Selasa, 13 Mei 2014
BANTEN BAHASA SIMBUL
BANTEN SIMBUL PENYERAHAN DIRI
BERSERAH diri menurut konsep Hindu,
bukan sebuah sikap apatis, melainkan sebuah sikap proaktif yang bersifat
dinamis, untuk memperbaiki kehidupan ini dengan senantiasa menumbuh kembangkan
rasa bhakti yang dilandasi oleh Jnana dan Karma. Banten menurut Yajna Prakrti
merupakan salah satu bentuk penyerahan diri kepada hyang Widhi. Hal ini
disebutkan sebagai berikut : "Reringgitan tatuwasan pinaka kalanggengan
kayunta mayajna. Sekare pinaka kaheningan kayunta mayajna. Plawa pinaka pakayunane
suci, raka-raka pinaka Widyadara-Widyadari". Artinya: Reringgitan dan
Tatuwasan lambang dari kesungguhan hati dalam beryajna. Bunga lambang dari
kesucian hati untuk beryajna. Daun-daunan lambang dari tumbuh berkembangnya
pikiran suci. Buah-buahan, jajan pelengkap banten adalah melambangkan
Widhyadara dan Widhyadari. Apa yang dilukiskan oleh pernyataan lontar diatas merupakan
penjabaran dari konsep bhakti menurut Hindu yang dikemas dalam wujud banten,
jika hal itu disimpulkan ternyata didalamnya terkandung ajaran syarat-syarat
berserah diri kepada Hyang Widhi, yang mana hal itu digambarkan :
- Pertama adalah langgeng artinya
bersungguh-sungguh. Berserah diri kepada Hyang Widhi tidaklah boleh ragu-ragu.
Berserah diri hendaknya dilandasi oleh keyakinan yang kuat dan keteguhan hati, bahwa
Tuhan itu Maha Kuasa dan Maha Adil. Seseorang yang memiliki keteguhan hati
merupakan cerminan dari kebijaksanaan serta pikiran yang mantap. Konsep
langgeng dan keteguhan hati ini dalam Bhagawad Gita II 54 diistilahkan dengan
Sthitaprajna, yakni orang yang teguh dalam yoga yang tidak terpengaruh oleh
suka dan duka.
- Kedua adalah kesucian pikiran.
Pikiran atau manah harus diperkuat hingga mencapai kesempurnaan untuk
mengendalikan indria sesuai bunyi Bhagawad Gita III 42. Manah yang sempurna
berada di bawah kendali dari Buddhi. Biddhi yang kuat berada di bawah sinar
suci atma. Kesucian pikiran ini hendaknya senantiasa diperjuangkan dalam wujud
latihan rohani dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan bunga dalam upacara
tidak hanya dalam arti nyata, melainkan pula bagaimana kita dapat
mempersembahkan bunga padma hredaya kita yang tumbuh sebagai akibat berseminya
rasa bhakti itu kepada Tuhan.
- Ketiga mengembangkan pikiran,
perbuatan dan perkataan yang suci. Penggunaan plawa ini dimaksudkan dalam
berserah diri dilakukan dengan mengembangkan vibrasi kesucian itu kepada setiap
lingkungan yang mungkin dapat dicapai. Kita kembali merujuk pada sastra yang
memuat kisah Lubdaka, dengan melepaskan dan menjatuhkan helai demi helai daun Bila,
mengandung makna kita mulai menghitung karma baik dari pikiran, perkataan dan
perbuatan yang pernah kita lakukan, jika merupakan karma yang kurang baik maka
hendaknya buanglah jauh-jauh dari diri kita, dan jika karma yang baik
peliharalah agar daunnya tumbuh lebih lebat sehingga dapat memberikan
kesejukan. Dengan kata lain sesuatu yang baik, yang dapat dicapai patut untuk
didayagunakan untuk melayani sesama dan itu berarti juga melayani Tuhan. Dengan
demikian prinsip pelayanan kepada Tuhan tidak hanya semata-mata secara langsung
ditujukan kepada Tuhan, tetapi pelayanan kepada semua ciptaan Tuhan juga
memiliki makna pelayanan kepada Tuhan.
-Keempat adalah melambangkan
Widhyadara-Widhyadari. Secara etimologi kata Widyadara itu berasal dari kata
Vidya yang berarti Pengetahuan dan kata Dhara artinya memangku atau penyangga.
Para pemangku ilmu pengetahuan itulah yang disebut Vidyadara-Vidyadari. Dari
ilmu pengetahuan itulah didapatkan pengetahuan atau jnana, sebagai landasan
untuk melakukan kerja. Berserah diri kepada Tuhan dalam wujud bhakti hakikatnya
adalah penyerahan karma berdasarkan jnana. Demikianlah makna berserah diri yang
dilakukan oleh umat Hindu dalam merealisasikan keyakinannya kepada Tuhan Yang
Maha Esa.BEBANTENAN
Upacara Yadnya (Yajna) disebutkan adalah suatu
kewajiban yang patut dilaksanakan oleh umat manusia, yang dijelaskan dalam pelaksanaannya dibedakan atas tiga
(3) tujuan yaitu :
- Keiklasan,
- Harapan untuk memperoleh hasil
- Hanya bersifat bodoh yang tidak dilandasi dengan keyakinan dan kepercayaaan.
Seperti penjelasan berikut ini.
Menurut Bhagavad Gita, yadnya atau banten di bedakan menjadi tiga golongan yaitu:
1. Satwika yajna, yajna yang dilaksanakan dengan keiklasan tanpa mengharapkan hasilnya, dilaksanakan semata-mata sebagai suatu kewajiban yang patut dilaksanakan. Serta sesuai dengan sastranya.
Aphalakanksibhir yajno…vidhidrsto ta ijayate … yastavyam eve ti manah…samadhaya sa sattvikah
Artinya : … Yajna yang dihaturkan sesuai dengan sastranya. Oleh mereka yang tidak mengharapkan buahnya ( ganjaran ) dan teguh kepercayaannya. Bahwa memang sudah kewajibannya untuk beryajna. Adalah sattvika. Baik.
2. Rajasika yajna yajna yang dipersembahkan dengan motivasi untuk memamerkan kemampuan serta terikat dengan keinginan untuk memperoleh buahnya.
Abhisamdhya tu phalam…dambhartam api cai va yat…ijyate bharatasrestha…tam yajnam viddhi rajas am
Artinya : … Akan tetapi dihaturkan dengan harapan akan buahnya atau hanya untuk memamerkan., ketahuilah Oh arjuna. Bahwa yajna itu adalah Rajasika, bersifat rajas yang penuh bernafsu.
3. Tamasika yajna yajna yang dilaksanakan secara sembarangan, tidak sesuai dengan ketentuan sastranya. Tidak ada makanan yang dibagi bagikan. Tidak ada mantra, syair yang dinyanyikan. Dan tidak ada dana punia daksina yang diberikan, serta tidak dilandasi dengan keyakinan dan kepercayaaan.
Vidhihinam asrstannam… mantrahinam adaksinam… srddfavirahitam yajnam… tamasam paricaksate
Aritinya :… yajna yang tidak sesuai dengan petunjuk, dengan tidak ada makanan yang dibagi-bagikan, tidak ada mantra,. syair yang dinyanyikan, dan tidak ada dana punia daksina yang diberikan, tidak mengandung kepercayaan, mereka disebut yajna yang Tamasika. Bodoh.
Referensi : penggolongan yadnya tersebut di atas bersumber dari artikel tentang banten di halaman Hindu Bali pada Facebook (ref 1).
Dalam lontar Yajna Prakrti (ref 2), banten memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sacral. Dalam lontar yadnya prakerti tersebut banten disebutkan:
Menurut Bhagavad Gita, yadnya atau banten di bedakan menjadi tiga golongan yaitu:
1. Satwika yajna, yajna yang dilaksanakan dengan keiklasan tanpa mengharapkan hasilnya, dilaksanakan semata-mata sebagai suatu kewajiban yang patut dilaksanakan. Serta sesuai dengan sastranya.
Aphalakanksibhir yajno…vidhidrsto ta ijayate … yastavyam eve ti manah…samadhaya sa sattvikah
Artinya : … Yajna yang dihaturkan sesuai dengan sastranya. Oleh mereka yang tidak mengharapkan buahnya ( ganjaran ) dan teguh kepercayaannya. Bahwa memang sudah kewajibannya untuk beryajna. Adalah sattvika. Baik.
2. Rajasika yajna yajna yang dipersembahkan dengan motivasi untuk memamerkan kemampuan serta terikat dengan keinginan untuk memperoleh buahnya.
Abhisamdhya tu phalam…dambhartam api cai va yat…ijyate bharatasrestha…tam yajnam viddhi rajas am
Artinya : … Akan tetapi dihaturkan dengan harapan akan buahnya atau hanya untuk memamerkan., ketahuilah Oh arjuna. Bahwa yajna itu adalah Rajasika, bersifat rajas yang penuh bernafsu.
3. Tamasika yajna yajna yang dilaksanakan secara sembarangan, tidak sesuai dengan ketentuan sastranya. Tidak ada makanan yang dibagi bagikan. Tidak ada mantra, syair yang dinyanyikan. Dan tidak ada dana punia daksina yang diberikan, serta tidak dilandasi dengan keyakinan dan kepercayaaan.
Vidhihinam asrstannam… mantrahinam adaksinam… srddfavirahitam yajnam… tamasam paricaksate
Aritinya :… yajna yang tidak sesuai dengan petunjuk, dengan tidak ada makanan yang dibagi-bagikan, tidak ada mantra,. syair yang dinyanyikan, dan tidak ada dana punia daksina yang diberikan, tidak mengandung kepercayaan, mereka disebut yajna yang Tamasika. Bodoh.
Referensi : penggolongan yadnya tersebut di atas bersumber dari artikel tentang banten di halaman Hindu Bali pada Facebook (ref 1).
Dalam lontar Yajna Prakrti (ref 2), banten memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sacral. Dalam lontar yadnya prakerti tersebut banten disebutkan:
- Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi
- Pinaka Warna Rupaning Ida Bhattara
- Pinaka anda Bhuvana.
Dalam lontar ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud
lambang oleh banten yaitu :
- Pinaka Raganta Tuwi, banten itu merupakan perwujudan dari kita sebagai manusia.
- Pinaka Warna Rupaning Ida Bethara", perwujudan dari manifestasi (prabhawa) Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.
- Pinaka Andha Bhuwana", refleksi dari wujud alam semesta atau Bhuwana Agung.
Ditambahkan oleh Ida pandhita Mpu Jaya Wiajayananda dalam dokumen tetandingan
banten untuk banten
sesayut dalam forum jaringan Hindu
Nusantara di Facebook (ref 3), di dalam suatu wujud bebanten dalam upakara terdiri dari tiga kelompok, yaitu;
- Kelompok Banten Pangresikan, Pabresihan atau penyucian, yang terdiri dari: Banten Bayakaon, Banten Durmangala, Banten Parayascitta, Pengulapan, Lis bale gadhing, Banten padudusan, Banten Dyuskamaligi.
- Banten ayaban atau persembahan, terdiri dari banten ayaban tumpeng lima, banten ayaban tumpeng pitu, banten ayaban tumpeng sya, banten ayaban tumpeng solas, banten ayaban tumpeng telulikur/udel kurenan, banten ayaban maulu Pergembal, Banten ayaban maulu Pregembal bebangkit, banten ayaban maulu pregembal bebangkit dan catur dan seterusnya.
- Kelompok banten sebagai pengharapan, tujuan yang ingin dicapai serta sebagai sthana / lingga dari Ista Dewata yang di puja pada upacara tersebut, Pengguaan banten Sesayut atau Tatebasan hendaknya disesuaikan dengan upacara yang di laksanakan.
Karena selain diri kita sendiri, alam semesta ini juga
berada dalam pengaruh vibrasi energi kosmik yang bersifat tri
guna, yaitu
- sattvam,
- rajas, dan
- tamas
Sehingga manusia patut melaksanakan
upacara Panca Yadnya.
Dengan mengurangi penderitaan para mahluk dan menjaga keseimbangan alam semesta ini merupakan yadnya rahasia yang memiliki tingkat yang paling tinggi, karena pengorbanan demi kebahagiaan mahluk lain adalah rahasia di balik semua kesadaran paripurna.
Selain diukur dari besar-kecilnya volume banten atau besar-kecilnya biaya yang dihabiskan, sebagaimana dikutip dalam "Memahami Banten", oleh Rumah Dharma - Hindu Indonesia (ref4), ada beberapa faktor penting yang membuat banten bisa memancarkan Vibrasi Kesucian adalah memenuhi tiga persyaratan di bawah ini :
Dengan mengurangi penderitaan para mahluk dan menjaga keseimbangan alam semesta ini merupakan yadnya rahasia yang memiliki tingkat yang paling tinggi, karena pengorbanan demi kebahagiaan mahluk lain adalah rahasia di balik semua kesadaran paripurna.
Selain diukur dari besar-kecilnya volume banten atau besar-kecilnya biaya yang dihabiskan, sebagaimana dikutip dalam "Memahami Banten", oleh Rumah Dharma - Hindu Indonesia (ref4), ada beberapa faktor penting yang membuat banten bisa memancarkan Vibrasi Kesucian adalah memenuhi tiga persyaratan di bawah ini :
- Sumber bahan harus baik. Banten harus bersumber dari bahan atau uang yang baik, tidak dari hasil korupsi, mencuri, merampok, menipu, berhutang, menjual tanah warisan, dll. Banten yang bersumber dari bahan atau uang yang tidak baik, tidak nyambung dan sia-sia. Persembahan yang bersumber dari bahan atau uang seperti itu percuma, sebab vibrasi sattvam [jyoti atau cahaya] dari banten-nya hilang. Maka dari itu, penting sekali membuat banten yang sesuai dengan kemampuan kantong kita yang sewajarnya, agar tujuan yajna dapat tercapai.
- Proses Pembuatan. Ketika membuat banten, sebisa mungkin kita harus membuatnya dengan pikiran bersih, disertai ketulusan dan kesabaran. Kalau bisa dengan diam atau dengan menyanyi lagu-lagu kidung surgawi [atau boleh juga dengan lagu-lagu mantra ala modern], agar pikiran kita terpusat. Jangan membuat banten sambil bergosip atau omongan aneh-aneh lainnya. Kita bisa bandingkan dengan saat banten disiapkan untuk upacara besar di Besakih. Tempat membuat banten disebut dengan pesucian yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang atau orang yang tidak berkepentingan. Ini erat kaitannya dengan proses pembuatan. Kalaupun banten-nya membeli, membelinya jangan disertai dengan keluhan-keluhan ini-itu. Sebab hal ini berpengaruh kepada vibrasi banten-nya.
- Proses menghantar, apapun yang terjadi ketika kita menghaturkan banten, jangan lupa dilaksanakan dengan sejuk, teduh dan penuh kesabaran. Kalau gara-gara mebanten kita bertengkar atau krodha dengan marah-marah, hal ini sangat mempengaruhi banten-nya. Jangan pernah sampai karena banten, yajna atau upakara kita jadi menyakiti hati orang lain.
Nilai - nilai yang terkandung dan pembagian dari pelaksanaan
suatu yadnya seperti dijelaskan dalam kutipan sumber referensi MARGA YADNYA « santiawan's Blog dijelaskan sebagai berikut Didalam melakukan Yadnya
terkandung nilai-nilai yaitu :
- Nilai rasa tulus iklas dan suci tanpa pamrih.
- Rasa bakti, memuja dan menghormati Tuhan, Dewa, Bhatara, Leluhur, orang tua, bangsa dan Negara dan lingkngan kita.
- Didalam melaksanakanya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Yang disesuaikan dengan Tempat, Waktu dan keadaan.
- Suatu ajaran dan Catur Weda yang merupakan sumber ilmu pengetahuan yang suci dan kebenaran sejati dan abadi.
Dilihat dari pembagianya, yadnya dibagi menjadi 4 bagian
yaitu:
- Menurut Tingkat pelaksanaanya
- Menurut jenisnya (Panca Yadnya)
- Menurut Waktu pelaksanaanya
- Menurut Cara Menjalankanya (Panca Marga Yadnya).
Demikian dijelaskan banten sebagai sarana yadnya yang
dikutip dari berbagai sumber referensi sehingga dalam tata cara pelaksanaan
yadnya itu sebagaimana disebutkan hendaknya juga sesuai dengan yasa
kirti menurut ketentuan dalam sastranya
dengan demikian unsur utama pelaksana yadnya, yaitu pendeta (sulinggih) yang akan memuja, tukang banten serta orang yang
melaksanakan yadnya itu hendaknya seiring sejalan, tidak saling bertentangan.
Dan jika seandainya seandainya upacara yadnya itu dapat
lebih dihemat sedikit dan hasil penghematan itu diwujudkan dengan membentuk
perpustakaan pura, desa atau banjar yang dalam brahma
yadnya disebutkan, tentu hal ini akan
sangat utama sesuai dengan ketentuan sastra agama untuk menopang hidup manusia
mendapatkan kebahagiaan yang lebih baik.
Langganan:
Postingan (Atom)