau menghadap ke luar, nanti maksud dan tujuannya yang mesti dipahami
(Tattwa,susila,upakara)
Dalam
kitab Sarasamuscaya 135 disebutkan, bahwa untuk menjamin
terwujudnya tujuan hidup mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha, terlebih
dahulu harus melakukan Butha Hita. Butha Hita artinya menyejahtrakan alam
lingkungan. Untuk melakukan Butha Hita, itu dengan cara melakukan Butha Yadnya.
Hakekat Butha Yadnya itu adalah menjaga keharmonisan alam agar alam itu tetap
sejahtra. Alam yang sejahtera itu artinya alam yang cantik…Dari hal tersebut
dapat dijelaskan pula Tri hita karana manusia yang selalu harus ingat kepada
lingkungan (Palemahan)…
Kitab suci Manawa Dharmasastra Buku
ke-tiga (Tritiyo dhyayah) pasal 74 menyebutkan:
JAPO HUTO HUTO HOMAH, PRAHUTO BHAUTIKO BALIH, BRAHMYAM HUTAM DWIJA, GRYARCA PRASITAM PITR TARPANAM
Artinya: Ahuta adalah pengucapan
doa dari Veda. Huta persembahyangan homa, Prahuta adalah upacara bali (wali)
yang dihaturkan diatas tanah kepada para Bhuta. Brahmahuta, yaitu menerima
tetap Brahmana secara hormat seolah-olah menghaturkan kepada api yang ada dalam
tubuh Brahmana dan Prasita adalah persembahan tarpana kepada para pitara.
Dhyayah yang sama pada pasal 75
menyebutkan:
SWADHYAYE NITYAYUKTAH, SYADDAIWE CAIWEHA KARMANI, DAIWAKARMANI YUKTO HI, BIBHARTIMDAM CARACARAM
Artinya: Hendaknya setiap orang
yang menjadi kepala keluarga sehari-hari menghaturkan mantra-mantra suci Veda
dan juga melakukan upacara pada para Dewa karena ia yang rajin dalam melakukan
upacara kurban pada hakekatnya membantu kehidupan ciptaan Tuhan yang bergerak
maupun tak bergerak.
Pasal 81:
SWADHYAYANARCAYER, SAMSIMNHOMAIR DEWANYATHAWIDHI, PITRRN CRADDHAISCA NRRNAM, NAIRBHUTANI BALIKARMANA
Hendaknya ia (kepala keluarga)
sembahyang yang sesuai menurut peraturan kepada Rsi dengan pengucapan Veda,
kepada Dewa dengan haturan yang dibakar, kepada para leluhur dengan srada,
kepada manusia dengan pemberian makanan dan kepada Bhuta dengan upacara kurban.
Mengenai pembunuhan binatang atau
penggunaan hewan/ binatang dalam persembahan atau kurban diatur dalam Manawa
Dharmasastra Buku ke-lima (Atha Pancamo dhyayah) Pasal 22:
YAJNARTHAM BRAHMANAIRWADHYAH, PRASASTA MRIGAPAKSINAH, BHRITYANAM CAIWA WRITTYARTHAM, AGASTYO HYACARATPURA
Hewan-hewan dan burung-burung yang
dianjurkan untuk bisa dimakan, boleh dibunuh oleh Brahmana-Brahmana untuk
upacara kurban (Bhuta yadnya) dan juga untuk diberikan kepada mereka yang patut
diberi makan, karena Rsi Agastyapun melakukan hal itu di jaman dahulu.
Pasal 23:
BABHUWURHI PURODASA, BHAKSYANAM MRIGAPAKSINAM, PURANESWAPI YAINESU BRAHMAKSATRA-SAWESU CA
Karena pada masa purba, kueh-kueh
sesajen dibuat dari daging binatang-binatang dan burung yang bisa dimakan pada
upacara-upacara kurban (Bhuta yadnya) yang dilakukan oleh para Brahmana dan
Ksatria.
Pasal 31:
YAJNAYA JAGDHIR MAMSASYETYESA DAIWO WIDHIH SMRITAH, ATO NYATHA PRAWRITTISTU RAKSASO WIDHIRUCYATE
Pemakaian daging adalah wajar untuk
upacara kurban (Bhuta yadnya), hal mana dinyatakan sebagai peraturan yang
dibuat oleh para Dewa, tetapi jika memaksa memakainya dalam kejadian lain
adalah peraturan yang cocok untuk para Raksasa.
Pasal 39:
YAJNARTHAM PASAWAH SRISTAH, SWAMEWA SAYAMBHAWA, YAJNASYA BHUTYAI SARWASYA, TASMADYAJNE WADHO WADHAH
Swayambhu (Tuhan) telah menciptakan
hewan-hewan untuk tujuan upacara kurban (Bhuta yadnya), upacara kurban telah
diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi ini, dengan demikian
penyembelihan hewan untuk upacara bukanlah penyembelihan dalam arti lumrah
saja.
Pasal 40:
OSADHYAH PASAWO WRIKSASTIR YANCAH PAKSINASTATHA, YAJNARTHAM NIDHANAM PRAPTAH, PRAPNU WANTYUTSRITIH PUNAH
Tumbuh-tumbuhan, semak,
pohon-pohonan, ternak, burung-burung lain yang telah dipakai untuk upacara akan
lahir dalam tingkatan yang lebih tinggi pada kelahiran yang akan datang.
Pasal 42:
ESWARTHESU PACUNHIMSAN VEDA TATTWARTHAWID DWIJAH, ATMANAM CA PASUM CAIWA GAMAYATYUTTAMAM GATIM
Seorang Dwijati (Brahmana) yang
mengetahui arti sebenarnya dari Weda, menyembelih seekor hewan dengan
tujuan-tujuan tersebut di atas menyebabkan dirinya sendiri bersama-sama hewan
itu masuk ke keadaan yang sangat membahagiakan.
ULAM
CARU EKA SATA (urip 33)
berikut ini sususan ulam caru
menurut "Lontar Somia Mandala", dimana dalam penyusunan ulam tersebut
dipilah menjadi 3 dan dibatasi dengan alas kelabang. dan sebagai dasar adalah
rajah caru eka sata atau ayam brumbun dengan urip 33.
ini rajah untuk dasar CARU EKA SATA
ini rajah untuk dasar CARU EKA SATA
Ulam
Caru Bagian Bawah
- tatakan klabang 9 (sengkui butha matra), katur majeng sang ngawe urip, nawasanga.
- Lawar (barak, putih, jukut) + lembat + asem + calon = 33 tanding
setelah kelabang butha matra ditaruh
diatas rajah dasar caru, kemudian diletakkan ulam lawar satenya. yang
beralaskan daun pisang. adapun komposisi dari ulam ini adalah:
- Lawar Barak: seperti lawar biasa untuk dikonsumsi yang sudah sering dibuat dibali, dimana komposisi lawar ini adalah daging dari ayam caru ini dicampur darah dengan sedikit sambal, terasi goreng, garam dan merica, dicampur nangka dan kelapa yang sudah dirajang halus, terakhir masukan bawang merah serta bawang putih goreng.
- Lawar Putih: komposisinya sama seperti lawar barak, hanya saja tanpa darah.
- Lawar Gadang atau Jangan (jukut), komposisinya hampir sama dengan lawar putih, tapi ditambah sedikit sayur (biasanya digukan daun belimbing) dan dicampur kalas (santan + daging+bumbung rajang gede, kemudian direbus) dan sedikit gula aren.
- Sate lembat: merupakan sate lilit biasa, cara membuatnya: daging /tulang leher dan dada ayam di cincang kemudian ditumbuk sampai tulangnya menjadi lembut. kemudian daging tersebut dicampur gula aren, aduk sampai dagingnya benar-benar lengket dan menyatu, ditambah terasi dan sedikit garam, setelah itu masukkan kelapa parut diaduk sampai merata, setelah itu baru masukkan sambal rajang gede yang masih mentah. setelah jadi lilit seperti membuat sate biasa.
- Sate Calon, merupakan sejenis sate yang terbuat dari pisang yang ditusuk dengan batang sate, kemudian dilumuri tepung terigu yang sudah dicampur sedikit air. atau bisa juga menggunakan cara kedua, yaitu: pisang dan jajan bali (jaje uli) ditumbuk sampai merata dan halus, kemudian diaduk dengan sedikit base rajang (sambal rajang gede) kemudian di pepes. setelah pepesnya setengah mateng baru dililitkan dibatang satenya yang terbuat dari pelepah daun kelapa.
- Sate Asem, merupakan sate tusuk bisa yang bahannya bisa diambil dari jeroan ayam carunya.
- Sambal dan Garam, ditaruh di pojok alas daun pisangnya.
ajengan
caru
|
buat ajengan caru seperti gambar
diatas sebanyak 33 buah, kemdian taruh diatas kelabang / Sengkui Butha Matra
yang sudah siap, sehingga terlihat seperti gambar berukut ini:
Ulam Caru Bagian Tengah
- Tatakan klabang 7 (sengkui Prana Matra) pinaka sapta petala
- Lawar+ lembat = 33 tanding
untuk bagian tengah diawali dengan
menaruh kelabang urip 7 diatas ulam caru dasar seperti yang sudah dipaparkan
diatas. berikut contohnya:
diatas sengkui Prana Matra diisi kembali dengan ulam caru sebanyak 33 tanding seperti diatas, tapi tanpa sate calon dan sate asem, seperti gambar berikut:
Ulam Caru Bagian Atas
- Tatakan klabang 5 (sengkui Pradnya Matra), pinaka pangider buana
- Bakaran alit
- Balung Gending
- Lawar + lembat + asem + calon = 1 tanding
Sebagai sekat antara ulam caru
bagian tengah dan atas, digunakan kelabang urip 5 atau sengkui
Pradnya Matra yang merupakan simbol arah mata angin atau ider bhuana. berikut
contoh gambarnya:
setelah itu, di isi dengan 1
takir "balung gending (tulang pangkal paha) dengan sambal dan garamnya,
serta 1 takir "bakaran Alit (hati, jantung, usus, limpa, paru dan darah,
kesemuanya masih mentah),seperti gambar berikut:
diatasnya di isi dengan ulam caru
seperti waktu di bagian tengah, seperti gambar berikut ini:
diatasnya taruh layang- layang
(blulang ayam), seperti berikut
demikian sedikit bayangan tentang caru smoga dapat
bermanfaat,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar