Kamis, 16 Februari 2017

ARTI DAN FUNGSI UPAKARA


ARTI DAN FUNSI SARANA UPAKARA
Berbhakti kehadapan Ida Sang Hyang WIdhi Wasa adalah salah satu bentuk pengamalan ajaran Agama Hindu, selain jalan bhakti masih ada jalan lain yang ditempuh oleh umat Hindu yang termasuk catur marga diantaranya Karma Marga, jnyana Marga dan Raja yoga Marga. Keempat jalan menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa tersebut memang tidak dapat dilepaskan satu sama lainnya. Ketika Umat Hindu melaksanakan Bhakti Marga hendaknya harus dilengkapi pula oleh pemahaman tentang hakekat bhakti tersebut dengan Ilmu pengetahuan (Jnyana Marga), untuk mewujudkan bhakti tersebut juga tidak akan terlepas dengan kerja (Karma Marga), ketika ketiga marga tersebut telah sempurna dilaksanakan niscaya akan tercapai yang namanya Raja Yoga Marga.
Berbhakti kepada Tuhan dalam ajaran agama Hindu ada dua tahap/cara, pertama bagi mereka yang memiliki ilmu pengetahuan terbatas tentang weda maka mereka bisa menempuh jalan “Apara Bhakti” yakni berbhakti dengan menggunakan berbagai macam sarana atau simbul-simbul. Sedangkan “Para Bhakti” adalah mereka yang berbhakti kepada Tuhan dengan jalan bermeditasi, bertapa brata, yoga dan semadi. Mereka tidak lagi terikat oleh simbul-simbul dan sarana upakara untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam Bhakti marga banyak sekali sarana upakara dan simbul simbul yang menggambarkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa, seperti misalnya Bunga, Daun, Buah, dan Air seperti yang tersurat dalam pustaka Bhagavadgita IX, 26
“Pattram puspam phalam toyam, Yo me bhaktya prayaccati
Tad aham bhaktyupahrtam, Asnami prayatatmanah”
Artinya : Siapa yang dengan kesujudan hati mempersembahkan kepadaku daun, bunga, buah-buahan dan air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci aku terima.

 ARTI DAN FUNGSI BUNGA
Ada dua fungsi bunga yang penting dalam upakara, pertama berfungsi sebagai symbol Tuhan (Siwa) dan yang kedua berfungsi sebagai persembahan kehadapan Tuhan. Sebagai simbul Ida Sang Hyang Widhi bunga diletakan menyembul pada puncak cakupan tangan disaat menyembah Ida Sang Hyang Widhi, ketika menyembah ujung jari-jari tangan datar dengan ubun-ubun (Siwa dwara) dengan ibu jari menyentuh kening. Siwa dwara artinya tempat Siwa, ketika kita sadari bahwa ubun-ubun adalah tempat yang paling suci diantara tubuh manusia, maka disanalah tuhan/Atman bertahta. Ketika kita sembahyang/menyembah Tuhan dalam “Saguna Brahman”dan “Guna Brahman”maka perlu disimbulkan dalam kenyataan alam semesta ini, dengan jalam memberikan warna yang tepat terhadap aspek dan kerja beliau. Misalkan dalam persembahan kehadapan Hyang Widhi sebagai penguasa surya/Siwa Aditya di Padmasana (Saguna Brahman), maka bunga yang mesti dipakai adalah yang mempunyai warna “Putih”. Ada dua alasan untuk memberikan warna tersebut, yang pertama Siwa Aditya adalah unsure maskulin/Purusa, ketika bicara purusa/laki-laki adalah identik dengan kama “Petak”,maka dari itu untuk melambangkan unsure purusa tersebut sangatlah tepat jika menggunakan bunga warna putih. Disisi lain dalam puja “Surya Astawa” juga terdapa petikan “Sweta pangkaja madyastha” yang artinya Tuhan yang duduk di tengah-tengah teratai putih, maka sangatlah tepat jika kita menggunakan bunga berwarna putih untuk menyembah kehadapan Hyang Siwa Aditya dalam wujud purusa. Sebagai predana Tuhan diwujudkan dalam bentuk “Ibu Pertiwi”,beliau menguasai sapta patala/Dasar. Ibu yang memiliki kama “Bang”/merah diwujudkan dalam persembahyangan dengan bunga yang berwarna merah, itu didasarkan atas pengertian sebagai pencipta/utpeti adalah “brahma”,yang mana dari Ibulah lahir semua yang ada di alam semesta ini. Ibu Pertiwi melahirkan tumbuh-tumbuhan, Ibu dari hewan dan manusia melahirkan anak-anaknya. Jadi Ibu adalah utpeti/Brahma yang dilambangkan dengan warna merah (Brahma betara wisnawi), stana beliaupun di Sapta Patala/dasar akan didominasi oleh warna merah. Bunga hitam/pelung banyak digunakan untuk memuja kebesaran Hyang Widhi dalam manipestasi beliau sebagai dewa Wisnu (pemelihara), hitam identik dengan “Udaka”/air yang berarti ‘Amertha”/kehidupan. Dewa yang berfungsi untuk memelihara kehidupan ini adalah dewa Wisnu, persembahyangan ke segara, sungai, mata air dan lainnya yang terkait dengan air selalu menggunakan bunga berwarna hitam. Kalau di pura yang memiliki pelinggih “lebuh”akan menggunakan warna hitam sebagai ornamennya, ini didasari dengan penjelasan dalam lontar Sundarigama yang menyatakan bahwa lebuh sebagai lingga Siwa Baruna penguasa lautan/air/amertha/kehidupan. Jadi idealnya palinggih lebuh tersebut dihiasi dengan busana hitam, sebagai penghormatan terhadap dewa Wisnu yang membawa ‘Amertha Kamandalu”, disaat melaksanakan “pepranian” pelinggih lebuh juga sebagai tempat pelaksanaanya, ini dimaksud karena kata pepranian tersebut berkata dasar “Prani” yang artinya prana/kehidupan (sarwa prani hitangkarah), jadi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih sempurna maka dilaksanakanlah pepranian dengan memohon tirtha amertha kamandalu di tengah samudra/lebuh.
Untuk menyembah Tuhan dalam Guna Brahman/Ista Dewata maka sanagtlah bijak jika menggunakan Kwangen. Kwangen berasal dari bahasa jawa kuno dari kata “wangi” atau harum. Kata wangi mendapat awalan “ka” dan akhiran “an” menjadi kawangian lalu disandikan menjadi kwangen. Dalam Lontar Sri Jaya Kasunu kwangen disebutkan sebagai lambang “Omkara”, kojongnya sebagai ardha candra, uang bolong sebagai windu dan reringgitan sebagai nada, ketika ketiga unsure tersebut disatukan maka akan membentuk OM. Bunga warna-warni ditambahkan sebagai pengharum/ mengharumkan Ida Sang Hyang Widhi. Kwangen dipersembahkan menghadap ke Siwa Dwara artinya begitu energy Brahman/Tuhan dapat kita tarik akan terjadi kontak antara Atman dengan Brahman (Atman Brahmanakyam), seolah-olah komunikasi terjalin antara sang jiwa dengan sang pencipta. Demikianlah warna-warni bunga untuk melambangkan kebesaran sang pencipta/ Hyang Widhi, amatlah penting untuk kita ketahui agar tidak salah kaprah, ketika kita melambangkan/ menyimbulkan Hyang Widhi dengan berbagai aspek kerja/Dharma beliau maka sangatlah bijak jika kita dapat memahami tattwa yang tersirat dalam lambang/simbul tersebut.

BUNGA SEBAGAI PERSEMBAHAN
Dalam Bhakti Marga persembahan adalah hal yang mutlak diperlukan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan, Umat Hindu membuat persembahan yang paling sederhana adalah “canang”. Kata canang berasal dari bahasa jawa kuno yang berarti sirih/base. Pada zaman dahulu tradisi makan sirih sangatlah kental dilakukan untuk menghormati tamu-tamu penting, bahkan dalam kekawin nitisastra disuratkan “Masepi tikang waktra tan amucang wang” Artinya : sepi rasanya mulut itu tiada makan sirih. Jadi sirih/base sangatlah penting kedudukannya pada zaman itu, ketika Agama Hindu Bali mulai mengenal banten maka salah satu wujudnya dinamakan canang. Canang tersebut terbuat dari ceper yang dilengkapi dengan “porosan” terbuat dari sirih/base, lalu bunga warna –warni dan kembang rampe, jika tanpa porosan maka susunan tersebut belumlah bernama canang. Untuk menghasilkan canang yang mempunyai nilai tinggi maka penyusunan bunganya haruslah tepat, yang mana bunga putih ditaruh pada pojok kanan atas akan melambangka Dewa Iswara/arah timur, kemudian bunga berwarna merah ditaruh pada pojok kanan bawah sebagai lambing Dewa Brahma/arah selatan, lalu bunga kuning pada pojok kiri bawah sebagai lambing Dewa Mahadewa/barat dan bunga hitam pada pojok kiri atas sebagai lambing Dewa Wisnu/utara, di tengah-tengah ditaruh kembang rampe sebagai lambing Dewa Siwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar