Selasa, 13 Mei 2014

BANTEN BAHASA SIMBUL




BANTEN dalam lontar Yajna Prakrti memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sakral. Dalam lontar tersebut banten disebutkan: Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhattara, Pinaka anda Bhuvana. Dalam lontar ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh banten yaitu: "Pinaka Raganta Tuwi" artinya banten itu merupakan perwujudan dari kita sebagai manusia. "Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara" artinya banten merupakan perwujudan dari manifestasi (prabhawa) Ida Hyang Widhi. Dan "Pinaka Andha Bhuvana" artinya banten merupakan refleksi dari wujud alam semesta atau Bhuvana Agung. Memaknai banten sebagai Raganta Tuwi ini dapat dijabarkan berdasarkan pembagian dari tubuh manusia seperti Ulu atau Kepala (Utama Angga), Badan (Madhyama Angga), Kaki atau Suku (Nistama Angga). Jika dihubungkan dengan Tri Angga ini maka banten yang memiliki fungsi sebagai ulu adalah banten yang berada di Sanggar Surya maupun Sanggar Tawang. Banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten ayaban. Sedangkan bante yang berfungsi sebagai kaki atau suku adalah Banten yang berada dipanggungan yang letaknya dijaba. Adapun Banten Caru merupakan simbol dari perut. Kemudian berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia yakni: Badan Kasar atau Sthula Sarira yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau Suksma Sarira yang terdiri dari Alam Pikiran (Citta, Budhi, Manah, Ahamkara, atau Sattwam Rajas Tamas) serta Sang Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika lapisan ini dikaitkan dengan keberadan bebanten, maka banten yang mewakili Panca Maha Butha ini adalah banten yang memiliki fungsi sebagai suguhan seperti: banten soda atau ajuman, rayunan perangkatan dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pengharapan dan cita-cita adalah banten sebagai Suksma Sarira seperti banten Peras, Penyeneng, Pengambyan, Dapetan, Sesayut dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai pengurip atau pemberi jiwa seperti Banten Daksina, Banten Guru, Banten Lingga adalah merupakan simbol atman. Banten sebagai Warna Rupaning Ida Bhatara dapat dimaknai sebagai suatu bentuk pendalaman Sraddha terhadap Hyang Widhi. Mengingat Beliau yang bersifat Nirguna, Suksma, Gaib, dan bersifat Rahasia, tentu sirat yang demikian itu sulit untuk diketahui lebih-lebih untuk dipahami. Oleh karenanya untuk memudahkan komunikasi dalam konteks bhakti maka Beliau yang bersifat Niskala itu dapat dipuja dalam wujud Sakala dengan memakai berbagai sarana, salah satunya adalah Banten. Adapun Banten yang memiliki kedudukan sebagai perwujudan Hyang Widhi adalah banten-banten yang berfungsi sebagai Lingga atau Linggih Bhatara seperti: Daksina Tapakan (Linggih), Banten Catur, Banten Lingga, Peras, Penyeneng, Bebangkit, Pula Gembal, Banten Guru dan sebagainya. Banten sebagai Anda Bhuvana dapat dimaknai bahwa banten tersebut merupakan replica dari alam semesta ini yang mengandung suatu tuntunan agar umat manusia mencintai alam beserta isinya. Sesuai ajaran Weda, bahwa Tuhan ini tidak hanya berstana pada bhuvana alit, Beliau juga berstana pada bhuvana agung anguriping sarwaning tumuwuh. Sehingga dalam pembuatan banten itu dipergunakanlah seluruh isi alam sebagai perwujudan dari alam ini. Adapun banten sebagai lambang alam semesta ini adalah: Daksina, Suci, Bebangkit, Pula Gembal, Sekar Tanam dan sebagainya.

BANTEN SIMBUL PENYERAHAN DIRI



BERSERAH diri menurut konsep Hindu, bukan sebuah sikap apatis, melainkan sebuah sikap proaktif yang bersifat dinamis, untuk memperbaiki kehidupan ini dengan senantiasa menumbuh kembangkan rasa bhakti yang dilandasi oleh Jnana dan Karma. Banten menurut Yajna Prakrti merupakan salah satu bentuk penyerahan diri kepada hyang Widhi. Hal ini disebutkan sebagai berikut : "Reringgitan tatuwasan pinaka kalanggengan kayunta mayajna. Sekare pinaka kaheningan kayunta mayajna. Plawa pinaka pakayunane suci, raka-raka pinaka Widyadara-Widyadari". Artinya: Reringgitan dan Tatuwasan lambang dari kesungguhan hati dalam beryajna. Bunga lambang dari kesucian hati untuk beryajna. Daun-daunan lambang dari tumbuh berkembangnya pikiran suci. Buah-buahan, jajan pelengkap banten adalah melambangkan Widhyadara dan Widhyadari. Apa yang dilukiskan oleh pernyataan lontar diatas merupakan penjabaran dari konsep bhakti menurut Hindu yang dikemas dalam wujud banten, jika hal itu disimpulkan ternyata didalamnya terkandung ajaran syarat-syarat berserah diri kepada Hyang Widhi, yang mana hal itu digambarkan  :
- Pertama adalah langgeng artinya bersungguh-sungguh. Berserah diri kepada Hyang Widhi tidaklah boleh ragu-ragu. Berserah diri hendaknya dilandasi oleh keyakinan yang kuat dan keteguhan hati, bahwa Tuhan itu Maha Kuasa dan Maha Adil. Seseorang yang memiliki keteguhan hati merupakan cerminan dari kebijaksanaan serta pikiran yang mantap. Konsep langgeng dan keteguhan hati ini dalam Bhagawad Gita II 54 diistilahkan dengan Sthitaprajna, yakni orang yang teguh dalam yoga yang tidak terpengaruh oleh suka dan duka.
- Kedua adalah kesucian pikiran. Pikiran atau manah harus diperkuat hingga mencapai kesempurnaan untuk mengendalikan indria sesuai bunyi Bhagawad Gita III 42. Manah yang sempurna berada di bawah kendali dari Buddhi. Biddhi yang kuat berada di bawah sinar suci atma. Kesucian pikiran ini hendaknya senantiasa diperjuangkan dalam wujud latihan rohani dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan bunga dalam upacara tidak hanya dalam arti nyata, melainkan pula bagaimana kita dapat mempersembahkan bunga padma hredaya kita yang tumbuh sebagai akibat berseminya rasa bhakti itu kepada Tuhan.
- Ketiga mengembangkan pikiran, perbuatan dan perkataan yang suci. Penggunaan plawa ini dimaksudkan dalam berserah diri dilakukan dengan mengembangkan vibrasi kesucian itu kepada setiap lingkungan yang mungkin dapat dicapai. Kita kembali merujuk pada sastra yang memuat kisah Lubdaka, dengan melepaskan dan menjatuhkan helai demi helai daun Bila, mengandung makna kita mulai menghitung karma baik dari pikiran, perkataan dan perbuatan yang pernah kita lakukan, jika merupakan karma yang kurang baik maka hendaknya buanglah jauh-jauh dari diri kita, dan jika karma yang baik peliharalah agar daunnya tumbuh lebih lebat sehingga dapat memberikan kesejukan. Dengan kata lain sesuatu yang baik, yang dapat dicapai patut untuk didayagunakan untuk melayani sesama dan itu berarti juga melayani Tuhan. Dengan demikian prinsip pelayanan kepada Tuhan tidak hanya semata-mata secara langsung ditujukan kepada Tuhan, tetapi pelayanan kepada semua ciptaan Tuhan juga memiliki makna pelayanan kepada Tuhan.
-Keempat adalah melambangkan Widhyadara-Widhyadari. Secara etimologi kata Widyadara itu berasal dari kata Vidya yang berarti Pengetahuan dan kata Dhara artinya memangku atau penyangga. Para pemangku ilmu pengetahuan itulah yang disebut Vidyadara-Vidyadari. Dari ilmu pengetahuan itulah didapatkan pengetahuan atau jnana, sebagai landasan untuk melakukan kerja. Berserah diri kepada Tuhan dalam wujud bhakti hakikatnya adalah penyerahan karma berdasarkan jnana. Demikianlah makna berserah diri yang dilakukan oleh umat Hindu dalam merealisasikan keyakinannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

BEBANTENAN




Upacara Yadnya (Yajna) disebutkan adalah suatu kewajiban yang patut dilaksanakan oleh umat manusia, yang dijelaskan dalam pelaksanaannya dibedakan atas tiga (3) tujuan yaitu :
  1. Keiklasan, 
  2. Harapan untuk memperoleh hasil
  3. Hanya bersifat bodoh yang tidak dilandasi dengan keyakinan dan kepercayaaan.
Seperti penjelasan berikut ini.
Menurut Bhagavad Gita, yadnya atau banten di bedakan menjadi tiga golongan yaitu:

             1.
Satwika yajna, yajna yang dilaksanakan dengan keiklasan tanpa mengharapkan hasilnya, dilaksanakan semata-mata sebagai suatu kewajiban yang patut dilaksanakan. Serta sesuai dengan sastranya.
Aphalakanksibhir yajno…vidhidrsto ta ijayate … yastavyam eve ti manah…samadhaya sa sattvikah
Artinya : … Yajna yang dihaturkan sesuai dengan sastranya. Oleh mereka yang tidak mengharapkan buahnya ( ganjaran ) dan teguh kepercayaannya. Bahwa memang sudah kewajibannya untuk beryajna. Adalah sattvika. Baik.

               2. Rajasika yajna yajna yang dipersembahkan dengan motivasi untuk memamerkan kemampuan serta terikat dengan keinginan untuk memperoleh buahnya.
Abhisamdhya tu phalam…dambhartam api cai va yat…ijyate bharatasrestha…tam yajnam viddhi rajas am
Artinya : … Akan tetapi dihaturkan dengan harapan akan buahnya atau hanya untuk memamerkan., ketahuilah Oh arjuna. Bahwa yajna itu adalah Rajasika, bersifat
rajas yang penuh bernafsu.

               3. Tamasika yajna yajna yang dilaksanakan secara sembarangan, tidak sesuai dengan ketentuan sastranya. Tidak ada makanan yang dibagi bagikan. Tidak ada
mantra, syair yang dinyanyikan. Dan tidak ada dana punia daksina yang diberikan, serta tidak dilandasi dengan keyakinan dan kepercayaaan.

Vidhihinam asrstannam… mantrahinam adaksinam… srddfavirahitam yajnam… tamasam paricaksate
Aritinya :… yajna yang tidak sesuai dengan petunjuk, dengan tidak ada makanan yang dibagi-bagikan, tidak ada mantra,. syair yang dinyanyikan, dan tidak ada dana punia daksina yang diberikan, tidak mengandung kepercayaan, mereka disebut yajna yang Tamasika. Bodoh.

Referensi : penggolongan yadnya tersebut di atas bersumber dari artikel tentang banten di halaman Hindu Bali pada Facebook  (
ref 1).

Dalam lontar Yajna Prakrti (
ref 2), banten memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sacral. Dalam lontar yadnya prakerti tersebut banten disebutkan:
  • Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi
  • Pinaka Warna Rupaning Ida Bhattara
  • Pinaka anda Bhuvana. 
Dalam lontar ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh banten yaitu :
  1. Pinaka Raganta Tuwi, banten itu merupakan perwujudan dari kita sebagai manusia. 
  2. Pinaka Warna Rupaning Ida Bethara", perwujudan dari manifestasi (prabhawa) Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.
  3. Pinaka Andha Bhuwana", refleksi dari wujud alam semesta atau Bhuwana Agung.
Ditambahkan oleh Ida pandhita Mpu Jaya Wiajayananda dalam dokumen tetandingan banten untuk  banten sesayut dalam forum jaringan Hindu Nusantara di Facebook (ref 3), di dalam suatu wujud bebanten dalam upakara terdiri dari tiga kelompok, yaitu;
  1. Kelompok Banten Pangresikan, Pabresihan atau penyucian, yang terdiri dari: Banten Bayakaon, Banten Durmangala, Banten Parayascitta, Pengulapan, Lis bale gadhing, Banten padudusan, Banten Dyuskamaligi.
  2. Banten ayaban atau persembahan, terdiri dari banten ayaban tumpeng lima, banten ayaban tumpeng pitu, banten ayaban tumpeng sya, banten ayaban tumpeng solas, banten ayaban tumpeng telulikur/udel kurenan, banten ayaban maulu Pergembal, Banten ayaban maulu Pregembal bebangkit, banten ayaban maulu pregembal bebangkit dan catur dan seterusnya.
  3. Kelompok banten sebagai pengharapan, tujuan yang ingin dicapai serta sebagai sthana / lingga dari Ista Dewata yang di puja pada upacara tersebut, Pengguaan banten Sesayut atau Tatebasan hendaknya disesuaikan dengan upacara yang di laksanakan.
Karena selain diri kita sendiri, alam semesta ini juga berada dalam pengaruh vibrasi energi kosmik yang bersifat tri guna, yaitu
  • sattvam, 
  • rajas, dan 
  • tamas 
Sehingga manusia patut melaksanakan upacara Panca Yadnya.
Dengan mengurangi penderitaan para mahluk dan menjaga keseimbangan alam semesta ini merupakan
yadnya rahasia yang memiliki tingkat yang paling tinggi, karena pengorbanan demi kebahagiaan mahluk lain adalah rahasia di balik semua kesadaran paripurna.

Selain diukur dari besar-kecilnya volume banten atau besar-kecilnya biaya yang dihabiskan, sebagaimana dikutip dalam "Memahami Banten", oleh Rumah
Dharma - Hindu Indonesia (ref4), ada beberapa faktor penting yang membuat banten bisa memancarkan Vibrasi Kesucian adalah memenuhi tiga persyaratan di bawah ini :
  1. Sumber bahan harus baik. Banten harus bersumber dari bahan atau uang yang baik, tidak dari hasil korupsi, mencuri, merampok, menipu, berhutang, menjual tanah warisan, dll. Banten yang bersumber dari bahan atau uang yang tidak baik, tidak nyambung dan sia-sia. Persembahan yang bersumber dari bahan atau uang seperti itu percuma, sebab vibrasi sattvam [jyoti atau cahaya] dari banten-nya hilang. Maka dari itu, penting sekali membuat banten yang sesuai dengan kemampuan kantong kita yang sewajarnya, agar tujuan yajna dapat tercapai.
  2. Proses Pembuatan. Ketika membuat banten, sebisa mungkin kita harus membuatnya dengan pikiran bersih, disertai ketulusan dan kesabaran. Kalau bisa dengan diam atau dengan menyanyi lagu-lagu kidung surgawi [atau boleh juga dengan lagu-lagu mantra ala modern], agar pikiran kita terpusat. Jangan membuat banten sambil bergosip atau omongan aneh-aneh lainnya. Kita bisa bandingkan dengan saat  banten disiapkan untuk upacara besar di Besakih. Tempat membuat banten disebut dengan pesucian yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang atau orang yang tidak berkepentingan. Ini erat kaitannya dengan proses pembuatan. Kalaupun banten-nya membeli, membelinya jangan disertai dengan keluhan-keluhan ini-itu. Sebab hal ini berpengaruh kepada vibrasi banten-nya.
  3. Proses menghantar, apapun yang terjadi ketika kita menghaturkan banten, jangan lupa dilaksanakan dengan sejuk, teduh dan penuh kesabaran. Kalau gara-gara mebanten kita bertengkar atau krodha dengan marah-marah, hal ini sangat mempengaruhi banten-nya. Jangan pernah sampai karena banten, yajna atau upakara kita jadi menyakiti hati orang lain.
Nilai - nilai yang terkandung dan pembagian dari pelaksanaan suatu yadnya seperti dijelaskan dalam kutipan sumber referensi MARGA YADNYA « santiawan's Blog dijelaskan sebagai berikut Didalam melakukan Yadnya terkandung nilai-nilai yaitu :
  • Nilai rasa tulus iklas dan suci tanpa pamrih.
  • Rasa bakti, memuja dan menghormati Tuhan, Dewa, Bhatara, Leluhur, orang tua, bangsa dan Negara dan lingkngan kita.
  • Didalam melaksanakanya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Yang disesuaikan dengan Tempat, Waktu dan keadaan.
  • Suatu ajaran dan Catur Weda yang merupakan sumber ilmu pengetahuan yang suci dan kebenaran sejati dan abadi.
Dilihat dari pembagianya, yadnya dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
  1. Menurut Tingkat pelaksanaanya
  2. Menurut jenisnya (Panca Yadnya)
  3. Menurut Waktu pelaksanaanya
  4. Menurut Cara Menjalankanya (Panca Marga Yadnya).
1.     Drewya Yadnya | kedamaian hidup bersama masyarakat, bangsa dan Negara ...
2.     Swadyaya Yadnya | terdorong oleh rasa kasih sayang yang begitu besar ....
3.     Yoga Yadnya | dapat merasakan bersatu denganNya ...
4.     Tapa Yadnya | jalan peneguh iman ....
5.     Jnana Yadnya | berintikan ilmu pengetahuan dan kesucian ..
Demikian dijelaskan banten sebagai sarana yadnya yang dikutip dari berbagai sumber referensi sehingga dalam tata cara pelaksanaan yadnya itu sebagaimana disebutkan hendaknya juga sesuai dengan yasa kirti menurut ketentuan dalam sastranya dengan demikian unsur utama pelaksana yadnya, yaitu pendeta (sulinggih) yang akan memuja, tukang banten serta orang yang melaksanakan yadnya itu hendaknya seiring sejalan, tidak saling bertentangan.
Dan jika seandainya seandainya upacara yadnya itu dapat lebih dihemat sedikit dan hasil penghematan itu diwujudkan dengan membentuk perpustakaan pura, desa atau banjar yang dalam brahma yadnya disebutkan, tentu hal ini akan sangat utama sesuai dengan ketentuan sastra agama untuk menopang hidup manusia mendapatkan kebahagiaan yang lebih baik.