MAKNA SIMBUL-SIMBUL UPAKARA
Pelaksanaan upacara keagamaan di Bali sangatlah sarat dengan berbagai
sarana upakaranya, demikian banyak jenisnya sehingga terkadang sangat sulit
untuk diberikan penjelasan kepada anak-anak dewasa ini, tidak jarang anak-anak
bertanya kepada orang dewasa mengapa membuat ini, mengapa seperti ini, apa
tujuannya. Semakin banyak sarana yang dibuat maka semakin banyak pula
pertanyaan yang mengalir dari bibirnya, bagaimana kita menjelaskan?, kami
mencoba memberikan sedikit masukan tentang berbagai makna yang terkandung di
dalam wujud upakara dalam Agama Hindu.
SEPASANG PENJOR
Begitu
kita akan memasuki areal pura tempat pelaksanaan upacara piodalan sarana upakara yang pertama kita jumpai adalah penjor. Penjor adalah
sebatang bambu utuh dari pangkal hingga ujung yang dihias dengan pucuk enau
atau janur yang diukir. Pada batang bambu tersebut juga digantungkan berbagai
jenis hasil bumi yakni padi, pala bungkah (umbi-umbian), pala gantung (kelapa,
mentimun, pisang, nanas), pala wija (jagung), kue dan tebu. Pada ujung bambu,
digantungkan sampyan, yakni sebuah rakitan janur berbentuk seperti cupu dengan
beraneka bunga dan porosan di dalamnya. Porosan adalah setangkup sirih pinang
yang dikemas dengan potongan janur sepanjang ruas jari. Sebagai pelengkap, pada
lengkungan penjor juga digantungkan selembar kecil kain berwarna putih atau
kuning serta uang kepeng.
Penjor merupakan sarana upacara yang biasanya
ditancapkan di depan rumah penganut Agama Hindu di Bali terutama pada Hari raya
Galungan – Kuningan. Penjor juga menjadi kelengkapan pada upacara-upacara besar
di pura yang mana kala ada upacara ngusabha penjor sering disertai dengan tiga
cabang bambu yang masih utuh.
Sebagai sarana upacara, penjor dilengkapi dengan lamak, yaitu semacam taplak
panjang dari daun enau yang dirajut dengan lidi bambu. Penjor juga dilengkapi
dengan Sanggah yaitu rajutan bambu berbentuk bujur sangkar dengan atap
melengkung (oval).
Secara filosofis penjor merupakan simbol dari gunung yang diyakini oleh umat
Hindu di Bali sebagai tempat berkumpulnya fibrasi kesucian dari Hyang Widhi
(Tuhan). Penjor juga menggambarkan sosok sepasang naga pemberi keselamatan
(Naga Basuki) dan pemberi kehidupan (Naga Ananta Bhoga) yang merupakan simbol
personifikasi dari Pertiwi atau tanah. Jadi, pemasangan penjor dimaksudkan
sebagai wujud rasa bakti dan ucapan berterima kasih kepada Tuhan atas
kemakmuran yang dilimpahkanNya.
Keberadaan bahan-bahan pembuat penjor tersebut tentu memiliki arti dan
filosofinya masing-masing. Berdasarkan lontar Tutur Dewi Tapini menyebutkan :
“Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva,
Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa
Mekabehan Menadya Sarining Jagat Apan Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi
Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana
Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang
Parama Siwa Nadha”
Artinya : Wahai kamu
orang-orang bijaksana, yang menyelenggarakan yadnya, agar kalian mengerti proses
menjadi kedewataan, maka dari itu sang Bhuta menjadi tempat/tatakan/dasar dari
yadnya itu, kemudian semua Dewa menjadi sarinya dari jagat raya, agar dari dewa
semua kembali kepada hyang widhi, widhi widhana (ritualnya) bertujuan agar sang
Tri Purusa menjadi isi dari jagat raya, Hyang Siwa menjadi Bulan (arda candra),
Hyang Sadha Siwa menjadi Matahari
(windu, titik O), sang hyang parama siwa menjadi Bintang (nadha, kecek), yang
mana kesemuanya ini merupakan simbol dari Ong Kara.
“Sang Hyang Iswara Maraga Martha
Upaboga, Hyang Wisnu Meraga Sarwapala (buah-buahan), Hyang Brahma Meraga Sarwa
Sesanganan (bambu & jajanan), Hyang Rudra Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa
Meraga Ruaning Gading ( janur kuning), Hyang Sangkara Meraga Phalem (buah
pala), Hyang Sri Dewi Meraga Pari (padi), Hyang Sambu Meraga Isepan (tebu),
Hyang Mahesora Meraga Biting (semat).”
Dari petikan bait lontar di atas
dapat disimpulkan bahan-bahan pembuat penjor antara lain :
- Bambu
- Plawa
(dedaunan)
- Palawija
(biji-bijian seperti padi dan jagung)
- Palabungkah
(umbi-umbian)
- Palagantung
(kelapa, pisang, timun)
- Senganan
(Jajanan)
- Uang kepeng/logam 11 biji
- Sanggar
Ardha Candra simbol dari Ong Kara.
- Sampian
penjor yang berisi porosan (tembakau, daun sirih, kapur, buah pinang, buah
gambir) dan bunga.
Tafsir lain berdasarkan hubungan sosiologis, tentang
pembuatan penjor adalah dapat memberikan cerminan sifat yang rendah hati,
dimana semakin tinggi derajat, kewibawaan dan ilmu pengetahuan yang dimiliki
maka semakin merunduklah mereka, bagi kalangan pejabat dapat dipesankan bila
sudah mendapatkan kedudukan yang tinggi jangan lupa melihat kebawah karna
mereka ada di atas jelas ujungnya karena rakyat ( sampeyan) yang menjadikanya.
Disamping itu pula sifat yang lurus,jujur dan adil harus ditanamkan dalam diri dan
sifat yang bengkok harus dirias dan dirubah agar terlihat simpatik dan menarik
penuh arti.
CANDI BENTAR
Candi Bentar adalah simbul dari
pecahnya Gunung Kailaca tempat
Dewa Ciwa
bertapa, yang mana candi juga berasal dari kata candika yang bermakna Durgha.
Candi bentar ini berada di halaman luar /
jaba
pura,
biasanya bersanding dengan
Bale Kulkul dan Wantilan, yang dalam arsitektur pura disebutkan candi bentar ini sebagai kori
pertama yang berfungsi sebagai pintu masuk ataupun pemedalan pura.
Lebih lanjut Candi Bentar juga sebagai pembatas antara nista
mandala dan Madya mandala, yang
mana bentar dalam
kutipan artikel asta kosala-kosali dan asta bumi disebutkan sebagai
perpisahan. Begitu masuk ke dalam areal pura hendaknya dipisahkan perasaan yang
letuh/sebel yang menyelimuti pikiran agar dapat mencari keheningan dan kesucian
Yang Maha Kuasa. Pada upacara piodalan/karya sering kali di depan candi bentar
tersebut terdapat tirtha pengelukatan untuk mensucikan angga sarira dan stula
sarira.
Penetapan gerbang
candi bentar ini sangat penting untuk menetapkan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala sebagai acuan dalam arsitektur tradisonal
Bali. Selain itu, bentuk
Candi
Bentar dengan paduraksa yang dibelah dua : melambangkan
ardhacandra
pada kedua bangunan tersebut yang sejiwa. Bagian (kiri dan kanan) bangunan
itu sebagai simbol
rwa
bhineda dalam kehidupan, yakni sifat positif dan negatif dalam aksara
yaitu : Ang Ah. Candi bentar
terkadang
disertai dengan membangun sebuah pelinggih untuk menjadi aling-alingnya.
Pelinggih tersebut dinamakan Pelinggih Lebuh. Dewa yang distanakan pada
pelinggih tersebut adalah dewanya samudra yakni Hyang Baruna. Sebagai pemujaan
samudra/gangga pelinggih tersebut sering diberikan ornamen yang bernuansa
kehitaman karna lebuh/lebah adalah tempat dimana air akan berkumpul, penguasa
air adalah Dewa wisnu yang dilambangkan dengan warna hitam.
BALE KULKUL
Meskipun setiap
daerah memiliki budaya kulkul atau kentongan dengan fungsi sebagai sarana
komunikasi, akan tetapi konteks sosial yang ada pada masyarakat Bali yang
membedakannya dengan daerah lain. Walau zaman telah mengalami
perkembangan begitu pesat khususnya dalam bidang komunikasi dengan masuknya
beragam teknologi baru seperti telepon, telepon sellular, layanan pesan singkat
dll, namun keberadaan kulkul di Bali akan tetap eksis. Karna terkait
dengan kegiatan acara adat suara kulkul sangat dinantikan oleh umat Hindu,
suara dan jenis pukulan kulkul menandakan pesan yang berbeda. Tempat menaruh
kulkul disebut bale kulkul, biasanya dibangun agak tinggi di tempat paling depan
sebuah pura. Ornamen/hiasan yang dipasang pada bale kulkul bermacam-macam warna, putih, merah, kuning, hitam dll. Hal
ini dimaksudkan untuk memberikan
petunjuk/arah kepada umat hindu, dengan menempatkan warna putih di
bagian timur, merah dibagian selatan, kuning di bagian barat dan hitam di
bagian utara maka umat hindu yang akan ke pura dapat memahaminya. Disisi lain
penggunaan berbagai warna dimaksud agar warga masyarakat yang berlatar belakang
berbeda dapat menyatu dari panggilan kulkul dan mempunyai hak dan kewajiban
yang sama
CANDI KURUNG/GELUNG
Candi
kurung/gelung merupakan lambang Gunung Mahameru, yang senantiasa memberikan
berkah kemakmuran terhadap alam semesta beserta isinya. Candi kurung/gelung
adalah sebuah konsep menyatunya alam pikiran kemanusiaan dengan alam kedewaan,
sehingga membentuk kuwung/kurung/gelung/windu/sunia. jika kita sudah memasuki
candi kurung tersebut maka ciptakanlah perasaan yang bulat, menyatu dengan Yang
Maha Kuasa agar apa yang dikehendaki datang ke pura dapat tercapai. Ornamen
yang menghiasi candi kurung ini banyak ragamnya namun yang paling kelihatan
keseragamannya adalah adanya karang Boma di atas pintu masuk candi. Boma
artinya kesejahteraan, kesentosaan. Boma adalah putra dari Dewa Wisnu mana kala
ketika disuruh untuk turun mencari dasar/ujung bumi oleh Dewa Siwa. Dewa Brahma
disuruh naik ke angkasa mencari batas/ujungnya angkasa. hal ini terjadi karena
para dewa itu merasa yang paling sakti, sehingga dewa Siwa memberikan tugas
padanya barang siapa yang mampu mencari batas- batas bumi tersebut maka
merekalah yang sakti. Dewa Wisnu turun ke perut bumi dengan merubah wujud
menjadi Babi, digaruk- garuklah tanah/pertiwi membuat lubang besar ke dalam
tanah. Di sana beliau berjumpa dengan Dewi Pertiwi/Basundari, Dewa Wisnu kagum
dengan kecantikan Dewi Pertiwi sehingga terjadilah persetubuhan dan melahirkan
Boma. Boma diberikan tugas untuk memberikan kemakmuran terhadap alam semesta,
semua yang tercipta/ lahir dari perut
ibu pertiwi maka Boma berkewajiban memberikan kesejahteraan. untuk menghormati
Boma maka dibuatkanlah ornamen/visualisasi di dalam candi kurung/gelung sebagai
lambang Boma. Candi Kurung/Gelung erat kaitannya dengan pelinggih Sapta Petala/
Dasar, keberadaan pelinggih tersebut sering digunakan juga sebagai aling-aling
untuk memasuki utama mandala. Ornamen yang sangat kental di pelinggih sapta
petala/dasar adalah patung dari Dewa Antaboga sebagai lambang kemakmuran, Dewa yang dipuja/ distanakan adalah Betari
Ibu Pertiwi selaku Ibu Alam Semesta. Semua yang ada terlahir dari Ibu, sehingga
Ibu sebagai Utpeti/pencipta yang diberkati oleh kekuatan Dewa Brahma. Penghias
di pelinggih ini didominasi oleh warna merah.
TOGOG/BEDOGOL
Bedogol, Togog, patung adalah seni pahat dan bentuk sebagai
cetusan rasa cinta terhadap
seni
sebagai
warisan
budaya yang bernilai sejarah tinggi. Kerajinan yang biasanya terbuat dari kayu,
paras, batu dan unsur-unsur logam seperti yang termuat dalam penggunaan
panca
datu ini mempunyai makna tersendiri sesuai dengan bentuk dan penempatannya.
Di halaman depan/nista mandala pura biasanya sebagai pengapit candi bentar di
tempatkan togog yang bernuansa kemanusiaan (Tualen dan Merdah), di halaman
tengah/madya mandala sebagai pengapit candi kurung/gelung ditempatkan togog
yang berkarakter keraksasaan/Bhutakala, di utama mandala/jeroan pura banyak
ditempatkan togog-togog yang bernuansa kedewaan. Disaat upacara agama
berlangsung (karya/odalan) maka togog-togog yang terdapat di kawasan pura semua
diberikan perlengkapan pakaian sesuai dengan karakter masing-masing,ada yang putih,
merah, kuning, hitam, poleng dll, hal ini memberikan kesan bahwa memanusiakan
alam dan lingkungan itu sangatlah penting untuk keharmonisannya. Kita bisa
menghargai alam, dan alampun akan membantu kita untuk melangsungkan kehidupan.
Terlepas dari corak warna yang diberikan pada hiasan togog tersebut dapat
dipetik sebuah maksud dan tujuan untuk memberikan sentuhan sifat manusia yang
selalu ingin dekat dengan Yang maha Pencipta. Kain poleng yang terdapat dalam
hiasan raksasa dapat kita terjemahkan bahwa warna putih = siang, warna hitam =
malam, jadi siang dan malampun mereka yang mengenakannya selalu siap menjaga
keberadaan pura. Warna putih = kesucian, kuning = kemulian, dan warna - warna
lain memiliki arti dan fungsinya masing-masing.
PENGAWIN TEDUNG
Tedung adalah
pelengkap upakara yang
berbentuk
seperti payung, sebagai salah satu jenis perangkat
upacara
yadnya keagamaan yang khususnya digunakan di Bali, tedung memiliki beberapa
bentuk, ukuran,
warna,
fungsi dan istilah yang beragam.
Kesatuan bentuk tersebut dapat
terbentuk lewat teknik pengerjaan, material yang digunakan, proporsi ukuran
maupun komposisi yang tersusun sesuai dengan bentuk, tinggi dan lebar ukuran
tedung yang ada maupun dibuat para perajin/
undagi
dibeberapa
pura
tempat/daerah yang masih bervariasi, baik tedung agung maupun tedung
robrob.
Untuk dipahami,
pengertian atau penyebutan istilah tedung agung dan tedung robrob dibedakan
atas lenter/ider-ider yang dikenakan pada sisi penggir tukub/atap tedung dengan
posisi berjuntai.
- Tedung
Robrob, pada sisi pinggirnya diisi atau dihiasi dengan anyaman atau
sulaman dari benang.
Sulaman atau rajutan yang menghiasi pinggiran tedung robrob menggunakan
benang wol yang berwarna, seperti hitam, putih, kuning merah maupun
hijau.
- Tedung
Agung, pada hiasan tepi pinggir dijuntai dengan kain warna atau prada
yang lazim disebut dengan ider-ider.
Kain yang berjuntai tersebut
terdiri dari dua lapis/warna dengan ukuran kain atas/depan lebih pendek dari
pada yang dibagian bawah/tengahnya.
Secara visual, posisi lingkaran
pinggiran yang dibentuk oleh ruas iga-iga dari lima bentuk tedung ini,
mempunyai lengkungan bentuk yang berbeda sebagai contoh :
- Jenis tedung robrob yang ada di pura Besakih,
memiliki bentuk melingkar yang datar,
- Jenis tedung robrob yang ada di pura-pura lainnya
mempunyai lingkaran bentuk yang “ngampid lawah” (sayap kelelawar) tidak terlalu melengkung atau datar.
Dalam arsitektur Bali disebut
atap jongjong. Bebeda dengan lingkaran bentuk tedung yang berangka tahun 1910
dan 1947 foto koleksi Tropenmuseum Royal Tropical Institute mempunyai bentuk
datar atau nayah.
Dilihat dari proporsi antara lebar lingkaran dan tingginya tiang tedung,
khususnya tedung yang berangka tahun
1910 dan 1947 nampak mempunyai ukuran lebih tinggi kalau dibandingkan dengan
ukuran tinggi tiang tedung yang ada sekarang.
Kalau saat ini, ukuran-ukuran
tinggi tiang tedung lebih-kurang 2 x 2.5
(dua
setengah) kali leber lingkaran atap atau mendekati tiga kali dari lebar
lingkaran, sedangkan di tahun 1900 sampai dengan tahun 1971 ketinggian tiang
tedung diperkirakan empat kali dari lebar
(nikel ping pat) bahkan ada yang lebih.
Selain berdasarkan perhitungan bah-bangun (lebar
kali tinggi/tinggi bagi lebar), untuk mencari ukuan antara lebar dengan tinggi
tiang tedung, juga dipergunakan perhitungan depa, lengkat dan pengurip seperti ukuran membuat tangkai tombak.
Adapun ukuran tinggi/panjang
tiang tombak yaitu dua depa yang sama dengan lebih kurang 336 cm., ditambah
pengurip lima lengkat duang guli atau kurang lebih 110 cm. ditambah 8 cm. Kalau
dihitung dengan senti meter akan didapat ukuran tinggi/panjang ; 336 + 110 + 8
cm = 454: 4 = 113 cm. lebar lingkaran atasnya. Hasil tersebut dengan rincian sebagai berikut: 1 (satu) depa alit sama
dengan 168 cm., 1 (satu) lengkat sama dengan 22 cm., 1 (satu) guli sama dengan
4 cm. Rinciannya adalah: 1 (satu) Depa Agung = 186 cm., 1 (satu) Depa Alit =
168 cm., 1 (satu) Lengkat) = 22 cm., dan 1 (satu) Guli = 4 cm.
Adapun cara mengukur panjang
tangkai tombak adalah sampai ujung besinya/ujung tombak.
Dalam naskah
lontar
tutur
wiswakarma
darma laksana maupun Asta Kosali disebutkan mencari panjang /tingginya tiang
tedung yang dapat diubah adalah pada pengurip. Karena ada ukuran tombak dua
depa, mahurip alengkat saguli, atau 336 cm +22 + 4cm. =362 cm.
Jika ukuran panjang tangkai tombak dibagi 3 (tiga) untuk mendapatkan
lebar diameter atap tedung maka : 358 :3 =119 cm.
Untuk hitungan jumlah iga-iga
yang digunakan pada tedung agung maupun Robrob, digunakan hitungan yang lazim
digunakan pada iga-iga asta kosal kosali bangunan pada
rumah
tradisional Bali seperti
jineng,
krumpu, meten,
angkul-angkul,
sanggah
/ tempat suci, petengahan, dan tempat berjualan yang diawali dengan hitungan;
- Sri,
- werdhi,
- Naga,
- Hyang,
- Mas,
- Perak.
Selain itu, jumlah iga iga yang
ada di beberapa tempat, dan dari jenis tedung/pajeng/ungkulan baik tedung agung
maupun robrob mayoritas berjumlah genap. Asumsinya adalah; jatuhnya pada
hitungan No. 4 (empat) yaitu Hyang,
- Kalau
Hyang (4) itu dikalikan dengan kelipatan genap akan menemukan hitungan
- Werdhi/Perak,
- Naga/Hyang,
- Naga/Perak,
- Hyang/Hyang,
dan
- Mas/Hyang,
- Sedangkan
kalau dengan cara menambahkan akan ditemukan jumlah
- 16.
Hyang,
- 17.
Mas,
- 18.
Perak,
- 20.Werdhi,
- 22.
Hyang,
- 24.Perak,
- 32.Werdhi.
Jumlah iga-iga :
- 24
(dua puluh empat) buah dari hasil nikel/ perkalian 4 x 6 = 24 dan
- yang
ada di pura Besakih iga-iganya berjumlah 32 buah yang
merupakan hasil dari nikel/ perkalian 4 x 8 = 32.
Dan ini berlaku juga dengan
jumlah iga-iga pada tedung/pajeng/ungkulan lainnya yang jumlahnya seperti: 12
(dua belas), 14 (empat belas), 16 (enam belas), 17 (tujuh belas), 18(delapan
belas), 20 (dua puluh), 22 (dua puluh dua), 24 (dua puluh empat), dan 32 (tiga
puluh dua) buah.
Disini dapat dilihat atau
dibandingkan antara tingginya tiang tedung dengan
jempana
yang ada di sebelah bawah lingkaran “atap/daun” tedung atau antara posisi umat
yang bersimpuh di depan/belakang tedung.
Secara
visual, proporsi ukuran tedung robrob yang dipakai memayungi burung garuda saat prosesi ritual karya Eka Dasa Ludra di pura Besakih orang dengan yang membawa,
ukuran tinggi tedung kurang lebih dua kali tinggi dari orang yang
membawanya.
Dapat diperkirakan tinggi tiang
tedung bisa mencapai tinggi 450 cm (empat ratus senti meter).
Jika ukuran tinggi dibagi atau
pah telu / apeteluan untuk mendapat ukuran lebar, maka lebar tedung tersebut
kurang lebih 150 cm (seratus lima puluh senti meter).
Selain adanya perbedaan ukuran penggunaan jumlah iga-iga pada tedung yang
jenisnya sama (tedung agung / robrob) ada membedakan antara
- Melengkung/datarnya
pada atap/daun
- Tinggi/rendahnya
tiang yang dipakai.
Penggunaan warna tedung pada
setiap jenisnya, sesuai penjelasan para nara sumber juga masih beragam,
- Ada
berdasarkan kreasi para seniman/perajin,
- Ada
berdasarkan stratipikasi/kasta (Brahmana, satria, waisia, dan sudra/pasek)
- Brahmana
menggunakan warna putih
- Satria
warna hitam
- Pasek
menggunakan warna kuning
- Warga
Pande warna merah
- Ada
berdasarkan jenis pura (puseh hitam, dalem putih, dan bale agung merah).
Tanpa disadari pula
perbedaan-perbedaan tersebut juga terlihat pada warna benang sulaman/rajutan
pada iga-iga maupun dari teknik merajutnya.
UMBUL-UMBUL
Umbul-umbul adalah lembaran kain
berbentuk segi tiga memanjang / meninggi yang semakin ke atas semakin mengecil
/ mengrucut dan pada ujungnya dihiasi dengan segi tiga.
Sistem budaya yang terdiri dari
gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, dan pandangan oleh pemangku
kebudayaan
diwujudkan secara yang disebut social system atau sistem kemasyarakatan yang berwujud
"kelakuan" maupun material culture "hasil karya kelakuan.
Umbul-umbul sebagai material kultur, tidak cukup hanya diberi
perhatian/perlindungan. Kreativitas yang inovatif di jaman sekarang perlu
diantisipasi dan menjadi tanggungjawab kita bersama khususnya PHDI (Parisada
Hindu dharma Indonesia) yang wajib dan berkepentingan dibidang tersebut.
Generasi kini tanpa diharapkan
telah mencari dan mengupayakan penciptaan karya seni baru seperti umbul umbul
sesuai dengan jiwa zamannya dan secara tidak disadari memilah dan
mengesampingkan nilai-nilai filosofis yang terkandung didalamnya.
Perubahan yang kerap terjadi pada jenis umbul-umbul berdasarkan pengamatan yang
dilakukan terletak pada penempatan dan struktur yang ada. Kesamaan struktur
umbul-umbul yang dijadikan sarana upacara keagamaan dengan yang dijadikan
dekorasi dibeberapa tempat umum hampir tidak ada perbedaan.
- Menurut Parisada
Hindu dharma Indonesia umbul-umbul yang disakralkan hendaknya diisi
gantungan. Gantungan yang dimaksud mungkin bentuk jantung/hati yang ada
pada ujung umbul-umbul.
- Menurut
Ida Pedanda Gde Pasuruan dari Griya Sibetan Karangasem, yang terpenting
dalam umbul-umbul selain ada gambar Naga
Taksaka sebagai simbol penguasa alam atas, harus ada segi tiga pada
ujungnya.
- Dan ujungnya itulah sebenarnya yang
disebut umbul-umbul. Adapun makna dari umbul-umbul tersebut adalah nada
atau aksara nada.
- Makna dari naga itu sendiri adalah
sebagai penuntun atau tali penuntun yang menghubungkan umat dengan
tuhannya dalam upaya mendapatkan merta atau kesejahteraan.
- Menurut Ida Bagus Sudarsana seorang agamawan, hiasan
umbul-umbul adalah naga gombang sebagai simbol air dan kekuatan wisnu
dengan aksara
Ungkara.
Sebagai salah satu
pengawin,
disebutkan pula bahwa untuk mendapatkan ukuran ideal disebutkan secara
tradisional Bali, umbul-umbul dibuat dengan menggunakan hitungan Candi, Rebah,
Gunung, Rubuh. Adapun hitungan tersebut biasanya terkait dengan fungsi seperti:
- Hitungan
Candi sangat baik untuk membuat bangunan suci,
- Hitungan
Rebah tidak baik untuk digunakan,
- Hitungan
Gunung sangat baik untuk membuat umbul-umbul, dan
- Hitungan
Rubuh juga tidak baik untuk dipergunakan.
Untuk mendapatkan hitungan Candi,
Rebah, Gunung, Rubuh, menggunakan hitungan hasta yaitu mulai dari siku sampai
dengan ujung jari tangan. Seperti yang telah diingatkan sebelumnya, mengukur
apapun tetap pengguna atau pemiliklah yang diukur sehingga umbul-umbul yang
digunakan lebih bermakna dalam suatu upacara keagamaan.
Pengawin |
disebutkan adalah seperangkat alat yang digunakan sebagai salah satu sarana
upacara
yadnya
ketika ritual keagamaan dilangsungkan baik di tempat umum maupun di
tempat suci
seperti pura, merajan, sanggah dll ataupun saat
melasti.
Perangkat Pengawin / uparengga /
ilen-ilen tersebut ada yang berbentuk seperti:
umbul-umbul,
kober, bandrangan,
tombak,
mamas,
tedung,
payung pagut, payung robrob, Penawesange, dan Dwaja. Semua jenis bentuk
peralatan tersebut digunakan dan ditempatkan berjajar/berderet sesuai dengan
bentuk, warna, gambar, fungsi dan maknanya masing-masing. Beberapa sikut atau
ukuran yang lazim digunakan para
undagi dalam
mencari ukuran panjang, lebar, dan tinggi
depa
seperti yang disebutkan :
- Depa Agung
- Tapak ngandang
- Depa Alit
- Atebah
- Petang Nyari Atelek/useran tujuh
- Tapak Batis
Sehingga pengawin ini disebutkan dapat lebih bermakna dalam
suatu upacara yadnya.
Sembahyang berasal dari suku kata
sembah dan hyang. Sembah adalah suatu sikap sujud atau sungkem, yang dilakukan
dengan cara-cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan penghormatan,
perasaan hati atau pikiran, baik dengan ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan.
Sedangkan hyang adalah sebutan dari Tuhan dalam berbagai nama, seperti Hyang
Widhi, Hyang Brahma, Hyang Siwa dll. sesuai dengan dharma. Sembah yang juga
berarti menghormati sebagaimana disebutkan kita hendaknya juga selalu dapat
menghormati 4 guru yang disebut
catur
guru,
karena melalui ajaran-ajaran
dan nasehat-nasehat Beliaulah kita dapat mencapai kesempurnaan dan kesucian
batin. Sebagai tambahan, dalam sumber kutipan
Om
Swastyastu juga disebutkan, kata
"sembah" yang dalam bahasa Jawa Kuno disebutkan
memiliki lima arti. Sembah berarti,
- menghormati,
- menyayangi,
- memohon,
- menyerahkan diri, dan
- menyatukan diri.
Karena itu, umat
Hindu
Dharma di Bali mengenal adanya
Panca
Sembah yang diuraikan dalam
lontar
Panca Sembah. Sebenarnya sembah yang dilakukan tidak hanya ada lima tersebut
yang dalam kutipan
susila dalam sembahyang sebagaimana dijelaskan sesuai
dengan jenis upacara dan dewa yang dipuja. Namun secara umum sembah yang
dilakukan yakni :
1. Sembah
kosong sebagai bentuk bahwa semua yang
ada berawal dari yang tidak ada.jadi sembah puyung kita pusatkan perhatian
kehadapan hyang pencipta alam semesta, disamping itu kita diharapkan untuk
mengosongkan pikiran supaya hyang widhi bisa hadir dan mengisi pikiran kita, (Nirguna
Brahman) (utpetining sembah)
- Sembah kepada siwa
raditya atau nama lain beliau yaitu iswara yang memiliki arah di
timur dengan warna putih/petak. Maka pada saat kita muspa ke siwa raditya
hendaknya kita menggunakan bunga yang berwarna putih. Disamping itu sembah
kehadapan Hyang Siwaraditya sebagai unsur Purusa/maskulin di Akasa,
idealnya menggunakan bunga putih karena unsur purusa sebagai lambang bapak
yang memiliki kama putih/petak.(Saguna Brahman) (stithining sembah)
3. Muspa kepada ista
dewata yang berstana di Pura tempat kita sembahyang
menggunakan Kwangen atau
bunga berwarna yang sesuai dengan
sifat/karakter dari pada dewa yang kita puja
. Misalnya di Pura Desa sembah kepada Dewa Brahma dengan bunga
merah, di Pura Puseh kehadapan dewa Wisnu dengan bunga hitam dan lain
sebagainya
Disamping itu kwangen juga
melambangkan Ongkara/simbul Tuhan (guna Brahman)
- Muspa kepada dewa
pemberi anugrah menggunakan kuangen atau bungan berwarna-warni yang memiliki tujuan memohon
anugrah kehadapan Hyang Widhi dan para dewa yang berstana di pura tersebut.
- Sembah puyung untuk
mengembalikan kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa pada alam semesta/bhuana
agung. (pralinaning sembah)
Sedangkan arah
cakupan
tangan saat muspa / sembah dalam tradisi di Bali berbeda-beda yang
disesuaikan dengan tujuannya seperti ada sembah ke bhuta, ke manusa, ke pitra,
ke dewa dan Hyang Widhi.
- Kalau menyembah
bhuta untuk kesejahteraan alam
semesta ini dengan tangan dicakupkan di pusar. Sembah seperti itu
berarti untuk mencurahkan kasih sayang kita pada alam untuk menjaga
kelestariannya.
- mencakupkan
tangan di dada adalah Sembah untuk
menghormati sesama manusia.
- Menyembah pitara cakupan tangan ada di depan mulut
dengan ujung jari di depan hidung
- Menyembah
dewa
atau Hyang
Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, tangan dicakupkan di selaning lelata yaitu
di antara kening di atas mata ujung jari datar di depan ubun-ubun karena di
ubun-ubun linggih/stana dari Hyang Siwa sehingga disebut dengan Siwadwara
Selain adanya panca sembah tidak jarang pula krama hindu
melaksanakan kramaning sembah yang ditujukan kehadapan para dewa seisi alam
semesta, misalnya kehadapan hyang Ibu Pertiwi dengan sarana bunga merah hal ini
disebabkan karena Hyang Pertiwi sebagai unsur predana/peminim sebagai Ibu yang
mempunyai kama bang/merah, disisi lain Ibu juga sebagai pencipta/utpethi/brahma
karena semua yang ada di alam semesta ini dilahirkan oleh Ibu.
Ada pula sembah kehadapan Hyang Baruna sebagai penguasa
lautan/gangga/wisnu menggunakan bunga berwarna hitam, di Pura Prajapati sembah
kehadapan Hyang Prajapati dengan sarana bunga berwana merah, dll.
NUNAS TIRTHA
Tirtha (tirta) adalah air suci yang dibuat/dimohon melalui
mantra
weda yang
mampu menumbuhkan perasaan dan atau pikiran suci dari kekotoran fisik dan
spiritual, sehingga merupakan simbolis pembersihan
Tri Pramana
(bayu, sabda,
dan iděp).
Tirta disebutkan berasal dari akar kata “tr” yang berarti “triyate anena” atau
diseberangkan, dengan kata lain orang diseberangkan dari lautan
dosa
yang
dengan jalan tirtha yatra
sesungguhnya juga bermakna untuk menyucikan diri dari pengaruh dosa.
Titha sebagai air suci melalui doa,
puja
dan
mantra
weda yang
sehabis melaksanakan
sembahyang
seperti halnya dalam upacara
pagedong-gedongan
disebutkan dapat diucapkan mantra sebagai berikut :
Dipercikan tiga kali di kepala,
Om Budha pawitra ya namah
Om Dharma maha
tirtha ya namah
Om Sanggya maha toya ya namah
Diminum tiga kali,
Om Brahma pawaka
ya namah
Om Wisnu amertha
ya namah
Om Iswara jnana
ya namah
Diraup tiga kali di kepala,
Om Siwa sampurna
ya namah
Om Sadhasiwa paripurna
ya namah
Om paramasiwa suksma
ya namah
- Tirtha
Sanjiwani;
Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang sebagai Prabhawa Nya dalam
kekuatan Sang
Hyang Iswara untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala dan niskala.
- Tirtha
Kamandalu; Widyadari (Bidadari) Saraswati
sebagai Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang
Hyang Brahma untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan (kecerdasan)
dan Kewibawaan.
- Tirtha
Kundalini;
Widyadari Ken Sulasih sebagai Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang
Hyang Mahadewa untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
- Tirtha
Pawitra; Widyadari Nilotama sebagai Prabhawa Nya dalam kekuatan
Sang
Hyang Wisnu untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala
bentuk kekotoran jiwa dan raga.
- Tirtha
Maha Mertha; Widyadari
Supraba sebagai Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang
Siwa untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa).
Karena tirtha
bukanlah air biasa, tetapi benda materi sakral dan mampu menumbuhkan perasaan
dan pikiran suci dari kekotoran fisik
dan spiritual, sehingga merupakan simbolis pembersihan bayu,
sabda, dan iděp.
Kesucian tirtha hanya dapat dibuktikan jika diyakini sebagai benda agama,
di mana di dalamnya terdapat kekuatan spiritual para dewa
sebagai manifestasi Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Oleh karena itu umat Hindu menyakini bahwa tirtha merupakan
wujud nyata karunia Tuhan untuk memberkati hidup
manusia
menuju kesucian dan kebahagiaan
BIJA
Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta,
yang merupakan rangkaian terakhir dan suatu upacara persembahyangan. Wija
atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana.
Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL) sehingga
berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning. Bila dapat supaya diusahakan
beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata).
Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra
atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara
adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija
mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri
orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan
suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta.
|
Dalam
diri manusia terdapat sifat kedewataan dan sifat keraksasaan
yang disebut Daivi-sampat dan Asuri-sampat. Menumbuh-
kembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuhkembangkan sifat kedewataan
tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat itu bersemayam
dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan berkembangnya sifat
kedewataan atau benih ke-Siwa-an/tri kaya parisuda itu dalam pikiran dan hati
manusia maka tempat mebija itu yang terpenting di tiga tempat, yaitu: di dahi, tenggorokan dan dieled/makan,
tapi idealnya berada di lima tempat untuk mengendalikan panca indria, karna
panca indria itu yang mempengaruhi sifat manusia, sehingga benih-benih/bija
yang baik mesti ditanamkan di sana, seperti benih pikiran di selaning
lelata/dahi, benih penglihatan dan pendengaran di pelengan/antara dahi dan
pipi, kemudian di tenggorokan sebagai benih perasaan dan dieled/makan sebagai
benih rasa dan bau.
|
Agaknya perlu juga dikemukakan di sini bahwa wija/bija
tidak sama dengan bhasma. Kadangkala antara wija/bija dan bhasma itu
pengertiannya rancu. Wija tersebut dari beras sedangkan bhasma terbuat dari
serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh dengan
menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau
dulang dari tanah liat. Kemudian hasil gosokan (asaban) itu
diendapkan. Inilah bahan bhasma. Kata bhasma sendiri secara
harfiah berarti abu atau serbuk. Kata "bhas"
dalam kata bhasma tidak sama dengan kata baas dalam bahasa Bali
yang berarti beras. Karena kata Bhasma adalah kata dalam bahasa
Sansekerta. Pemakaiannyapun berbeda. Kalau wija umumnya dipakai oleh
orang yang masih berstatus walaka, sedangkan bhasma hanya
dipakai oleh Sulinggih yang berstatus sebagai anak lingsir.
Kata wija berdekatan artinya dengan kata Walaka dan Kumara
yang berarti biji benih atau putera. Bhasma dalam hal ini adalah lambang
Sunya atau Siwa. Dengan pemakaian bhasma itu Sulinggih bersangkutan
menjadikan dirinya Siwa (Siwa Bhasma), disamping sebagai sarana untuk
menyucikan dirinya (Bhasma sesa).
|
BUNGA
Arti bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan sebagai
”... sekare pinako katulusan pikayunan suci”. Artinya, bunga itu sebagai
lambang ketulusikhlasan pikiran yang suci. Bunga sebagai unsur salah satu
persembahyangan yang digunakan oleh Umat Hindu bukan dilakukan tanpa dasar kitab
suci.
Untuk fungsi bunga yang
penting yaitu ada dua dalam upacara. Berfungsi sebagai simbul, Bunga diletakkan
tersembul pada puncak cakupan kedua belah telapak tangan pada saat menyembah
sebagai wujud daripada yang disembah. Setelah selesai menyembah bunga tadi
biasanya ditujukan di atas kepala atau disumpangkan di telinga. Dan fungsi
lainnya yaitu bunga sebagai sarana persembahan, maka bunga itu dipakai untuk
mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa ataupun roh suci leluhur.
Bunga sebagai Lambang,
antara lain
a. Bunga lambang restu dari Ida
Sang Hyang Widhi Wasa
b. Bunga lambang jiwa dan alam
pikiran.
c. Bunga yang baik untuk sarana keagamaan.
DUPA
Dalam persembahyangan Api itu diwujudkan dengan : Dhupa dan
Dipa. Dhupa adalah sejenis harum-haruman yang dibakar sehingga berasap dan
berbau harum. Dhupa dengan nyala apinya lambang Dewa Agni yang berfungsi :
1. Sebagai pendeta pemimpin upacara
2. Sebagai perantara yang
menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja
3. Sebagai pembasmi segala kotoran
dan pengusir roh jahat
4. Sebagai saksi upacara dalam kehidupan.
5. Sebagai lambang utpethi, jika banten/upakara telah diisi
dupa berarti telah diutpeti, lalu akan disirati tirtha sebagai lambang stithi
dan kemudian dipuja dengan mantra sebagai lambang pralina (Ang,Ung,Mang) yang
menjadikan Om/Ong/Hyang Widhi
Kalau kita hubungkan antara sumber-sumber kitab suci tentang
penggunaan api sebagai sarana persembahyangan dan sarana upacara keagamaan
lainnya, memang benar, sudah searah meskipun dalam bentuk yang berbeda. Disinilah
letak keluwesan ajaran Hindu yang tidak kaku itu, pada bentuk penampilannya
tetapi yang diutamakan dalam agama Hindu adalah masalah isi dalam bentuk arah,
azas harus tetap konsisten dengan isi kitab suci Weda. Karena itu merubah
bentuk penampilan agama sesuai dengan pertumbuhan zaman tidak boleh dilakukan
secara sembarangan. Ia harus mematuhi ketentuan-ketentuan sastra dresta dan
loka drsta atau : desa, kala, patra dan guna.
Dupa yang masih menyala ketika kita sudah seslesai melakukan persembahyangan alangkah bijaksananya jika dikumpulkan dan ditaruh pada suatu tempat yang nyaman sehingga bau harum yang dimunculkan akan terus tercium disekeliling pura, dengan situasi seperti itu perasaan akan kesucian kahyangan dewa sangat terasa sekali bagai disurga, wangi, harum,indah dan semerbakkkk