Kamis, 23 Oktober 2014

topeng sida karya



      


 SEJARAH TOPENG SIDAKARYA
Sejarah Topeng Sidakarya diawali dari perjalanan seorang Brahmana yang bernama Brahmana Keling. Berikut adalah ringkasan dari perjalanan beliau. Pada jaman dahulu di suatu daerah yang bernama Keling ada seorang pendeta yang sangat termashyur karena pandangannya tentang kebenaran yang utama yang mempunyai “Ilmu Kelepasan Jiwa”.  Ia disebut sebagai Brahmana Keling karena beliau berasal dari sebuah daerah yang bernama Keling di Jawa Timur. Beliau juga mendirikan pesraman atau pertapaan di lereng Gunung Bromo. Brahmana Keling adalah putra dari Danghyang Kayumanis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Mpu Beradah. Tetapi sampai saat ini belum ada yang tahu nama Beliau yang sebenarnya, karena beliau berasal dari daerah Keling maka beliau dipanggil dengan sebutan Brahmana Keling.
Ø  Perjalanan – Perjalanan Brahmana Keling
Dalam buku Babad Sidakarya karangan I Nyoman Kantun, S.H. MM dan Drs. I Ketut Yadnya terbitan PT Upada Sastra pada tahun 2003, diceritakan bahwa Brahmana Keling melakukan perjalanan ke Madura, Bali, dan terakhir menuju Badanda Negara atau Sidakarya sekarang. Berikut ini adalah riwayat perjalanan beliau.
Perjalanan Brahmana Keling ke Madura
Konon kerajaan Madura pernah lalai untuk menunaikan Saji Pepajegan yang merupakan upacara tarian persembahan kepada para Leluhur. Karena raja pada waktu itu kurang yakin terhadap akibat yang ditimbulkan apabila upacara tidak dilaksanakan, dan juga rakyat Madura kurang memperhatikan serta melupakan tradisi warisan dari generasi sebelumnya, akhirnya terjadi kekacauan di Kerajaan Madura. Mendengar peristiwa itu, Brahmana Keling lalu pergi ke Madura. Sesampainya beliau di Madura, Raja menjamunya selayaknya menjamu seorang Brahmana. Saat itu, beliau banyak memberikan nasihat – nasihat terutama untuk Sang Raja agar upacara yang Saji Pepajegan dilaksanakan dengan baik demi kesejahteraan rakyat. Awalnya Raja tidak percaya terhadap nasihat – nasihat yang diberikan oleh Brahmana Keling kepadanya, tetapi Brahmana Keling tidak putus asa begitu saja karena Beliau tahu bahwa Sang Raja selalu dihantui oleh rasa bimbang.
Supaya Sang Raja merasa yakin, Akhirnya Brahmana Keling memperlihatkan dan menunjukkan kekuatan batinnya dengan cara Pohon pisang yang sudah layu dan kering Beliau hidupkan lagi sehingga menjadi hijau dan subur kembali, Benang yang semula berwarna hitam dalam sekejap beliau rubah menjadi berwarna putih, dan hal – hal aneh lainnya yang Brahmana Keling tunjukkan pada Raja agar Sang Raja percaya padanya.
            Akhirnya Sang Raja terperangah dan terpesona melihat keajaiban yang Brahmana Keling tunjukkan. Sejak saat itu, Sang Raja sangat taat menjalankan petunjuk – petunjuk yang diberikan oleh Brahmana Keling, beliau juga ditunjuk untuk memimpin upacara di Madura. Setelah itu, upacara – upacara seperti tari saji pajegan berlangsung dengan lancar dan sukses. Keadaan kerajaan kembali aman dan tenteram. Oleh karena itu di Madura beliau dijuluki sebagai Brahmana Wasaka yang kira – kira berasal dari kata Wacika yang berarti ucapan atau perkataan dan Satya yang berarti kesatria atau kebenaran. Secara umum Brahmana Wasaka berarti apa yang beliau ucapkan selalu dapat dibuktikan kebenarannya (sidhi ngucap sidhi mandi). Beliau selanjutnya kembali ke Jawa Timur.
 Perjalanan Brahmana Keling ke Bali
Sekembalinya beliau ke Jawa, dengan perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, sampailah beliau di sebuah Desa bernama Desa Muncar. Di sini beliau beristirahat sejenak sambil menikmati keindahan panorama selat Bali. Tiba – tiba muncul ayahnya (Dang Hyang Kayumanis) yang bercerita panjang lebar tentang keberadaannya di Nusa Bali. Ayah beliau juga bercerita tentang kerajaan Gelgel yang dipimpin oleh Dalem Waturenggong dan didampingi oleh Dang Hyang Nirartha sebagai penasehat dalam bidang keagamaan (kerohanian) yang akan melaksanakan upacara Eka Dasa Rudra di Pura Besakih.
Setelah pertemuan Dang Hyang Kayumanis dan Brahmana Keling, Sang Ayah melanjutkan perjalanan ke Pesraman di Jawa Timur (Daerah Keling) sedangkan sang Anak melakukan perjalanan ke pulau Bali menuju Kerajaan Gelgel.
Tak ada yang tahu tentang bagaimana perjalanan Brahmana Keling ke Bali. Sesampainya beliau di Gelgel, Kerajaan sedang dalam kondisi sepi dan beliau disapa oleh beberapa pemuka masyarakat yang ada di Kerajaan. Beliau tiba dalam kondisi lesu, lusuh, dengan pakaian yang kumal dan kotor. Ketika beliau ditanya tentang tujuan beliau ke Gelgel, beliau menjawab bahwa beliau ingin menemui saudaranya yaitu Sang Prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Karena orang yang ingin ditemui oleh Brahmana Keling tidak ada di Kerajaan, maka beliau dipersilahkan oleh pemuka masyarakat yang menyapa beliau untuk menuju ke pura Besakih sebab mereka sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan upacara Eka Dasa Rudra. Sesampainya beliau di pelataran Pura Besakih, beliau disapa oleh masyarakat yang sedang ngayah dan ditanyakan maksud kedatangan beliau. Brahmana Keling menjawab bahwa beliau ingin bertemu saudara beliau yaitu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Masyarakat tadi tidak percaya terhadap jawaban Brahmana Keling yang mengaku – ngaku sebagai saudara dengan Dalem junjungannya, bahkan masyarakat ini tersinggung karena menurutnya tidak mungkin Dalem junjungannya memiliki saudara yang penampilannya seperti pengemis. Tetapi Brahmana Keling tetap bersikeras dan beliau berhasil masuk ke dalam pura. Akhirnya mungkin karena kelelahan, Brahmana Keling langsung menuju ke pelinggih Surya Chandra dan duduk beristirahat untuk melepas penatnya. Tak berselang berapa lama, datanglah Sang Prabu Dalem Waturenggong, begitu beliau menoleh ke atas pelinggih Surya Chandra alangkah terkejutnya beliau. Karena murkanya beliau langsung memanggil prajurit untuk menanyakan siapa gerangan orang yang telah berani duduk di atas pelinggih Surya Chandra. Prajurit menjawab bahwa orang itu (Brahmana Keling) memang dari tadi memaksa untuk masuk dan beliau mengaku sebagai saudara Sang Prabu dan Dang Hyang Nirartha. Tetapi tidak ada yang tahu mengapa tiba – tiba orang itu sudah ada di atas pelinggih Surya Chandra.
Bertambah murkalah Sang Prabu setelah mendengarkan apa yang disampaikan oleh prajurit tersebut. Sang Prabu lalu memerintahkan Rakyat dan semua pengayah untuk mengusir orang yang disangka gila tersebut. Karena saking mulianya hati sang Brahmana, beliau tidak melawan sedikitpun saat diusir oleh rakyat dan pengayah karena Sang Prabu sudah tidak mengakui beliau sebagai saudara lagi. Sebelum Brahmana Keling meninggalkan Besakih, beliau mengucapkan kutukan yang berbunyi  “wastu tata astu karya yang dilaksanakan di pura Besakih ini tan Sidakarya (tidak sukses), bunga kekeringan, rakyat kegeringan (diserang wabah penyakit), sarwa gumatat gumitit (binatang kecil/hama) membuat kehancuran (ngerebeda) di seluruh jagat (bumi) Bali.” Begitulah ucapan yang keluar dari mulut Brahmana Keling yang bagaikan suara petir di langit yang cerah. Semua masyarakat menyaksikan dengan mulut menganga, terpaku tak berkutik sedikitpun. Lalu Brahmana Keling meninggalkan Besakih menuju Barat Daya.
Dan apa yang dikatakan oleh Brahmana Keling menjadi kenyataan hingga dalam suatu pertapaan yang dilakukan oleh Dalem Waturenggong, beliau mendapat pawisik yang mengatakan bahwa hanya Brahmana Keling saja yang dapat mengembalikan keadaan seperti semula, lalu Brahmana Keling dijemput oleh rombongan dari kerajaan Gelgel dan Brahmana Keling bersedia untuk menghadap Dalem Waturenggong di kerajaan Gelgel. Ternyata setibanya Brahmana Keling di Kerajaan Gelgel, beliau dapat mengembalikan keadaan seperti sedia kala, menjadi aman dan tentram. Sehingga beliau dianugrahi gelar Dalem Sidakarya.
Sebagai penghormatan dan kenangan dari peristiwa di atas, selanjutnya dari ketiga tokoh penting dalam pemerintahan Dalem Waturenggong yaitu Dalem Waturenggong sendiri, Dang Hyang Nirartha, dan Dalem Sidakarya, akhirnya Dalem Waturenggong memerintahkan Pasek Akeluddadah untuk pertamakalinya membuat tapel atau topeng yang menggambarkan Sang Tiga Sakti atau ketiga tokoh yang berperan penting dalam pemerintahan Dalem Waturenggong. Menurut orang yang menulis buku ini, Akeluddadah berasal dari dua kata yaitu Akelud yang berarti penyucian atau pembersihan(pemarisudha) dan Dadah yang berarti air atau air suci(tirta). Jadi Akeluddadah berarti tirta pemarisudha atau penyucian segala bentuk mala atau kotoran yang disimbolkan dengan topeng yang dipentaskan sebagai tarian sacral pada sebuah pelaksanaan upacara Yadnya. Karena I Pasek ini berjasa dalam membuat topeng Akeluddadah, maka beliau disebut dengan Pasek Akeluddadah. Namun topeng yang dibuat oleh Pasek Akeluddadah belum diketahui keberadaannya.
Demi kesempurnaan upacara Yadnya, sebagai penutup rangkaian upacara dipentaskan Tari Topeng Sidakarya yang dalam pentasnya dapat dibawakan dengan seorang diri (memajeg) atau ditarikan oleh lebih dari satu orang tergantung keadaan. Dalam Tari Topeng Sidakarya, tokoh penting yang ditampilkan adalah Tokoh Dang Hyang Nirartha sebagai Pendeta, Dalem Waturenggong sebagai Penguasa/Raja dan Dalem Sidakarya yang disebut sebagai Sang Tiga Sakti.

 Perjalanan Brahmana Keling ke Badanda Negara(Sidakarya sekarang)
Singkat cerita sampailah Brahmana Keling di Badanda Negara yaitu di Desa Sidakarya sekarang. Badanda Negara berasal dari kata Badanda yang berarti Padanda atau pandan (pohon berduri) dan Negara berarti Wilayah, maka Badanda Negara berarti Pandan Negara atau suatu wilayah dimana banyak tumbuh pohon pandan dan sejenisnya. Di pesisir selatan kerajaan Badung banyak ditumbuhi dengan pohon pandan, jeruju, serta bakau, oleh karena itu  daerah pesisir ini lumrah disebut dengan Badanda Negara atau Pandan Negara. Di sana beliau membuat pesanggrahan / pesraman sebagaimana layaknya seorang Brahmin.
Sepeninggal Brahmana Keling dari Pura Besakih, tidak berapa hari suasana jagat Bali terutama kerajaan Gelgel dan sekitarnya berangsur – angsur menampakkan situasi yang tidak mengenakkan. Seperti ucapan Sang Brahmana Keling dalam kutukannya, semua pohon – pohonan yang berguna bagi pelaksanaan karya Eka Dasa Rudra di Besakih seperti kelapa, pisang, padi, sayuran, dan sebagainya semua layu. Buah – buahan berguguran, wabah dan hama seperti ulat, tikus, dan lain – lain semakin banyak dan ganas menyerang tanaman – tanaman petani. Bumi seketika menjadi kering kerontang, wabah penyakit (gerubug) menyerang penduduk. Terjadi pertengkaran antar pengayah yang disebabkan oleh hal – hal yang sepele, hingga keadaan menjadi kacau balau. Oleh karena itu, pelaksanaan karya urung dilaksanakan, karena sudah tidak memungkinkan untuk diteruskan. Melihat kenyataan seperti itu, Dang Hyang Nirartha diperintahkan oleh Dalem Waturenggong melakukan upacara pembasmian, bahkan dengan dilakukannya tapa semadi oleh Dang Hyang Nirartha seakan – akan tidak mempan, bahkan terkesan masalah semakin menjadi – jadi. Semua keadaan serba menyedihkan. Akhirnya Ida Dalem sendiri yang turun tangan. Pada suatu malam Dalem Waturenggong mengadakan Tapa Semadi di Pura Besakih. Beliau mendapatkan pewisik dari ida Betara yang berstana di Pura Besakih, bahwa Dalem Waturenggong telah berdosa karena mengusir saudaranya sendiri secara hina dan hanya Brahmana Kelinglah yang dapat mengembalikan keadaan seperti sedia kala.
Setelah mendapatkan petunjuk berupa pawisik, esok harinya Dalem Waturenggong langsung memanggil perdana menterinya yaitu Arya Kepakisan (Gusti Agung Petandakan) serta memanggil para patih lainnya seperti Arya Pengalasan, Arya Ularan, dan lainnya termasuk para punggawa untuk mengadakan siding. Dalam Sidang tanpa agenda tersebut, diputuskan agar menjemput Brahmana Keling yang pernah diusir sebelumnya secepatnya karena hanya beliau yang dapat mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Dikatakan juga bahwa beliau (Brahmana Keling) sedang berada di Badanda Negara yaitu di pesisir selatan Kadipaten Badung. PAda waktu itu yang menjadi Anglurah (Raja) di Badanda Negara (Badung) adalah I Gusti Tegeh Kori dari Dinasti Tegeh Kori.
Singkat cerita berangkatlah rombongan yang ditugaskan untuk menjemput Brahmana Keling ke Badanda Negara. Pertama – tama mereka menuju Kerajaan Tegeh Kori untuk meminta petunjuk  lebih lanjut. Akhirnya mereka diarahkan untuk menuju Pandan Negara (Pesisir Selatan Kerajaan Badung yang menjadi Sidakarya sekarang). Sesampainya rombongan di Pandan-Negara, bertemulah mereka dengan Brahmana Keling. Mereka langsung menghaturkan sembah sujud mohon ampun sekaligus menceritakan tentang maksud kedatangan mereka menghadap beliau. Sesuai dengan perintah Dalem Waturenggong, Brahmana Keling diminta untuk bersedia datang kehadapan Dalem Waturenggong sesegera mungkin. Sesudah mereka bercerita, Brahmana Keling mempersilahkan mereka untuk kembali ke Kerajaan Gelgel lebih dulu, Brahmana Keling akan menyusul kemudian.
Topeng Sidakarya


Selain versi cerita di atas ada juga versi cerita lainnya tentang kedatangan Brahmana Keling ke Bali yang sedikit berbeda namun intinya tetap sama. Kisahnya konon terjadi pada pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel, tatkala beliau mengadakan upacara besar di Pura Besakih. Banyak pandita yang diundang untuk muput upacara ini. Tersebutlah pandita (brahmana) sakti dari Keling, yang tidak diundang dalam upacara itu, tetapi ingin terlibat muput karya. Niatnya ini karena didasarkan pada hubungan kekerabatan antara Keling di Jawa dan Gelgel di Bali karena itu beliau datang. Sayangnya, karena perjalanan yang jauh dan berhari-hari, Pandita Keling sampai di Gelgel dalam keadaan kumal, bajunya compang-camping, mirip seorang pengemis. Dalam pakaian seperti itu, tak ada seorang pun staf kerajaan yang percaya kalau tamu tanpa diundang ini seorang pandita. Maka, Pandita Keling diusir dengan paksa, setelah sebelumnya sempat dihina.
Pandita Keling pergi dengan dendam. Di sebuah tempat yang sepi, dia melakukan perlawanan dengan mengucapkan mantra yang berisi sumpah yadnya yang diselenggarakan oleh Dalem Waturenggong tidak akan membawa berkah/tidak berhasil, malahan menimbulkan bencana. Semua banten menjadi busuk dan tikus-tikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus semakin banyak sampai merusak tanaman petani. Rakyat menjadi resah. Raja Waturenggong dalam samadinya tahu siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia lantas mengutus Arya Tangkas untuk menjemput pandita yang masih tinggal di tempat sepi (suung) itu. Raja meminta maaf dan mempersilakan Pandita Keling untuk ikut muput upacara bahkan menjadi pamuput paling akhir sehingga karya itu menjadi sida (diberkahi). Prosesi ini bagi masyarakat kebanyakan lantas disebut pamuput Sidakarya.
Dari legenda itu masyarakat Hindu di Bali lantas membuat Topeng Sidakarya. Wujudnya berwajah jelek dengan gigi merangas sebagai simbol dari pandita yang wajahnya mirip gelandangan. Karena itu, penari Topeng Sidakarya biasanya lebih banyak menutup wajah (terutama mulut) dengan kain putih yang dibawanya. Namun, mantra yang diucapkan sangat bertuah karena dilakukan dengan ngider buwana (ke segala arah). Itu sebabnya, tidak semua penari topeng mampu menarikan Dalem Sidakarya.

 Proses Tarian dan Ritual Pembuatan Topeng Sidakarya
Adapun ciri – ciri dari topeng Sidakarya adalah berwarna putih, bermata sipit, giginya agak maju (jongos), berwajah setengah manusia dan setengah demanik, berambut sebahu, memakai kerudung yang dirajah, dan penarinya biasanya membawa bokoran berisi canang sari, dupa, beras kuning, sekar ura, dan sebagainya sebagai symbol kedarmawanan. Penari topeng sidakarya lalu menari dangkrak – dingkrik dan dilanjutkan dengan menangkap penonton yang masih anak – anak lalu diberikan uang kepeng yang artinya kurang lebih sebagai perwujudan mengobati orang sakit serta memberikan kesejahteraan pada orang lain. Ini juga merupakan simbolis siklus kehidupan yaitu lahir, kecil, muda, tua, mati. Setelah itu penari mengucapkan (ngucarang) mantra yang isinya:
“Dadia punang ikang kalan nira, mijil Dalem Sidakarya, kadi gelap dumereping randu raja menala, gumeter ikang pretiwi apah teja bayu akasa, lintang tranggana ketekeng surya senjana metu aku saking Mutering Jagat Sudha butha kala liak, desti teluh trangjana pada nembah tanwani teken aku, apan aku mawak pemarisudha jagat. Sakuwehing mala, lara, roga, wigena pada geseng. Ong, Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang.”
Setelah nguncarang mantra tersebut dilanjutkan dengan menaburkan beras kuning yang menyimbulkan pemberian laba kepada para Butha Kala supaya tidak mengganggu ketentraman hidup manusia, serta menebarkan kesejahteraan pada umat manusia sehingga terwujud rahayuning jagat. Serta dibarengi dengan penebaran sekar ura yang merupakan symbol  medana – dana (bersedekah) . Dengan selesainya pementasan Topeng Sidakarya maka tuntaslah segala rangkaian pelaksanaan upacara Yadnya yang disebut “Sidakarya”.
Ø  Ritual pembuatan
Tak hanya sang penari, proses pembuatannya pun tak bisa sembarangan karena memang tak dipakai untuk sembarangan. Topeng Sidakarya ini lain dengan topeng-topeng yang dibuat dan dijual secara massal, seperti di pasar-pasar kerajinan atau pasar oleh-oleh. Perbedaannya bisa mulai dari pemilihan bahan kayu, ritual memulai memahat, pengawetannya, hingga ritual penghidupan topeng tersebut. Namun, jangan salah paham dengan adanya ritual penghidupan topeng ini. Penghidupan ini bukannya topeng tersebut kemudian bisa berbicara, melainkan dimaksudkan terasa lebih hidup dan menyatu dengan sang penarinya, yakni proses inisiasi (penyucian) dan pesupati (menghidupkan). Biasanya, si penari topeng Sidakarya yang telah mewinten memiliki satu topeng khusus untuk dirinya ngayah. Satu hal lagi, pembuat topengnya pun melewati tahapan mewinten. Ida Bagus Sudiksa (51), asal Banjar Jambe, Kerobokan Kaja, pun mengingatkan permintaan membuat topeng Sidakarya ini tidak bisa sembarangan meminta. Menurut dia, penyakralan pada pembuatan topeng ini mampu menahan manusia untuk tidak semena-mena terhadap alam, khususnya pepohonan. Ia beranggapan pendahulunya telah memikirkan bagaimana agar manusia tidak sembarangan menebang atas nama kesenian, budaya, atau adat. Karena itu, dari pemilihan kayu hingga penebangannya pun harus disesuaikan dengan musim serta hari baiknya dengan tujuan agar alam tidak murka. Namun, ketika topeng sudah menjadi kerajinan yang dibuat secara massal, manusia menjadi rakus tanpa memilih kayu itu sudah cukup umur sampai tanpa pemilihan musim yang tepat pula. Semua demi kepentingan uang, bahkan pariwisata. Wajar jika kemudian alam menjadi murka. Inilah salah satu pesan topeng Sidakarya tentang alam. Waktu pembuatan topeng sakral ini pun bervariasi, tergantung dari mood sang pengukirnya, bisa hanya tiga hari atau sebulan. Sama halnya dengan Pak Nang Tesen, Sudiksa pun mendapatkan bakat keturunan dari almarhum ayahnya, Ida Pedanda Gede Telaga. Mereka ini bukan perajin, melainkan seniman yang telah melalui tahapan penyucian. Namun, bakat ini bisa dipelajari dan tidak semuanya mendapatkan dari garis keturunan.
Hal yang unik selama pembuatan topeng sakral, antara lain, adalah pengawetannya yang harus direbus dengan kuah bumbu genep (bumbu dapur lengkap) selama 12 jam tanpa putus.  Meski demikian, lanjut Sudiksa yang juga dosen manajemen pemasaran di Universitas Udayana itu, awet dan tidaknya topeng juga tetap tidak lepas dari awal pencarian kayu cendana, pole, atau batang kamboja, termasuk pemilihan tanggal penebangannya. Ia menambahkan, dari sejak ayahnya puluhan tahun lalu, semua pembuatan topeng menggunakan ilmu logika.
Sayangnya, bahan pengawetan alami ini tidak diikuti dengan pewarnaan alami. Sudiksa mengatakan, pewarnaan alami tidak lagi memiliki kualitas sama kuat antara puluhan tahun lalu dan sekarang. Karena itu, ia terpaksa menggantikan dengan cat kimia dengan pemilihan kualitas nomor wahid. Topeng sakral selain topeng Sidakarya di Pulau Dewata, juga ada topeng yang sengaja disakralkan dan biasanya disimpan di pura-pura, seperti Rangda, Barong, dan Irarung. Pementasannya pun tidak setiap saat karena memiliki hari atau waktu pementasan sendiri. Semua topeng sakral ini pun diberikan banten dan doa-doa, terutama ketika tumpek wayang, sebagai persembahan kepada Dewa Iswara.
Di dalam topeng Pajegan ada topeng yang mutlak harus ada, yakni topeng Sidakarya. Oleh karena demikian eratnya hubungan topeng Pajegan dengan upacara keagamaan, maka topeng ini pun disebut Topeng Wali. Dramatari Topeng hingga kini masih ada hampir di seluruh Bali.



 Makna Filosofis Topeng Sidakarya Ditinjau Dari Perspektif Pendidikan Hindu
Banyak sekali unsur mendidik yang kita dapat temui dalam Topeng Sidakarya. Baik dari sejarahnya, maupun dalam proses tariannya. Dalam sejarahnya, saat Brahmana Keling melakukan perjalanan-perjalanan mulai dari perjalanan ke Madura, ke Bali hingga ke Badanda (Sidakarya), banyak sekali bisa kita temui aspek-aspek mendidik yang secara inplinsif mengandung pesan-pesan mulia kepada kita sebagai manusia khususnya umat Hindu. Seperti pada awal perjalanan beliau ke Madura, yang disebabkan karena raja di wilayah tersebut telah melupakan tradisi persembahan tarian Pepajegan yang biasanya dipersembahkan untuk para leluhur. Dari sini kita bisa belajar bahwa kita tidak boleh melupakan tradisi yang diwariskan oleh para leluhur kita meskipun kita sekarang telah memasuki jaman modern. Tradisi leluhur harus tetap dijaga dan dilestarikan karena itu adalah warisan yang sangat berharga untuk kita yang tidak bisa kita temui di tempat lain. Dan kita juga harus selalu mengingat para leluhur kita yang telah mewariskan beraneka ragam kearifan lokal yang saat ini menjaga kebanggaan kita yang sekaligus membedakan kita dengan daerah lain.
Dilanjutkan dengan saat beliau mendatangi Bali dengan maksud untuk ikut membantu pelaksaan Karya Eka Dasa Ludra yang diselenggarakan oleh Raja Dalem Waturenggong (Kerajaan Gelgel) yang masih saudaranya di Pura Besakih. Raja Waturenggong tidak mau mengakui Brahmana Keling sebagai saudara karena penampilan beliau yang lusuh seperti pengemis akibat dari perjalanan jauh yang beliau tempuh. Hal itu membuat brahmana tersebut merasa terhina, dan akhirnya pergi dari tempat itu. Dan tentunya dampaknya adalah Karya yang diadakan oleh raja tidak memberi berkah terhadap kerajaan maupun rakyatnya, malah terjadi kekeringan dan bencana yang melanda wilayahnya. Dari kejadian tersebut kita bisa petik hikmah dan pembelajaran bahwa kita tidak boleh memperlakukan sesama ciptaanNya dengan tidak baik. Semua manusia adalah sama di hadapan Tuhan. Walaupun berbeda kedudukan, status ekonomi maupun status sosial. Janganlah memandang orang dari penampilannya saja akan tetapi kita juga harus memandang niat baik dan kesungguhan orang lain.
Kemudian, dari ritual tarian Topeng Sidakarya kita bisa mengambil beberapa nilai mendidik yang bisa kita jadikan pembelajaran untuk kita semua. Pertama, sang penari yang menarikan Topeng Sidakarya menghamburkan beras dalam bokor yang dipegangnya, yang mengandung arti medana/bersedekah atau juga bisa diartikan “berbagi kebahagiaan”. Pesan yang dapat kita tangkap adalah sebagai manusia kita harus bisa berbagi dengan sesama. Tidak hanya mementingkan diri sendiri. Saat kita mendapat rejeki, kita harus menyadari bahwa kita juga harus ingat dan membantu sesama yang sedang kesusahan. Dan dalam tarian tersebut, sang penari juga menangkap seorang anak kecil yang kemudian diberikannya uang, sebagai simbol penyembuhan penyakit dan pemberian kesejahteraan pada umat. Hal ini mengajarkan pada kita bahwa dana atau sedekah yang kita berikan kepada sesama yang sedang kesusahan, akan memberikan kehidupan dan kesejahteraan bagi mereka. Karena kita harus selalu peduli kepada sesama yang sedang membutuhkan pertolongan.
 Secara garis besarnya bila kita kaitkan dengan Yadnya yang kita lakukan, kita bisa mengambil hikmah bahwa Yadnya yang kita selenggarakan harus dengan tujuan untuk kesejahteraan dunia, kebahagiaan dan ketentraman semua makhluk. Kita tidak boleh egois, hanya mendoakan diri sendiri tanpa perduli dengan sesama ciptaan-Nya. Alangkah indahnya jika Yadnya yang kita lakukan bisa dinikmati berkahnya oleh dunia dan semua makhluk ciptaan Tuhan. SEMOGA SEMUA MAKHLUK BERBAHAGIA