Senin, 14 September 2015

UPACARA BHUTA YADNYA




Segehan
Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil disebut dengan “Segehan“, Sega berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Oleh sebab itu, banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan. Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem. Selain segehan yang paling sederhana dan setiap kali kita laksanakan adalah Saiban/ngejot. lihat dharma wecana saiban!!!!
Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna nasi yang di gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah Segehan Kepel dan Segehan Cacahan, Segehan Agung, Gelar Sanga, Segehan Tuutan, segehan wongwongan dll.
Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.
Fungsi segehan ini sebagai aturan terkecil (dari caru) untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar terbina keharmonisan hidup, seluruh umat manusia terhindar dari segala godaan sekala niskala, terutama terhindar dari gangguan para bhuta-kala (Kala Bhucara-Bhucari). Segehan yang besar berbentuk caru.
Warna segehan disesuaikan dengan warna kekuatan simbolis kedudukan  dari para dewa (Istadewata) yang dihaturi segehan. Pada waktu selesai memasak, dipersembahkan segehan cacahan (jotan, yadnya sesa, nasinya tidak dikepel, tidak dibuat tumpeng) kehadapan Sang Hyang Panca Maha Bhuta. Segehan ini dihaturkan di tempat masak (api), di atas tempat air (apah), di tempat beras (pertiwi), di natah/halaman rumah (teja), dan di tugu penunggu halaman rumah (akasa). Dalam hal ini bahan yang dimasak (nasi, sayur, daging, dan lauk-pauk lainnya) itu diyakini terdiri atas bahan panca mahabhuta. Segehan ini dihaturkan sebagai tanda terima kasih umat terhadap Hyang Widhi karena telah memerintahkan agar para bhuta (panca maha bhuta) membantu manusia sehingga bisa memasak dan menikmati makanan, dapat hidup sehat, segar dan sejahtera.
Ada pula segehan yang dihaturkan di perempatan jalan, di halaman rumah, di luar pintu rumah, dan sebagainya. Itu disebut segehan manca warna, kepel, atau agung. Segehan manca warna ini di timur berupa nasi berwarna putih (Dewa Iswara), di selatan nasi berwarna merah (Dewa Brahma), di barat nasi berwarna kuning (Dewa Mahadewa), di utara nasi berwarna hitam (Dewa Wisnu), dan di tengah-tengah nasi berwarna manca warna atau campuran keempat warna tadi (Dewa Siwa), sesuai dengan kekuatan Istadewata yang berkedudukan di dikpala, di empat penjuru arah mata angin ditambah satu di tengah-tengah.
Dalam “Lontar Carcaning Caru”, penggunaan ekasata (kurban dengan seekor ayam yang berbulu lima jenis warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni: ada unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempat warna tadi) sampai dengan pancasata (kurban dengan lima ekor ayam masing-masing dengan bulu berbeda, yakni unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempatnya, sehingga akhirnya juga menjadi lima warna) ini masih digolongkan segehan **khusus untuk kelengkapan piodalan saja, sehingga memiliki fungsi sebagai runtutan proses piodalan (ayaban atau tatakan piodalan) yang memilki kekuatan sampai datang piodalan berikutnya.
Caru
Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan madya ini di sebut dengan “Caru“. Pada tingkatan ini selain mempergunakan lauk pauk seperti pada segehan, maka di gunakan pula daging binatang. Banyak jenis binatang yang di gunakan tergantung tingkat dan jenis caru yang di laksanakan. menurut “lontar Carcaning Caru” jenis-jenis caru adalah Caru ayam berumbun ( dengan satu ekor ayam ), Caru panca sata ( caru yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan dengan arah atau kiblat mata angin ), Caru panca kelud adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau yang lain sesuai dengan kebutuhan upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.
Baten caru berfungsi sebagai pengharmonis atau penetral buwana agung (alam semesta), di mana caru ini bisa dikaitkan dengan proses pemlaspas maupun pangenteg linggihan pada tingkatan menengah (madya). Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara. Penyelenggaraan caru juga dapat dilaksanakan manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan proses pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam kembali stabil.
Tawur
Tingkatan yang utama ini di sebut dengan Tawur. Adapun yang digolongkan tawur dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai dengan marebu bumi—sesuai dengan yang tersurat dalam “lontar Bhama Kertih” digolongkan sebagai upacara besar (utama) yang diselenggarakan pada pura-pura besar. Tawur ini memiliki fungsi sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta). Adapun tawur ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun (untuk eka dasa rudra), dan 1000 tahun untuk marebu bumi.
Tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai pangenteg linggih maupun upacara-upacara rutin yang sudah ditentukan oleh aturan sastra atau rontal pada berbagai pura besar di Bali. Tawur ini memiliki makna sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan kabupaten/kota, provinsi, maupun negara. misalnya Tawur Kesanga dan Nyepi yang jatuhnya setahun sekali, Panca Wali Krama adalah upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap sepuluh tahun sekali, dan Eka Dasa Rudra yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap seratus tahun sekali.

Caru Adalah Memaknai Ruang dan Waktu

Setiap upacara agama yang berdasarkan Veda selalu ada tiga unsur yang memvisualkan nilai-nilai suci upacara agama Hindu. Ketiga unsur tersebut adalah Mantra,Yantra dan Tantra. Mantra adalah suatu ucapan/kata-kata suci untuk menghubungkan diri dengan Hyang Maha Kuasa Yantra itu berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya alat atau sarana dalam bentuk simbol.
Yantra dalam upacara agama Hindu di Bali disebut banten atau upakara. Banten inilah yang menggunakan sarana tumbuh-tumbuhan dan hewan di samping unsur unsur panca maha bhuta lainya. Tantra adalah gerak/sikap yang dipakai saat menghubungkan diri dengan Hyang Widhi, seperti mudra, Yoga dll.
Dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan, sebagai berikut, " ..... Sehananing bebanten pinaka raganta twi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka Andha Bhuwana." Artinya, semua bebanten adalah lambang dirimu sendiri, lambang kemahakuasaan Tuhan dan lambang isi alam semesta. Berdasarkan uraian Lontar Yadnya Prakerti ini banten memiliki tiga makna. Banten bermakna sebagai simbol manusia, baik lahir maupun batin, bermakna untuk melambangkan berbagai wujud kemahakuasaan Tuhan dan banten juga melambangkan keberadaan isi alam semesta ini berupa planet-planet isi ruang angkasa.
Caru Artinya Cantik
Dalam kitab Samhita Swara disebutkan, arti kata caru adalah cantik atau harmonis. Mengapa upacara Butha Yadnya itu disebut caru. Hal itu disebabkan salah satu tujuan Butha Yadnya adalah untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam lingkunganya. Dalam kitab Sarasamuscaya 135 disebutkan, bahwa untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha, terlebih dahulu harus melakukan Butha Hita. Butha Hita artinya menyejahtrakan alam lingkungan.
Untuk melakukan Butha Hita, itu dengan cara melakukan Butha Yadnya. Hakekat Butha Yadnya itu adalah menjaga keharmonisan alam agar alam itu tetap sejahtra. Alam yang sejahtera itu artinya alam yang cantik.
ButhaYadnya pada hakekatnya merawat lima unsur alam yang disebut panca maha butha (tanah, air, api, udara dan ether). Kalau kelima unsur alam itu berfungsi secara alami, maka dari kelima unsur itulah lahir tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itulah sebagai bahan dasar makanan hewan dan manusia. Kalau keharmonisan kelima unsur alam itu terganggu maka fungsinya pun juga akan terganggu. Dalam Bhagawadgita III.14 disebutkan tentang proses berkembangnya makhluk hidup dari makanan. Dari hujan datangnya makanan. Hujan itu datang dari Yadnya. yadnya itu adalah Karma. Dalam Bhagawadgita ini memang disebutkan hanya hujan. Namun dalam proses menumbuhkan tumbuh-tumbuhan tidaklah hanya hujan saja yang dapat melahirkan tumbuh-tumbuhan. Kelima unsur alam tersebut juga berfungsi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.
Tanah, api (matahari), udara dan ether juga berfungsi untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Peredaran kelima unsur alam itu melahirkan iklim serta siang dan malam. Karena itu upacara mecaru itu berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat manusia agar memiliki wawasan kesemestaan alam.
Hubungan antara manusia dehgan alam haruslah berdasarkan konsep Cakra Yadnya sebagaimana ditegaskan dalam kitab Bhagawadgita III.16. ini artinya antara alam dan manusia harus menjaga kehidupan yang saling memelihara berdasarkan Yadnya. Keberadaan alam ini karena Yadnya dari Tuhan. Karena itu manusia berutang moral pada Tuhan dan alam secara langsung. Utang moral itulah yang disebut rina dalam kitab Manawa Dharmasastra. Dalam Yajurveda XXXX.l disebutkan bahwa Tuhan itu berstana pada alam yang bergerak atau tidak bergerak (Isavasyam Idam Jagat). Ini artinya alam itu adalah badan raga dari Tuhan. Karena itu upacara mecaru itu berarti suatu kewajiban merawat badan raga Tuhan dalam wujud merawat alam.
Di dalam kitab Manawa Dharmasastra V.40 disebutkan, tujuan digunakan tumbuhtumbuhan dan, hewan tertentu sebagai sarana upacara yadnya adalah sebagai upaya dan doa agar semua makhluk hidup tersebut meningkat kualitas dan kuantitasnya pada kelahiran yang akan datang.
Akan menjadi tidak cantik kalau penggunaan tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut hanya mentok di tingkat upacara semata. Tujuan hakiki dari upacara mecaru itu adalah pelestarian alam dengan eko sistemnya. Dari alam yang lestari itu manusia mendapatkan sumber kehidupan. Jadinya hakekat Butha yadnya itu adalah mecaru untuk membangun kecantikan alam lingkungan sebagai sumber kehidupan semua makhluk ciptaan Tuhan. Dan sudut pandang upacara; caru itu adalah salah satu jenis upacara Butha Yadnya.
Kalau Banten Butha Yadnya itu masih menggunakan nasi dengan lauknya bawang jahe belum menggunakan hewan itu disebut Segehan. Segehan itu pun banyak jenisnya. Ada segehan Nasi Sasah, ada Segehan Nasi Kepel, Segehan Nasi Wong-Wongan, ada Segehan Naga dan sebagainya. Kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan ayam, banten itulah yang disebut Caru. Ada Caru Eka Sata, Panca Sata, Panca Sanak, Panca Kelud. Balik Sumpah.
Menurut Lontar Dang Dang Bang Bungalan, kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan binatang kerbau tidak lagi ia disebut banten Caru. Banten itu sudah bernama Banten Tawur. Misalnya Tawur Agung sudah menggunakan binatang kerbau seekor. Umumnya dipergunakan untuk Tawur Kesanga setiap menyambut tahun baru Saka. Kalau ditambah lagi dengan tiga ekor kerbau disebut Mesapuh Agung, ditambah lagi dengan lima ekor kerbau. Demikian antara lain disebutkan dalam Lontar Dang Dang Bang Bungalan. Namun pada hakekatnya semuanya itu tujuannya adalah mecaru mewujudkan keharmonisan sistem alam semesta.
Dengan Caru Mengatasi Bhutakala
Bhuta Kala umumnya dibayangkan sebagai suatu makhluk ajaib yang berwajah serem menakutkan. Mulutnya lebar, bertaring panjang, mata merah mendelik, rambut tergerai tanpa aturan, perut gendut dengan sikap garang. Keadaan itu sering diwujudkan dengan ogoh-ogoh menjelang Nyepi. Penggambaran Bhuta Kala itu sangatlah wajar sebagai imajinasi para seniman dan rohaniawan. Karena kalau manusia. tidak harmonis dengan Bhuta Kala perasaan ngeri seperti melihat Bhuta Kala yang digambarkan di atas. Dalam bahasa sehari-hari di kalangan umat Hindu terutama di Bali ada istilah mecaru untuk nyomia Bhuta Kala. Upacara nyomia Bhuta Kala artinya mengubah sifat ganas Bhuta Kala menjadi bersifat lembut membantu manusia untuk mengembangkan perbuatan baik.
Jadi hakekat upacara mecaru itu adalah memotivasi spiritual agar selalu berbuat mengubah sifat ganas menjadi lembut tentang keberadaan Bhuta Kala itu. Dengan demikian terjadilah suatu hubungan yang harrnonis antara manusia dengan Bhuta Kala, Keharmonisan itulah tujuan dari upacara mecaru itu.
Bhuta Kala yang digambarkan itu tidak lain dari pada sifat-sifat alam kita ini. Manusia hidup bersama alam bahkan jasmani manusia juga disebut alam kecil atau Bhuwana Alit. Sifat alam kadang-kadang sebagai sahabat manusia kadang-kadang sebagai musuh manusia. Api dan air bisa menjadi sahabat dan membantu kehidupan manusia. Bisa juga menjadi musuh manusia seperti menimbulkan kebakaran, banjir dan lainnya. Agar alam itu selalu dapat bersahabat dengan manusia, yang harus aktif membangun persahabatan itu adalah manusia itu sendiri. Persahabatan dengan alam itu dapat dilakukan dengan cara sekala atau nyata dan dengan cara niskala atau dengan cara kerokhanian. Upacara mecaru adalah membangun persahabatan dengan alam dengan cara niskala. Cara niskala ini harus seimbang dengan cara sekala. Dengan demikian Bhuta Kala itu akan selalu menjadi sahabat membantu kehidupan manusia.
Dari sudut arti kata, Bhuta Kala berasal dari kata Bhuta yang artinya unsur-unsur alam kita ini. Bhuta dibangun oleh lima elemen yang disebut Panca Maha Bhuta, yaitu unsur tanah, air, api, udara dan ether. Lima unsur itulah yang membangun alam ini seperti planet-planet yang bertebaran di kolong langit ini. Planet-planet yang paling dekat dengan kita adalah bumi, bulan dan matahari. Perputaran planet-planet itu menimbulkan waktu dan musim. Waktu dalam bahasa Sanskerta adalah Kala. Bhuta Kala arti sebenarnya adalah Ruang dan Waktu. Manusia hidup dalam suatu ruang dan waktu tertentu. Tidak ada manusia hidup tidak berada pada ruang dan waktu tertentu itu. Ruang dan wakru itu dapat menjadi sahabat manusia dapat pula menjadi musuh yang menyusahkan manusia. Dalam persahabatan ini manusialah yang semestinya aktif menjalin persahabatan dengan ruang dan waktu itu. Untuk itu manusia hendaknya memahami peredaran ruang dan waktu itu dan segala potensi yang dikandung dalam peredaran tersebut. Dengan caru itu berarti kita dapat memanfaatkan secara positif ruang dan waktu atau Bhuta Kala, sehingga Bhuta Kala tidak lagi mengerikan.
Mengapa caru Menggunakan Binatang
Banten Bhuta Yadnya yang disebut caru selalu menggunakan binatang kurban. Penggunaan binatang ini sangat menentukan nama dan tingkatan banten caru tersebut. Misalnya caru Eka Sata menggunakan ayam brumbun atau lima warna. Caru Panca Sata menggunakan lima ekor ayam.
Demikian seterusnya. Pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana upacara Yadnya telah disebutkan dalam Manawa Dharmasastra V.40. Tumbuh-tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam penjelmaan berikutnya. Manusia yang memberikan kesempatan kepada tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut juga akan mendapatkan pahala yang utama. Karena setiap perbuatan yang membuat orang lain termasuk sarwa prani meningkat kualitasnya adalah perbuatan yang sangat mulia. Perbuatan itu akan membawa orang melangkah semakin dekat dengan Tuhan. Karena itu penggunaan binatang sebagai sarana pokok upacara banten caru bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat kebinatangan atau keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan terus meningkat menuju kesifat-sifat kedewaan.

 

Memaknai Caru..


Caru dalam hal ini adalah suatu upacara yang termasuk upacara Bhuta Yadnya..yaitu upacara yang ditujukan kepada mahluk-mahluk yang dianggap sebagai mahluk bawah dari manusia…Caru berarti suatu kecantikan atau suatu keharmonisan…Jadi berdasarkan arti dari caru itu sendiri, maka caru bertujuan untuk menjaga suatu keharmonisan dari kehidupan manusia itu sendiri…
Terdapat 5 Yadnya yang diketahui atau di ajarkan dalam Agama HIndu…yaitu :
1.Dewa Yadnya…Upacara menghormati dan pengorbanan kepada Dewa…
2.Pitra Yadnya..Upacara menghormati dan pengorbanan kepada Leluhur…
3.Manusa Yadnya…Upacara menghormati dan memperingati kehidupan sebagai manusia…
4.Rsi Yadnya..Upacara menghormati dan pengorbanan kepada guru…
5.Bhuta Yadnya..Upacara mengharmonisasikan dunia dan pengorbanan kepada para bhuta..
Hal ini didasarkan pada tiga hutang manusia , yaitu Tri rna…dewa rna, pitra rna , Rsi rna…
Dunia itu benarlah bahwa manusia tidak sendiri hidup di atasnya..masih ada mahluk-mahluk lain selain pula tumbuhan dan hewan-hewan serta mahluk-mahluk bawahan..agar kehidupan bersifat atau menuju suatu keharmonisan tentunya ada suatu simbol-simbol yang mungkin bisa dicanangkan dalam memaknai serta teryakini nantinya terjadi suatu keharmonisan tersebut…
Penggunaan hewan dan tumbuh-tumbuhan serta bebanten lainnya, merupakan simbol-simbol diri, serta simbol-simbol yang menggambarkan bagaimana rupa Tuhan itu yang terciptakan dalam bentuk tersebut…. Hewan-hewan yang digunakan dalam pecaruan sebenar-benarnya akan ditingkatkan hidupnya menjadi lebih baik yang berhubungan dalam suatu keyakinan samsara selanjutnya…pelaksanaan upacara bhuta yadnya sering kali terjadi suatu permasalahan, ada yang mengatakan terlalu ekstrim dengan menyembelih binatang kemudian dikuliti dan dipersembahkan kepada Hyang Kuasa, ada lagi permasalahan penempatan sanggah cucuk yang seringkali terjadi perbedaan pandangan baik dari tukang banten maupun pemimpin upacara, ada yang mengatakan sanggahnya menghadap ke tengah, ada yang mengatakan menghadap ke luar. Itu sah sah saja tergantung sekarang kita memahami hakekat caru tersebut, jikalau menghadap ke luar maka disaat mengembalikan kekuatan unsur panca maha bhuta tersebut hendaknya dikembalikan ke masing masing tempat asalnya dan merubah sifat bhuta menjadi sifat dewanya masing masing, jikalau menghadap ke tengah maka pengembalian kekuatan unsur panca maha bhuta tersebut ke tengah bumi (Bhuana Agung/Alit), sifat bhuta yang kurang harmonis yang dimiliki oleh manusia (Bhuana Alit) harus dirubah menjadi sifat dewa yang penuh cinta kasih, itulah sebabnya caru tersebut jangan dipertentangkan lagi mau menghadap ke tengah atau menghadap ke luar, nanti maksud dan tujuannya yang mesti dipahami (Tattwa,susila,upakara)
Dalam kitab Sarasamuscaya 135 disebutkan, bahwa untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha, terlebih dahulu harus melakukan Butha Hita. Butha Hita artinya menyejahtrakan alam lingkungan. Untuk melakukan Butha Hita, itu dengan cara melakukan Butha Yadnya. Hakekat Butha Yadnya itu adalah menjaga keharmonisan alam agar alam itu tetap sejahtra. Alam yang sejahtera itu artinya alam yang cantik…Dari hal tersebut dapat dijelaskan pula Tri hita karana manusia yang selalu harus ingat kepada lingkungan (Palemahan)…
Kitab suci Manawa Dharmasastra Buku ke-tiga (Tritiyo dhyayah) pasal 74 menyebutkan:

JAPO HUTO HUTO HOMAH, PRAHUTO BHAUTIKO BALIH, BRAHMYAM HUTAM DWIJA, GRYARCA PRASITAM PITR TARPANAM

Artinya: Ahuta adalah pengucapan doa dari Veda. Huta persembahyangan homa, Prahuta adalah upacara bali (wali) yang dihaturkan diatas tanah kepada para Bhuta. Brahmahuta, yaitu menerima tetap Brahmana secara hormat seolah-olah menghaturkan kepada api yang ada dalam tubuh Brahmana dan Prasita adalah persembahan tarpana kepada para pitara.
Dhyayah yang sama pada pasal 75 menyebutkan:

SWADHYAYE NITYAYUKTAH, SYADDAIWE CAIWEHA KARMANI, DAIWAKARMANI YUKTO HI, BIBHARTIMDAM CARACARAM

Artinya: Hendaknya setiap orang yang menjadi kepala keluarga sehari-hari menghaturkan mantra-mantra suci Veda dan juga melakukan upacara pada para Dewa karena ia yang rajin dalam melakukan upacara kurban pada hakekatnya membantu kehidupan ciptaan Tuhan yang bergerak maupun tak bergerak.
Pasal 81:

SWADHYAYANARCAYER, SAMSIMNHOMAIR DEWANYATHAWIDHI, PITRRN CRADDHAISCA NRRNAM, NAIRBHUTANI BALIKARMANA

Hendaknya ia (kepala keluarga) sembahyang yang sesuai menurut peraturan kepada Rsi dengan pengucapan Veda, kepada Dewa dengan haturan yang dibakar, kepada para leluhur dengan srada, kepada manusia dengan pemberian makanan dan kepada Bhuta dengan upacara kurban.
Mengenai pembunuhan binatang atau penggunaan hewan/ binatang dalam persembahan atau kurban diatur dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-lima (Atha Pancamo dhyayah) Pasal 22:

YAJNARTHAM BRAHMANAIRWADHYAH, PRASASTA MRIGAPAKSINAH, BHRITYANAM CAIWA WRITTYARTHAM, AGASTYO HYACARATPURA

Hewan-hewan dan burung-burung yang dianjurkan untuk bisa dimakan, boleh dibunuh oleh Brahmana-Brahmana untuk upacara kurban (Bhuta yadnya) dan juga untuk diberikan kepada mereka yang patut diberi makan, karena Rsi Agastyapun melakukan hal itu di jaman dahulu.
Pasal 23:

BABHUWURHI PURODASA, BHAKSYANAM MRIGAPAKSINAM, PURANESWAPI YAINESU BRAHMAKSATRA-SAWESU CA

Karena pada masa purba, kueh-kueh sesajen dibuat dari daging binatang-binatang dan burung yang bisa dimakan pada upacara-upacara kurban (Bhuta yadnya) yang dilakukan oleh para Brahmana dan Ksatria.
Pasal 31:

YAJNAYA JAGDHIR MAMSASYETYESA DAIWO WIDHIH SMRITAH, ATO NYATHA PRAWRITTISTU RAKSASO WIDHIRUCYATE

Pemakaian daging adalah wajar untuk upacara kurban (Bhuta yadnya), hal mana dinyatakan sebagai peraturan yang dibuat oleh para Dewa, tetapi jika memaksa memakainya dalam kejadian lain adalah peraturan yang cocok untuk para Raksasa.
Pasal 39:

YAJNARTHAM PASAWAH SRISTAH, SWAMEWA SAYAMBHAWA, YAJNASYA BHUTYAI SARWASYA, TASMADYAJNE WADHO WADHAH

Swayambhu (Tuhan) telah menciptakan hewan-hewan untuk tujuan upacara kurban (Bhuta yadnya), upacara kurban telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi ini, dengan demikian penyembelihan hewan untuk upacara bukanlah penyembelihan dalam arti lumrah saja.
Pasal 40:

OSADHYAH PASAWO WRIKSASTIR YANCAH PAKSINASTATHA, YAJNARTHAM NIDHANAM PRAPTAH, PRAPNU WANTYUTSRITIH PUNAH

Tumbuh-tumbuhan, semak, pohon-pohonan, ternak, burung-burung lain yang telah dipakai untuk upacara akan lahir dalam tingkatan yang lebih tinggi pada kelahiran yang akan datang.
Pasal 42:

ESWARTHESU PACUNHIMSAN VEDA TATTWARTHAWID DWIJAH, ATMANAM CA PASUM CAIWA GAMAYATYUTTAMAM GATIM

Seorang Dwijati (Brahmana) yang mengetahui arti sebenarnya dari Weda, menyembelih seekor hewan dengan tujuan-tujuan tersebut di atas menyebabkan dirinya sendiri bersama-sama hewan itu masuk ke keadaan yang sangat membahagiakan.

ULAM CARU EKA SATA (urip 33)
berikut ini sususan ulam caru menurut "Lontar Somia Mandala", dimana dalam penyusunan ulam tersebut dipilah menjadi 3 dan dibatasi dengan alas kelabang. dan sebagai dasar adalah rajah caru eka sata atau ayam brumbun dengan urip 33.
ini rajah untuk dasar CARU EKA SATA
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGviEvSnAw9sQOJEWC9WIZ-QDzqeTb6qOJIUazdlNrkz4DQvO_hf-Ki5tm4ldhc8Wu1PD_koD3Xr1XKxtcxkBrD13fEq8He0S09ul4oTrx95YegRsgoRqv7OBcJofAyywJG4x5J_xj9XUW/s320/Sukawati-20111005-00289.jpg
rajah caru ayam brumbun

Ulam Caru Bagian Bawah

  • tatakan klabang 9 (sengkui butha matra), katur majeng sang ngawe urip, nawasanga.
  • Lawar (barak, putih, jukut) + lembat + asem + calon = 33 tanding

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9QNXaX-nwCwGnTreEgLV0-tD8nn7DbYOROE0TDkyUr93gJGmsvhhg5dkP4tSWHH_P0U7Y0ob3Yh3BYt_WxcyzZrEItrLpkBJxydj1Mf4YWble_WjOK3k66k9R7jbVuikczhG82sGLMXTA/s320/Sukawati-20111005-00290.jpg
kelabang urip 9 (sengkui butha matra)
setelah kelabang butha matra ditaruh diatas rajah dasar caru, kemudian diletakkan ulam lawar satenya. yang beralaskan daun pisang. adapun komposisi dari ulam ini adalah:


  • Lawar Barak: seperti lawar biasa untuk dikonsumsi yang sudah sering dibuat dibali, dimana komposisi lawar ini adalah daging dari ayam caru ini dicampur darah dengan sedikit sambal,  terasi goreng, garam dan merica, dicampur nangka dan kelapa yang sudah dirajang halus, terakhir masukan bawang merah serta bawang putih goreng.
  • Lawar Putih: komposisinya sama seperti lawar barak, hanya saja tanpa darah.
  • Lawar Gadang atau Jangan (jukut), komposisinya hampir sama dengan lawar putih, tapi ditambah sedikit sayur (biasanya digukan daun belimbing) dan dicampur kalas (santan + daging+bumbung rajang gede, kemudian direbus) dan sedikit gula aren. 
  • Sate lembat: merupakan sate lilit biasa, cara membuatnya: daging /tulang leher dan dada ayam di cincang kemudian ditumbuk sampai tulangnya menjadi lembut. kemudian daging tersebut dicampur gula aren, aduk sampai dagingnya benar-benar lengket dan menyatu, ditambah terasi  dan sedikit garam, setelah itu masukkan kelapa parut diaduk sampai merata, setelah itu baru masukkan sambal rajang gede yang masih mentah. setelah jadi lilit seperti membuat sate biasa.
  • Sate Calon, merupakan sejenis sate yang terbuat dari pisang yang ditusuk dengan batang sate, kemudian dilumuri tepung terigu yang sudah dicampur sedikit air. atau bisa juga menggunakan cara kedua, yaitu: pisang dan jajan bali (jaje uli) ditumbuk sampai merata dan halus, kemudian diaduk dengan sedikit base rajang (sambal rajang gede) kemudian di pepes. setelah pepesnya setengah mateng baru dililitkan dibatang satenya yang terbuat dari pelepah daun kelapa.
  • Sate Asem, merupakan sate tusuk bisa yang bahannya bisa diambil dari jeroan ayam carunya.
  • Sambal dan Garam, ditaruh di pojok alas daun pisangnya.

ajengan caru
buat ajengan caru seperti gambar diatas sebanyak 33 buah, kemdian taruh diatas kelabang / Sengkui Butha Matra yang sudah siap, sehingga terlihat seperti gambar berukut ini:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhY7uzj9ykBa-l8Xivz9_iJpGnlONJrOUyBRLUBfYsQQayuKUeumeKlRUe8zNbreysWuSMqE3G-3DC7VYhfBliWwlXyjStrkgjlCqC55dQoABQ-q569KZibl9Qee6tpeyZtsxeipkTgykbk/s320/lawar+dasar.jpg
ajengan caru pada dasar ulam banten caru
sejumlah 33 tanding

Ulam Caru Bagian Tengah
  • Tatakan klabang 7 (sengkui Prana Matra) pinaka sapta petala
  • Lawar+ lembat = 33 tanding
untuk bagian tengah diawali dengan menaruh kelabang urip 7 diatas ulam caru dasar seperti yang sudah dipaparkan diatas. berikut contohnya:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiVYoRo8DTDTZWY-Pd_ASf4bGvLMxl1s5-6n0eGNNy8gZneA0FB1eEyiDBtF_gUOWc1dcjq2ZkCPPjlwq7T47PSeeJQwegeAyRQobD4Z_K_2X0wzc2qz_ZnJkzDOAr8rKZWWipUR2VX-B4/s320/sengkui+7.jpg
sengkui Prana Matra urip 7

diatas sengkui Prana Matra diisi kembali dengan ulam caru sebanyak 33 tanding seperti diatas, tapi tanpa sate calon dan sate asem, seperti gambar berikut:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPYpQqzO30zqW8YZ-wY0Mla_fkRkhea7go63py9H-FrqSl0aHZFJWndFctsjMqUgQpUfIFeYJGF0B7RaL45o7jm1OaL9Eg4u7nh1yNaY4MLnIx-ZvJBb2xkY0ykuV8ioJcza-Qx4sTIPfd/s320/ulam+atas.jpg

Ulam Caru Bagian Atas
  • Tatakan klabang 5 (sengkui Pradnya Matra), pinaka pangider buana
  • Bakaran alit
  • Balung Gending
  • Lawar + lembat + asem + calon = 1 tanding
Sebagai sekat antara ulam caru bagian tengah dan atas, digunakan kelabang urip 5  atau sengkui Pradnya Matra yang merupakan simbol arah mata angin atau ider bhuana. berikut contoh gambarnya:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiY52mXOAEqNjp5XdLgtU3fjiiI7onbEnKFq7XNFP5du3Z_sPOmvglhiCaqYFWFWbQXnOhCFAO-TD_iYWgOTZ3URflQzX35XziQA6Zf0KnHoA_pbij2X7ck35JvwHPts0Bqbv8uRJ4VrDH1/s320/sengkui+3.jpg
sengkui Pradnya Matra urip 5
setelah itu, di isi  dengan 1 takir "balung gending (tulang pangkal paha) dengan sambal dan garamnya, serta 1 takir "bakaran Alit (hati, jantung, usus, limpa, paru dan darah, kesemuanya masih mentah),seperti gambar berikut:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7TA72K_xvtUVEGlyVXyoPUeEQdBWz787sBcOGdY2WRm7pOuyX1-F-Wsk_2-mLNV9Kai_oPEW232F5ocaMRIrmVzYSzmlnITGEeenII0NXltE15yW0HFva-WVXxE5dplyaIgxZrNfH2cZu/s320/Sukawati-20111005-00296.jpg
Balung gending (kiri) dan Bakaran Alit (kanan)
diatasnya di isi dengan ulam caru seperti waktu di bagian tengah, seperti gambar berikut ini:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYCLktE61zq-Uvm969wIFV_jrkZi2NBhYopgampXrTQLWKIptGtTyXLxIcmcqblCjzwU8G1N4WQujwnRYLP8H72Lrzmgvw82bcgOp6sfA3uxZRXMub-iEfyarMSlciQzpRArhM3pgaHP61/s320/Sukawati-20111005-00297.jpg
ulam caru
diatasnya taruh layang- layang (blulang ayam), seperti berikut
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEji9x011b2e-tSZY9-uO67FYCvr7M6mEUt6yQfJ47U6rr4S0mzI0e-QTf1HcKEPiEeEio8CFirSivset9ht0QUXBfzKJW61zMSuQ6sbTNZrKRVh13oyrP0S2N9pHebJNjgBmnRwma0b-H64/s320/Sukawati-20111005-00299.jpg
layang - layang ayam brumbun
demikian sedikit bayangan tentang caru smoga dapat bermanfaat,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar