Selasa, 27 Oktober 2015

TANDA-TANDA SUKSESNYA UPACARA AGAMA HINDU



Pertanda Upacara Yadnya yang Sukses
Aphalakaanksibhir yadnyo
Vidhi drsto ya ijyate
Yastavyam eveti manah
Samaadaya sa saatvikah
(Bhagavad Gita, XVII.11)
Maksudnya: Yadnya yang dilakukan menurut petunjuk kitab suci (vidhi drstah), dilakukan dengan ikhlas, yang sepenuhnya dipercaya bahwa yadnya itu sebagai suatu kewajiban suci. Yadnya yang demikian itu tergolong Satvika Yadnya.
Kata “upacara” berasal dari bahasa Sansekerta artinya “mendekat”. Sedangkan yadnya artinya pengorbanan yang suci dengan perasaan yang tulus dan ikhlas. Jadi, upacara yadnya adalah suatu upaya spiritual dengan bentuk ritual/upakara dengan tujuan mendekatkan diri pada Tuhan berlandasan bhakti yang suci dan penuh keikhlasan. Bhakti pada Tuhan itu lebih lanjut didayagunakan untuk meningkatkan keluhuran moral dan daya tahan mental untuk memelihara kesejahteraan alam dengan asih serta mengabdi pada sesama manusia dengan landasan punia. Asih dan punia itulah sebagai wujud bhakti kita kepada Tuhan. Jika bhakti itu tanpa rnenyayangi alam Iingkungan dan mengabdi pada sesama dengan tulus maka bhakti akan sia-sia saja. Selanjutnya upacara yadnya itu ada upakaranya. Kata upakara dalam bahasa Sansekerta artinya melayani. Karena itu dalam Lontar Yadnya Prakerti bentuk-bentuk upakara itu sebagai lambang pelayanan kepada Tuhan, kepada sesama manusia dan juga pelayanan kepada alam atau bhuwana.
            Dari pemahaman tersebut dapat dinyatakan bahwa suksesnya suatu upacara yadnya apabila ada secara nyata upaya melestarikan alam lingkugan, adanya perhatian yang nyata pada nasib sesama sehingga hubungan manusia dengan manusia semakin harmonis, dinamis dan produktif secara spiritual dan meterial. Hal itu terjadi sebagai wujud pelaksanaan upacara yadnya yang satwika. Kalau terjadi sebaliknya maka dapat dinyatakan upacara yadnya itu belum sukses. Kalau bhakti itu kenyataanya membuat alam semakin merosot kuantitas dan kualitasnya dan hubungan dalam masyarakat semakin tidak harmonis, apalagi sampai terjadi permusuhan, itu pertanda upacara yadnya tersebut gagal mewujudkan misi sucinya. Apalagi upacara yadnya penyelenggaraanya boros, karena dalam pustaka Ariandadayi menyatakan ada empat hal yang tidak boleh diboroskan yaitu: tidak boleh sampai membuangbuang makanan, pemakaian uang tidak tepat guna, tenaga tidak boleh dibuang sia-sia dan tidak mengulur-ulur waktu.
Agar upacara itu sukses, lakukanlah upacara yadnya yang satvika sebagaimana dinyatakan dalam kutipan Sloka Bhagawad Gita XVII, 11, 12 dan 13. Ada tiga kualitas upacara yadnya utama itu pengertiannya dipadukan dengan satvika yadnya menurut kitab suci Bhagawad Gita. Apalagi menurut Manawa Dharmasastra 1.86 prioritas beragama zaman Kali adalah dhana punia bukan upacara. Karena itu upacara yadnya yang diselenggarakan agar lebih diutamakan kegiatan berdana punia terutama untuk memajukan pendidikan. Upacara yadnya diselenggarakan disamping tujuan utamanya untuk berbhakti padaTuhan juga sebagai media berdana punia.
Upacara yadnya rajasika dan tamasika, yang ditampilkan dengan serba glamour dan gebyar serba wah yang boros uang, waktu, tenaga dan membuang-buang makanan. Upacara Yadnya demikian itu menjadi beban yang memberatkan hidup dan banyak menimbulkan permasalahan hidup.
Satvika yadnya menurut Bhagawad Gita ada beberapa syaratnya, yaitu sradha, artinya upacara yadnya dilakukan berdasarkan keyakinan yang mendalam bahwa upacara yadnya itu sebagai suatu yang seyogianya dilakukan sebagai penganut Hindu yang balk. Upacara Yadnya tidak boleh dilakukan dengan ragu-ragu sekadar untuk memenuhi syarat formal beragama Hindu saja. Lascarya, upacara yadnya harus dilakukan dengan tulus ikhlas tidak ada sama sekali adanya rasa terpaksa atau ada sesuatu yang dirasakan menekan. Upacara yadnya itu dilakukan Sesuai dengan Vidhi Drstah atau petunjuk sastranya.
Upacara yadnya harus juga ada Daksina, artinya pemberian sedekah sebagai simbol penghormatan dalam wujud harta dan penghormatan secara moral untuk rohaniawan seperti pinanthta (pemangku) atau pandita. Tanpa daksina, upacara yadnya itu akan gagal. Upacara yadnya seyogianya diantarkan dengan melantunkan gita atau kidung suci. Kidung suci yang dilantunkan dengan benar, baik dan tepat akan dapat menumbuhkan vibrasi spiritual pada lingkungan. UpacaraYadnya seyogianya juga ada Anma Seva artinya ada jamuan makan terutama untuk Atiti Yadnya yaitu tamunya upacara. Sebab, ada sastra menyatakan betapa pun meriahnya suatu upacara yadnya kalau di sekitarnya ada orang kelaparan dan wanita terhinakan maka upacara yadnya itu tidak akan mencapai tujuan muliannya.
Syarat terakhir satvika yadnya itu adalah naasmita artinya yadnya yang dilakukan itu tidak ada niat untuk pamer atau menonjolkan egoisme. Apalagi ada niat untuk menonjolkan diri untuk meremehkan orang lain di lingkungan sendiri.
Hakikat upacara yadnya itu justru untuk mereduksi egoisme. Karena egoisme itu akan menutup pancaran suci atman menyinari dinamika indriya. Upacara yadnya yang menonjolkan egoisme itu ciri upacara yadnya yang gagal memberikan vibrasi suci. Jelaslah jika kita berharap agar sesuatu yang kita kerjakan/persembahkan kehadapan Hyang Widhi Wasa agar selalu didasari oleh ketujuh landasan beryadnya, disamping itu pula hal-hal yang menyebabkan kurang harmonisnya bhuana agung dan bhuana alit agar dihindari, sehingga terjadi keserasian. sukseslah berupacara.....

Kamis, 22 Oktober 2015

MAKNA SIMBUL UPAKARA



MAKNA SIMBUL-SIMBUL UPAKARA
Pelaksanaan upacara keagamaan di Bali sangatlah sarat dengan berbagai sarana upakaranya, demikian banyak jenisnya sehingga terkadang sangat sulit untuk diberikan penjelasan kepada anak-anak dewasa ini, tidak jarang anak-anak bertanya kepada orang dewasa mengapa membuat ini, mengapa seperti ini, apa tujuannya. Semakin banyak sarana yang dibuat maka semakin banyak pula pertanyaan yang mengalir dari bibirnya, bagaimana kita menjelaskan?, kami mencoba memberikan sedikit masukan tentang berbagai makna yang terkandung di dalam wujud upakara dalam Agama Hindu.
SEPASANG PENJOR
            Begitu kita akan memasuki areal pura tempat pelaksanaan upacara piodalan  sarana upakara yang pertama kita jumpai  adalah penjor. Penjor adalah sebatang bambu utuh dari pangkal hingga ujung yang dihias dengan pucuk enau atau janur yang diukir. Pada batang bambu tersebut juga digantungkan berbagai jenis hasil bumi yakni padi, pala bungkah (umbi-umbian), pala gantung (kelapa, mentimun, pisang, nanas), pala wija (jagung), kue dan tebu. Pada ujung bambu, digantungkan sampyan, yakni sebuah rakitan janur berbentuk seperti cupu dengan beraneka bunga dan porosan di dalamnya. Porosan adalah setangkup sirih pinang yang dikemas dengan potongan janur sepanjang ruas jari. Sebagai pelengkap, pada lengkungan penjor juga digantungkan selembar kecil kain berwarna putih atau kuning serta  uang kepeng.
Penjor merupakan sarana upacara yang biasanya ditancapkan di depan rumah penganut Agama Hindu di Bali terutama pada Hari raya Galungan – Kuningan. Penjor juga menjadi kelengkapan pada upacara-upacara besar di pura yang mana kala ada upacara ngusabha penjor sering disertai dengan tiga cabang bambu yang masih utuh.
Sebagai sarana upacara, penjor dilengkapi dengan lamak, yaitu semacam taplak panjang dari daun enau yang dirajut dengan lidi bambu. Penjor juga dilengkapi dengan Sanggah yaitu rajutan bambu berbentuk bujur sangkar dengan atap melengkung (oval).
Secara filosofis penjor merupakan simbol dari gunung yang diyakini oleh umat Hindu di Bali sebagai tempat berkumpulnya fibrasi kesucian dari Hyang Widhi (Tuhan). Penjor juga menggambarkan sosok sepasang naga pemberi keselamatan (Naga Basuki) dan pemberi kehidupan (Naga Ananta Bhoga) yang merupakan simbol personifikasi dari Pertiwi atau tanah. Jadi, pemasangan penjor dimaksudkan sebagai wujud rasa bakti dan ucapan berterima kasih kepada Tuhan atas kemakmuran yang dilimpahkanNya.
Keberadaan bahan-bahan pembuat penjor tersebut tentu memiliki arti dan filosofinya masing-masing. Berdasarkan lontar Tutur Dewi Tapini menyebutkan :
“Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Sarining Jagat Apan Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha”

Artinya : Wahai kamu orang-orang bijaksana, yang menyelenggarakan yadnya, agar kalian mengerti proses menjadi kedewataan, maka dari itu sang Bhuta menjadi tempat/tatakan/dasar dari yadnya itu, kemudian semua Dewa menjadi sarinya dari jagat raya, agar dari dewa semua kembali kepada hyang widhi, widhi widhana (ritualnya) bertujuan agar sang Tri Purusa menjadi isi dari jagat raya, Hyang Siwa menjadi Bulan (arda candra), Hyang Sadha Siwa menjadi  Matahari (windu, titik O), sang hyang parama siwa menjadi Bintang (nadha, kecek), yang mana kesemuanya ini merupakan simbol dari Ong Kara.
“Sang Hyang Iswara Maraga Martha Upaboga, Hyang Wisnu Meraga Sarwapala (buah-buahan), Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan (bambu & jajanan), Hyang Rudra Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading ( janur kuning), Hyang Sangkara Meraga Phalem (buah pala), Hyang Sri Dewi Meraga Pari (padi), Hyang Sambu Meraga Isepan (tebu), Hyang Mahesora Meraga Biting (semat).”

Dari petikan bait lontar di atas dapat disimpulkan bahan-bahan pembuat penjor antara lain :
  • Bambu
  • Plawa (dedaunan)
  • Palawija (biji-bijian seperti padi dan jagung)
  • Palabungkah (umbi-umbian)
  • Palagantung (kelapa, pisang, timun)
  • Senganan (Jajanan)
  •  Uang kepeng/logam 11 biji
  • Sanggar Ardha Candra simbol dari Ong Kara.
  • Sampian penjor yang berisi porosan (tembakau, daun sirih, kapur, buah pinang, buah gambir) dan bunga.

Tafsir lain berdasarkan hubungan sosiologis, tentang pembuatan penjor adalah dapat memberikan cerminan sifat yang rendah hati, dimana semakin tinggi derajat, kewibawaan dan ilmu pengetahuan yang dimiliki maka semakin merunduklah mereka, bagi kalangan pejabat dapat dipesankan bila sudah mendapatkan kedudukan yang tinggi jangan lupa melihat kebawah karna mereka ada di atas jelas ujungnya karena rakyat ( sampeyan) yang menjadikanya. Disamping itu pula sifat yang lurus,jujur dan adil harus ditanamkan dalam diri dan sifat yang bengkok harus dirias dan dirubah agar terlihat simpatik dan menarik penuh arti.

CANDI BENTAR
Candi Bentar adalah simbul dari pecahnya Gunung Kailaca tempat Dewa Ciwa bertapa, yang mana candi juga berasal dari kata candika yang bermakna Durgha. Candi bentar ini berada di halaman luar /jaba pura, biasanya bersanding dengan Bale Kulkul dan Wantilan, yang dalam arsitektur pura disebutkan candi bentar ini sebagai kori pertama yang berfungsi sebagai pintu masuk ataupun pemedalan pura.
Lebih lanjut Candi Bentar juga sebagai pembatas antara nista mandala dan Madya mandala, yang mana bentar dalam kutipan artikel asta kosala-kosali dan asta bumi disebutkan sebagai perpisahan. Begitu masuk ke dalam areal pura hendaknya dipisahkan perasaan yang letuh/sebel yang menyelimuti pikiran agar dapat mencari keheningan dan kesucian Yang Maha Kuasa. Pada upacara piodalan/karya sering kali di depan candi bentar tersebut terdapat tirtha pengelukatan untuk mensucikan angga sarira dan stula sarira.
Penetapan gerbang candi bentar ini sangat penting untuk menetapkan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala sebagai acuan dalam arsitektur tradisonal Bali. Selain itu, bentuk Candi Bentar dengan paduraksa yang dibelah dua : melambangkan ardhacandra pada kedua bangunan tersebut yang sejiwa. Bagian (kiri dan kanan) bangunan itu sebagai simbol rwa bhineda dalam kehidupan, yakni sifat positif dan negatif dalam aksara yaitu : Ang Ah. Candi bentar  terkadang disertai dengan membangun sebuah pelinggih untuk menjadi aling-alingnya. Pelinggih tersebut dinamakan Pelinggih Lebuh. Dewa yang distanakan pada pelinggih tersebut adalah dewanya samudra yakni Hyang Baruna. Sebagai pemujaan samudra/gangga pelinggih tersebut sering diberikan ornamen yang bernuansa kehitaman karna lebuh/lebah adalah tempat dimana air akan berkumpul, penguasa air adalah Dewa wisnu yang dilambangkan dengan warna hitam.

BALE KULKUL
Kulkul adalah sebuah benda yang terbuat dari kayu/bambu sebagai simbol/alat komunikasi  masyarakat bali. Keberadaan kulkul di Bali telah menjadikannya sebuah seni budaya dengan makna simbolik tersendiri jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Nusantara. 
Meskipun setiap daerah memiliki budaya kulkul atau kentongan dengan fungsi sebagai sarana komunikasi, akan tetapi konteks sosial yang ada pada masyarakat Bali yang membedakannya dengan daerah lain. Walau zaman telah mengalami perkembangan begitu pesat khususnya dalam bidang komunikasi dengan masuknya beragam teknologi baru seperti telepon, telepon sellular, layanan pesan singkat dll, namun keberadaan kulkul di Bali akan tetap eksis. Karna terkait dengan kegiatan acara adat suara kulkul sangat dinantikan oleh umat Hindu, suara dan jenis pukulan kulkul menandakan pesan yang berbeda. Tempat menaruh kulkul disebut bale kulkul, biasanya dibangun agak tinggi di tempat paling depan sebuah pura. Ornamen/hiasan yang dipasang pada bale kulkul bermacam-macam  warna, putih, merah, kuning, hitam dll. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan  petunjuk/arah kepada umat hindu, dengan menempatkan warna putih di bagian timur, merah dibagian selatan, kuning di bagian barat dan hitam di bagian utara maka umat hindu yang akan ke pura dapat memahaminya. Disisi lain penggunaan berbagai warna dimaksud agar warga masyarakat yang berlatar belakang berbeda dapat menyatu dari panggilan kulkul dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama
CANDI KURUNG/GELUNG
Candi kurung/gelung merupakan lambang Gunung Mahameru, yang senantiasa memberikan berkah kemakmuran terhadap alam semesta beserta isinya. Candi kurung/gelung adalah sebuah konsep menyatunya alam pikiran kemanusiaan dengan alam kedewaan, sehingga membentuk kuwung/kurung/gelung/windu/sunia. jika kita sudah memasuki candi kurung tersebut maka ciptakanlah perasaan yang bulat, menyatu dengan Yang Maha Kuasa agar apa yang dikehendaki datang ke pura dapat tercapai. Ornamen yang menghiasi candi kurung ini banyak ragamnya namun yang paling kelihatan keseragamannya adalah adanya karang Boma di atas pintu masuk candi. Boma artinya kesejahteraan, kesentosaan. Boma adalah putra dari Dewa Wisnu mana kala ketika disuruh untuk turun mencari dasar/ujung bumi oleh Dewa Siwa. Dewa Brahma disuruh naik ke angkasa mencari batas/ujungnya angkasa. hal ini terjadi karena para dewa itu merasa yang paling sakti, sehingga dewa Siwa memberikan tugas padanya barang siapa yang mampu mencari batas- batas bumi tersebut maka merekalah yang sakti. Dewa Wisnu turun ke perut bumi dengan merubah wujud menjadi Babi, digaruk- garuklah tanah/pertiwi membuat lubang besar ke dalam tanah. Di sana beliau berjumpa dengan Dewi Pertiwi/Basundari, Dewa Wisnu kagum dengan kecantikan Dewi Pertiwi sehingga terjadilah persetubuhan dan melahirkan Boma. Boma diberikan tugas untuk memberikan kemakmuran terhadap alam semesta, semua yang tercipta/ lahir  dari perut ibu pertiwi maka Boma berkewajiban memberikan kesejahteraan. untuk menghormati Boma maka dibuatkanlah ornamen/visualisasi di dalam candi kurung/gelung sebagai lambang Boma. Candi Kurung/Gelung erat kaitannya dengan pelinggih Sapta Petala/ Dasar, keberadaan pelinggih tersebut sering digunakan juga sebagai aling-aling untuk memasuki utama mandala. Ornamen yang sangat kental di pelinggih sapta petala/dasar adalah patung dari Dewa Antaboga sebagai lambang kemakmuran,  Dewa yang dipuja/ distanakan adalah Betari Ibu Pertiwi selaku Ibu Alam Semesta. Semua yang ada terlahir dari Ibu, sehingga Ibu sebagai Utpeti/pencipta yang diberkati oleh kekuatan Dewa Brahma. Penghias di pelinggih ini didominasi oleh warna merah.  
TOGOG/BEDOGOL
Bedogol, Togog, patung adalah seni pahat dan bentuk sebagai cetusan rasa cinta terhadap seni sebagai warisan budaya yang bernilai sejarah tinggi. Kerajinan yang biasanya terbuat dari kayu, paras, batu dan unsur-unsur logam seperti yang termuat dalam penggunaan panca datu ini mempunyai makna tersendiri sesuai dengan bentuk dan penempatannya. Di halaman depan/nista mandala pura biasanya sebagai pengapit candi bentar di tempatkan togog yang bernuansa kemanusiaan (Tualen dan Merdah), di halaman tengah/madya mandala sebagai pengapit candi kurung/gelung ditempatkan togog yang berkarakter keraksasaan/Bhutakala, di utama mandala/jeroan pura banyak ditempatkan togog-togog yang bernuansa kedewaan. Disaat upacara agama berlangsung (karya/odalan) maka togog-togog yang terdapat di kawasan pura semua diberikan perlengkapan pakaian sesuai dengan karakter masing-masing,ada yang putih, merah, kuning, hitam, poleng dll, hal ini memberikan kesan bahwa memanusiakan alam dan lingkungan itu sangatlah penting untuk keharmonisannya. Kita bisa menghargai alam, dan alampun akan membantu kita untuk melangsungkan kehidupan. Terlepas dari corak warna yang diberikan pada hiasan togog tersebut dapat dipetik sebuah maksud dan tujuan untuk memberikan sentuhan sifat manusia yang selalu ingin dekat dengan Yang maha Pencipta. Kain poleng yang terdapat dalam hiasan raksasa dapat kita terjemahkan bahwa warna putih = siang, warna hitam = malam, jadi siang dan malampun mereka yang mengenakannya selalu siap menjaga keberadaan pura. Warna putih = kesucian, kuning = kemulian, dan warna - warna lain memiliki arti dan fungsinya masing-masing.
PENGAWIN TEDUNG
Tedung adalah pelengkap upakara yang berbentuk seperti payung, sebagai salah satu jenis perangkat upacara yadnya keagamaan yang khususnya digunakan di Bali, tedung memiliki beberapa bentuk, ukuran, warna, fungsi dan istilah yang beragam. 
Kesatuan bentuk tersebut dapat terbentuk lewat teknik pengerjaan, material yang digunakan, proporsi ukuran maupun komposisi yang tersusun sesuai dengan bentuk, tinggi dan lebar ukuran tedung yang ada maupun dibuat para perajin/undagi dibeberapa pura tempat/daerah yang masih bervariasi, baik tedung agung maupun tedung robrob. 
Untuk dipahami, pengertian atau penyebutan istilah tedung agung dan tedung robrob dibedakan atas lenter/ider-ider yang dikenakan pada sisi penggir tukub/atap tedung dengan posisi berjuntai. 
  • Tedung Robrob, pada sisi pinggirnya diisi atau dihiasi dengan anyaman atau sulaman dari benang. Sulaman atau rajutan yang menghiasi pinggiran tedung robrob menggunakan benang wol yang berwarna, seperti hitam, putih, kuning merah maupun hijau. 
  • Tedung Agung, pada hiasan tepi pinggir dijuntai dengan kain warna atau prada yang lazim disebut dengan ider-ider. 
Kain yang berjuntai tersebut terdiri dari dua lapis/warna dengan ukuran kain atas/depan lebih pendek dari pada yang dibagian bawah/tengahnya.
Secara visual, posisi lingkaran pinggiran yang dibentuk oleh ruas iga-iga dari lima bentuk tedung ini, mempunyai lengkungan bentuk yang berbeda sebagai contoh :
  • Jenis tedung robrob yang ada di pura Besakih, memiliki bentuk melingkar yang datar, 
  • Jenis tedung robrob yang ada di pura-pura lainnya mempunyai lingkaran bentuk yang “ngampid lawah” (sayap kelelawar) tidak terlalu melengkung atau datar.
Dalam arsitektur Bali disebut atap jongjong. Bebeda dengan lingkaran bentuk tedung yang berangka tahun 1910 dan 1947 foto koleksi Tropenmuseum Royal Tropical Institute mempunyai bentuk datar atau nayah. 
Dilihat dari proporsi antara lebar lingkaran dan tingginya tiang tedung, khususnya  tedung yang berangka tahun 1910 dan 1947 nampak mempunyai ukuran lebih tinggi kalau dibandingkan dengan ukuran tinggi tiang tedung yang ada sekarang.
Kalau saat ini, ukuran-ukuran tinggi tiang tedung lebih-kurang 2 x 2.5 (dua setengah) kali leber lingkaran atap atau mendekati tiga kali dari lebar lingkaran, sedangkan di tahun 1900 sampai dengan tahun 1971 ketinggian tiang tedung diperkirakan empat kali dari lebar (nikel ping pat) bahkan ada yang lebih.  Selain berdasarkan perhitungan bah-bangun (lebar kali tinggi/tinggi bagi lebar), untuk mencari ukuan antara lebar dengan tinggi tiang tedung, juga dipergunakan perhitungan depa, lengkat dan pengurip seperti ukuran membuat tangkai tombak
Adapun ukuran tinggi/panjang tiang tombak yaitu dua depa yang sama dengan lebih kurang 336 cm., ditambah pengurip lima lengkat duang guli atau kurang lebih 110 cm. ditambah 8 cm. Kalau dihitung dengan senti meter akan didapat ukuran tinggi/panjang ; 336 + 110 + 8 cm = 454: 4 = 113 cm. lebar lingkaran atasnya. Hasil tersebut dengan rincian sebagai berikut: 1 (satu) depa alit sama dengan 168 cm., 1 (satu) lengkat sama dengan 22 cm., 1 (satu) guli sama dengan 4 cm. Rinciannya adalah: 1 (satu) Depa Agung = 186 cm., 1 (satu) Depa Alit = 168 cm., 1 (satu) Lengkat) = 22 cm., dan 1 (satu) Guli = 4 cm. 
Adapun cara mengukur panjang tangkai tombak adalah sampai ujung besinya/ujung tombak.
Dalam naskah lontar tutur wiswakarma darma laksana maupun Asta Kosali disebutkan mencari panjang /tingginya tiang tedung yang dapat diubah adalah pada pengurip. Karena ada ukuran tombak dua depa, mahurip alengkat saguli, atau 336 cm +22 + 4cm. =362 cm.
Jika ukuran panjang tangkai tombak dibagi 3 (tiga) untuk mendapatkan lebar diameter atap tedung maka : 358 :3 =119 cm. 
Untuk hitungan jumlah iga-iga yang digunakan pada tedung agung maupun Robrob, digunakan hitungan yang lazim digunakan pada iga-iga asta kosal kosali bangunan pada rumah tradisional Bali seperti jineng, krumpu, meten, angkul-angkul, sanggah / tempat suci, petengahan, dan tempat berjualan yang diawali dengan hitungan;
  1. Sri, 
  2. werdhi, 
  3. Naga, 
  4. Hyang
  5. Mas,
  6. Perak.
Selain itu, jumlah iga iga yang ada di beberapa tempat, dan dari jenis tedung/pajeng/ungkulan baik tedung agung maupun robrob mayoritas berjumlah genap. Asumsinya adalah; jatuhnya pada hitungan No. 4 (empat) yaitu Hyang,
  • Kalau Hyang (4) itu dikalikan dengan kelipatan genap akan menemukan hitungan
    • Werdhi/Perak, 
    • Naga/Hyang, 
    • Naga/Perak, 
    • Hyang/Hyang, dan 
    • Mas/Hyang, 
  • Sedangkan kalau dengan cara menambahkan akan ditemukan jumlah 
    • 16. Hyang, 
    • 17. Mas, 
    • 18. Perak, 
    • 20.Werdhi, 
    • 22. Hyang, 
    • 24.Perak, 
    • 32.Werdhi.

Jumlah iga-iga :
  • 24 (dua puluh empat) buah dari hasil nikel/ perkalian 4 x 6 = 24 dan 
  • yang ada di pura Besakih iga-iganya berjumlah 32 buah yang merupakan hasil dari nikel/ perkalian 4 x 8 = 32. 
Dan ini berlaku juga dengan jumlah iga-iga pada tedung/pajeng/ungkulan lainnya yang jumlahnya seperti: 12 (dua belas), 14 (empat belas), 16 (enam belas), 17 (tujuh belas), 18(delapan belas), 20 (dua puluh), 22 (dua puluh dua), 24 (dua puluh empat), dan 32 (tiga puluh dua) buah. 
Disini dapat dilihat atau dibandingkan antara tingginya tiang tedung dengan jempana yang ada di sebelah bawah lingkaran “atap/daun” tedung atau antara posisi umat yang bersimpuh di depan/belakang tedung. Secara visual, proporsi ukuran tedung robrob yang dipakai memayungi burung garuda saat prosesi ritual karya Eka Dasa Ludra di pura Besakih orang dengan yang membawa, ukuran tinggi tedung kurang lebih dua kali tinggi dari orang yang membawanya. 
Dapat diperkirakan tinggi tiang tedung bisa mencapai tinggi 450 cm (empat ratus senti meter). 

Jika ukuran tinggi dibagi atau pah telu / apeteluan untuk mendapat ukuran lebar, maka lebar tedung tersebut kurang lebih 150 cm (seratus lima puluh senti meter).
Selain adanya perbedaan ukuran penggunaan jumlah iga-iga pada tedung yang jenisnya sama (tedung agung / robrob) ada membedakan antara 
  • Melengkung/datarnya pada atap/daun
  • Tinggi/rendahnya tiang yang dipakai. 
Penggunaan warna tedung pada setiap jenisnya, sesuai penjelasan para nara sumber juga masih beragam, 
  • Ada berdasarkan kreasi para seniman/perajin, 
  • Ada berdasarkan stratipikasi/kasta (Brahmana, satria, waisia, dan sudra/pasek) 
    • Brahmana menggunakan warna putih
    • Satria warna hitam
    • Pasek menggunakan warna kuning
    • Warga Pande warna merah
  • Ada berdasarkan jenis pura (puseh hitam, dalem putih, dan bale agung merah). 
Tanpa disadari pula perbedaan-perbedaan tersebut juga terlihat pada warna benang sulaman/rajutan pada iga-iga maupun dari teknik merajutnya.
Demikianlah tedung tersebut dibuat sebagaimana yang dijelaskan dalam kutipan artikel penelitian strategis nasional, pengawin sebagai sarana upacara agama hindu di Bali, dengan ukuran-ukuran dan pengurip-urip tertentu sebagai salah satu pengawin agar lebih bermakna dalam berbagai penggunaannya baik sebagai sarana upacara yadnya maupun lainnya.

UMBUL-UMBUL
Umbul-umbul adalah lembaran kain berbentuk segi tiga memanjang / meninggi yang semakin ke atas semakin mengecil / mengrucut dan pada ujungnya dihiasi dengan segi tiga.
Sistem budaya yang terdiri dari gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, dan pandangan oleh pemangku kebudayaan diwujudkan secara yang disebut social system atau sistem kemasyarakatan yang berwujud "kelakuan" maupun material culture "hasil karya kelakuan.
Umbul-umbul sebagai material kultur, tidak cukup hanya diberi perhatian/perlindungan. Kreativitas yang inovatif di jaman sekarang perlu diantisipasi dan menjadi tanggungjawab kita bersama khususnya PHDI (Parisada Hindu dharma Indonesia) yang wajib dan berkepentingan dibidang tersebut.
Generasi kini tanpa diharapkan telah mencari dan mengupayakan penciptaan karya seni baru seperti umbul umbul sesuai dengan jiwa zamannya dan secara tidak disadari memilah dan mengesampingkan nilai-nilai filosofis yang terkandung didalamnya.

Perubahan yang kerap terjadi pada jenis umbul-umbul berdasarkan pengamatan yang dilakukan terletak pada penempatan dan struktur yang ada. Kesamaan struktur umbul-umbul yang dijadikan sarana upacara keagamaan dengan yang dijadikan dekorasi dibeberapa tempat umum hampir tidak ada perbedaan.
  • Menurut Parisada Hindu dharma Indonesia umbul-umbul yang disakralkan hendaknya diisi gantungan. Gantungan yang dimaksud mungkin bentuk jantung/hati yang ada pada ujung umbul-umbul. 
  • Menurut Ida Pedanda Gde Pasuruan dari Griya Sibetan Karangasem, yang terpenting dalam umbul-umbul selain ada gambar Naga Taksaka sebagai simbol penguasa alam atas, harus ada segi tiga pada ujungnya. 
    • Dan ujungnya itulah sebenarnya yang disebut umbul-umbul. Adapun makna dari umbul-umbul tersebut adalah nada atau aksara nada. 
    • Makna dari naga itu sendiri adalah sebagai penuntun atau tali penuntun yang menghubungkan umat dengan tuhannya dalam upaya mendapatkan merta atau kesejahteraan. 
  • Menurut Ida Bagus Sudarsana seorang agamawan, hiasan umbul-umbul adalah naga gombang sebagai simbol air dan kekuatan wisnu dengan aksara Ungkara.
Sebagai salah satu pengawin, disebutkan pula bahwa untuk mendapatkan ukuran ideal disebutkan secara tradisional Bali, umbul-umbul dibuat dengan menggunakan hitungan Candi, Rebah, Gunung, Rubuh. Adapun hitungan tersebut biasanya terkait dengan fungsi seperti:
  • Hitungan Candi sangat baik untuk membuat bangunan suci, 
  • Hitungan Rebah tidak baik untuk digunakan, 
  • Hitungan Gunung sangat baik untuk membuat umbul-umbul, dan
  • Hitungan Rubuh juga tidak baik untuk dipergunakan. 
Untuk mendapatkan hitungan Candi, Rebah, Gunung, Rubuh, menggunakan hitungan hasta yaitu mulai dari siku sampai dengan ujung jari tangan. Seperti yang telah diingatkan sebelumnya, mengukur apapun tetap pengguna atau pemiliklah yang diukur sehingga umbul-umbul yang digunakan lebih bermakna dalam suatu upacara keagamaan. Pengawin | disebutkan adalah seperangkat alat yang digunakan sebagai salah satu sarana upacara yadnya ketika ritual keagamaan dilangsungkan baik di tempat umum maupun di tempat suci seperti pura, merajan, sanggah dll ataupun saat melasti.
Perangkat Pengawin / uparengga / ilen-ilen tersebut ada yang berbentuk seperti: umbul-umbul, kober, bandrangan, tombak, mamas, tedung, payung pagut, payung robrob, Penawesange, dan Dwaja. Semua jenis bentuk peralatan tersebut digunakan dan ditempatkan berjajar/berderet sesuai dengan bentuk, warna, gambar, fungsi dan maknanya masing-masing. Beberapa sikut atau ukuran yang lazim digunakan para undagi dalam mencari ukuran panjang, lebar, dan tinggi depa seperti yang disebutkan :
  • Depa Agung
  • Tapak ngandang
  • Depa Alit
  • Atebah
  • Petang Nyari Atelek/useran tujuh
  • Tapak Batis
Sehingga pengawin ini disebutkan dapat lebih bermakna dalam suatu upacara yadnya.


SEMBAHYANG

Sembahyang berasal dari suku kata sembah dan hyang. Sembah adalah suatu sikap sujud atau sungkem, yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran, baik dengan ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan. Sedangkan hyang adalah sebutan dari Tuhan dalam berbagai nama, seperti Hyang Widhi, Hyang Brahma, Hyang Siwa dll. sesuai dengan dharma. Sembah yang juga berarti menghormati sebagaimana disebutkan kita hendaknya juga selalu dapat menghormati 4 guru yang disebut catur guru, karena melalui ajaran-ajaran dan nasehat-nasehat Beliaulah kita dapat mencapai kesempurnaan dan kesucian batin. Sebagai tambahan, dalam sumber kutipan Om Swastyastu juga disebutkan, kata "sembah" yang dalam bahasa Jawa Kuno disebutkan memiliki lima arti. Sembah berarti,
  1. menghormati, 
  2. menyayangi, 
  3. memohon, 
  4. menyerahkan diri, dan 
  5. menyatukan diri
Karena itu, umat Hindu Dharma di Bali mengenal adanya Panca Sembah yang diuraikan dalam lontar Panca Sembah. Sebenarnya sembah yang dilakukan tidak hanya ada lima tersebut yang dalam kutipan susila dalam sembahyang sebagaimana dijelaskan sesuai dengan jenis upacara dan dewa yang dipuja. Namun secara umum sembah yang dilakukan yakni :
1.       Sembah kosong  sebagai bentuk  bahwa semua yang ada berawal dari yang tidak ada.jadi sembah puyung kita pusatkan perhatian kehadapan hyang pencipta alam semesta, disamping itu kita diharapkan untuk mengosongkan pikiran supaya hyang widhi bisa hadir dan mengisi pikiran kita, (Nirguna Brahman) (utpetining sembah)
  1. Sembah kepada siwa raditya atau nama lain beliau yaitu iswara yang memiliki arah di timur dengan warna putih/petak. Maka pada saat kita muspa ke siwa raditya hendaknya kita menggunakan bunga yang berwarna putih. Disamping itu sembah kehadapan Hyang Siwaraditya sebagai unsur Purusa/maskulin di Akasa, idealnya menggunakan bunga putih karena unsur purusa sebagai lambang bapak yang memiliki kama putih/petak.(Saguna Brahman) (stithining sembah)
3.       Muspa kepada ista dewata yang berstana di Pura tempat kita sembahyang menggunakan Kwangen atau bunga berwarna yang sesuai dengan sifat/karakter dari pada dewa yang kita puja. Misalnya di Pura Desa sembah kepada Dewa Brahma dengan bunga merah, di Pura Puseh kehadapan dewa Wisnu dengan bunga hitam dan lain sebagainya Disamping itu kwangen juga melambangkan Ongkara/simbul Tuhan (guna Brahman)
  1. Muspa kepada dewa pemberi anugrah menggunakan kuangen atau bungan berwarna-warni yang memiliki tujuan memohon anugrah kehadapan Hyang Widhi dan para dewa yang berstana di pura tersebut.
  2. Sembah puyung untuk mengembalikan kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa pada alam semesta/bhuana agung. (pralinaning sembah)
Sedangkan arah cakupan tangan saat muspa / sembah dalam tradisi di Bali berbeda-beda yang disesuaikan dengan tujuannya seperti ada sembah ke bhuta, ke manusa, ke pitra, ke dewa dan Hyang Widhi.
  • Kalau menyembah bhuta untuk kesejahteraan alam semesta ini dengan tangan dicakupkan di pusar. Sembah seperti itu berarti untuk mencurahkan kasih sayang kita pada alam untuk menjaga kelestariannya.
  • mencakupkan tangan di dada adalah Sembah  untuk menghormati sesama manusia.
  • Menyembah  pitara cakupan tangan ada di depan mulut dengan ujung jari di depan hidung
  • Menyembah dewa atau Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, tangan dicakupkan di selaning lelata yaitu di antara kening di atas mata ujung jari datar di depan ubun-ubun karena di ubun-ubun linggih/stana dari Hyang Siwa sehingga disebut dengan Siwadwara
Selain adanya panca sembah tidak jarang pula krama hindu melaksanakan kramaning sembah yang ditujukan kehadapan para dewa seisi alam semesta, misalnya kehadapan hyang Ibu Pertiwi dengan sarana bunga merah hal ini disebabkan karena Hyang Pertiwi sebagai unsur predana/peminim sebagai Ibu yang mempunyai kama bang/merah, disisi lain Ibu juga sebagai pencipta/utpethi/brahma karena semua yang ada di alam semesta ini dilahirkan oleh Ibu.
Ada pula sembah kehadapan Hyang Baruna sebagai penguasa lautan/gangga/wisnu menggunakan bunga berwarna hitam, di Pura Prajapati sembah kehadapan Hyang Prajapati dengan sarana bunga berwana merah, dll.

NUNAS TIRTHA

Tirtha (tirta) adalah air suci yang dibuat/dimohon melalui mantra weda yang mampu menumbuhkan perasaan dan atau pikiran suci dari kekotoran fisik dan spiritual, sehingga merupakan simbolis pembersihan Tri Pramana (bayu, sabda, dan iděp).
Tirta disebutkan berasal dari akar kata “tr” yang berarti “triyate anena” atau diseberangkan, dengan kata lain orang diseberangkan dari lautan dosa yang dengan jalan tirtha yatra sesungguhnya juga bermakna untuk menyucikan diri dari pengaruh dosa.
Demikian disebutkan tirtha sebagaimana dijelaskan dalam ajaran-ajaran Agama Hindu sesuai dengan adat Bali yang dalam tirthayatra, perjalanan suci atau wisata disebutkan pula bahwa tirtha memiliki pengertian sebagai air suci, air kehidupan atau nectar, juga berarti tempat-tempat suci yang ada air sucinya.
Titha sebagai air suci melalui doa, puja dan mantra weda yang sehabis melaksanakan sembahyang seperti halnya dalam upacara pagedong-gedongan disebutkan dapat diucapkan mantra sebagai berikut :

Dipercikan tiga kali di kepala,
Om Budha pawitra ya namah
Om Dharma maha tirtha ya namah
Om Sanggya maha toya ya namah

Diminum tiga kali,
Om Brahma pawaka ya namah
Om Wisnu amertha ya namah
Om Iswara jnana ya namah

Diraup tiga kali di kepala,
Om Siwa sampurna ya namah
Om Sadhasiwa paripurna ya namah
Om paramasiwa suksma ya namah

Dalam kutipan canang sari, kekuatan kesucian para bidadari dalam tirtha disebutkan :
  • Tirtha Sanjiwani; Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang sebagai Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala dan niskala.
  • Tirtha Kamandalu; Widyadari (Bidadari) Saraswati sebagai Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan (kecerdasan) dan Kewibawaan.
  • Tirtha Kundalini; Widyadari Ken Sulasih sebagai Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
  • Tirtha Pawitra; Widyadari Nilotama sebagai Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.
  • Tirtha Maha Mertha; Widyadari Supraba sebagai Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa).
Karena tirtha bukanlah air biasa, tetapi benda materi sakral dan mampu menumbuhkan perasaan dan  pikiran suci dari kekotoran fisik dan spiritual, sehingga merupakan simbolis pembersihan bayu, sabda, dan iděp. Kesucian tirtha hanya dapat dibuktikan jika diyakini sebagai benda agama, di mana di dalamnya terdapat kekuatan spiritual para dewa sebagai manifestasi Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Oleh karena itu umat Hindu menyakini bahwa tirtha merupakan wujud nyata karunia Tuhan untuk memberkati hidup manusia menuju kesucian dan kebahagiaan

BIJA

Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dan suatu upacara persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning. Bila dapat supaya diusahakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata).
Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta.
Dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut Daivi-sampat dan Asuri-sampat. Menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuhkembangkan sifat kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat itu bersemayam dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan berkembangnya sifat kedewataan atau benih ke-Siwa-an/tri kaya parisuda itu dalam pikiran dan hati manusia maka tempat mebija itu yang terpenting di tiga  tempat, yaitu: di dahi, tenggorokan dan dieled/makan, tapi idealnya berada di lima tempat untuk mengendalikan panca indria, karna panca indria itu yang mempengaruhi sifat manusia, sehingga benih-benih/bija yang baik mesti ditanamkan di sana, seperti benih pikiran di selaning lelata/dahi, benih penglihatan dan pendengaran di pelengan/antara dahi dan pipi, kemudian di tenggorokan sebagai benih perasaan dan dieled/makan sebagai benih rasa dan bau.  
Agaknya perlu juga dikemukakan di sini bahwa wija/bija tidak sama dengan bhasma. Kadangkala antara wija/bija dan bhasma itu pengertiannya rancu. Wija tersebut dari beras sedangkan bhasma terbuat dari serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh dengan menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau dulang dari tanah liat. Kemudian hasil gosokan (asaban) itu diendapkan. Inilah bahan bhasma. Kata bhasma sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. Kata "bhas" dalam kata bhasma tidak sama dengan kata baas dalam bahasa Bali yang berarti beras. Karena kata Bhasma adalah kata dalam bahasa Sansekerta. Pemakaiannyapun berbeda. Kalau wija umumnya dipakai oleh orang yang masih berstatus walaka, sedangkan bhasma hanya dipakai oleh Sulinggih yang berstatus sebagai anak lingsir. Kata wija berdekatan artinya dengan kata Walaka dan Kumara yang berarti biji benih atau putera. Bhasma dalam hal ini adalah lambang Sunya atau Siwa. Dengan pemakaian bhasma itu Sulinggih bersangkutan menjadikan dirinya Siwa (Siwa Bhasma), disamping sebagai sarana untuk menyucikan dirinya (Bhasma sesa).

BUNGA
Arti bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan sebagai ”... sekare pinako katulusan pikayunan suci”. Artinya, bunga itu sebagai lambang ketulusikhlasan pikiran yang suci. Bunga sebagai unsur salah satu persembahyangan yang digunakan oleh Umat Hindu bukan dilakukan tanpa dasar kitab suci.
 Untuk fungsi bunga yang penting yaitu ada dua dalam upacara. Berfungsi sebagai simbul, Bunga diletakkan tersembul pada puncak cakupan kedua belah telapak tangan pada saat menyembah sebagai wujud daripada yang disembah. Setelah selesai menyembah bunga tadi biasanya ditujukan di atas kepala atau disumpangkan di telinga. Dan fungsi lainnya yaitu bunga sebagai sarana persembahan, maka bunga itu dipakai untuk mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa ataupun roh suci leluhur.

  Bunga sebagai Lambang, antara lain
a. Bunga lambang restu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa
b. Bunga lambang jiwa dan alam pikiran.
c. Bunga yang baik untuk sarana keagamaan.

DUPA 
Dalam persembahyangan Api itu diwujudkan dengan : Dhupa dan Dipa. Dhupa adalah sejenis harum-haruman yang dibakar sehingga berasap dan berbau harum. Dhupa dengan nyala apinya lambang Dewa Agni yang berfungsi :

1. Sebagai pendeta pemimpin upacara
2. Sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja
3. Sebagai pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat
4. Sebagai saksi upacara dalam kehidupan.
5. Sebagai lambang utpethi, jika banten/upakara telah diisi dupa berarti telah diutpeti, lalu akan disirati tirtha sebagai lambang stithi dan kemudian dipuja dengan mantra sebagai lambang pralina (Ang,Ung,Mang) yang menjadikan Om/Ong/Hyang Widhi

Kalau kita hubungkan antara sumber-sumber kitab suci tentang penggunaan api sebagai sarana persembahyangan dan sarana upacara keagamaan lainnya, memang benar, sudah searah meskipun dalam bentuk yang berbeda. Disinilah letak keluwesan ajaran Hindu yang tidak kaku itu, pada bentuk penampilannya tetapi yang diutamakan dalam agama Hindu adalah masalah isi dalam bentuk arah, azas harus tetap konsisten dengan isi kitab suci Weda. Karena itu merubah bentuk penampilan agama sesuai dengan pertumbuhan zaman tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ia harus mematuhi ketentuan-ketentuan sastra dresta dan loka drsta atau : desa, kala, patra dan guna.
Dupa yang masih menyala ketika kita sudah seslesai melakukan persembahyangan alangkah bijaksananya jika dikumpulkan dan ditaruh pada suatu tempat yang nyaman sehingga bau harum yang dimunculkan akan terus tercium disekeliling pura, dengan situasi seperti itu perasaan akan kesucian kahyangan dewa sangat terasa sekali bagai disurga, wangi, harum,indah dan semerbakkkk