ARTI DAN FUNSI SARANA UPAKARA
Berbhakti kehadapan Ida Sang Hyang WIdhi Wasa adalah
salah satu bentuk pengamalan ajaran Agama Hindu, selain jalan bhakti masih ada
jalan lain yang ditempuh oleh umat Hindu yang termasuk catur marga diantaranya
Karma Marga, jnyana Marga dan Raja yoga Marga. Keempat jalan menghubungkan diri
dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa tersebut memang tidak dapat dilepaskan satu
sama lainnya. Ketika Umat Hindu melaksanakan Bhakti Marga hendaknya harus
dilengkapi pula oleh pemahaman tentang hakekat bhakti tersebut dengan Ilmu
pengetahuan (Jnyana Marga), untuk mewujudkan bhakti tersebut juga tidak akan
terlepas dengan kerja (Karma Marga), ketika ketiga marga tersebut telah
sempurna dilaksanakan niscaya akan tercapai yang namanya Raja Yoga Marga.
Berbhakti kepada Tuhan dalam ajaran agama Hindu ada dua tahap/cara,
pertama bagi mereka yang memiliki ilmu pengetahuan terbatas tentang weda maka
mereka bisa menempuh jalan “Apara Bhakti” yakni berbhakti dengan menggunakan
berbagai macam sarana atau simbul-simbul. Sedangkan “Para Bhakti” adalah mereka
yang berbhakti kepada Tuhan dengan jalan bermeditasi, bertapa brata, yoga dan
semadi. Mereka tidak lagi terikat oleh simbul-simbul dan sarana upakara untuk
menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam Bhakti marga banyak
sekali sarana upakara dan simbul simbul yang menggambarkan kebesaran Tuhan Yang
Maha Esa, seperti misalnya Bunga, Daun, Buah, dan Air seperti yang tersurat
dalam pustaka Bhagavadgita IX, 26
“Pattram puspam phalam toyam, Yo me bhaktya prayaccati
Tad aham bhaktyupahrtam, Asnami prayatatmanah”
Artinya : Siapa yang dengan
kesujudan hati mempersembahkan kepadaku daun, bunga, buah-buahan dan air,
persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci aku
terima.
ARTI DAN FUNGSI BUNGA
Ada dua fungsi bunga yang penting dalam upakara, pertama berfungsi
sebagai symbol Tuhan (Siwa) dan yang kedua berfungsi sebagai persembahan
kehadapan Tuhan. Sebagai simbul Ida Sang Hyang Widhi bunga diletakan menyembul
pada puncak cakupan tangan disaat menyembah Ida Sang Hyang Widhi, ketika
menyembah ujung jari-jari tangan datar dengan ubun-ubun (Siwa dwara) dengan ibu
jari menyentuh kening. Siwa dwara artinya tempat Siwa, ketika kita sadari bahwa
ubun-ubun adalah tempat yang paling suci diantara tubuh manusia, maka disanalah
tuhan/Atman bertahta. Ketika kita sembahyang/menyembah Tuhan dalam “Saguna
Brahman”dan “Guna Brahman”maka perlu disimbulkan dalam kenyataan alam semesta
ini, dengan jalam memberikan warna yang tepat terhadap aspek dan kerja beliau.
Misalkan dalam persembahan kehadapan Hyang Widhi sebagai penguasa surya/Siwa
Aditya di Padmasana (Saguna Brahman), maka bunga yang mesti dipakai adalah yang
mempunyai warna “Putih”. Ada dua alasan untuk memberikan warna tersebut, yang
pertama Siwa Aditya adalah unsure maskulin/Purusa, ketika bicara
purusa/laki-laki adalah identik dengan kama “Petak”,maka dari itu untuk
melambangkan unsure purusa tersebut sangatlah tepat jika menggunakan bunga
warna putih. Disisi lain dalam puja “Surya Astawa” juga terdapa petikan “Sweta
pangkaja madyastha” yang artinya Tuhan yang duduk di tengah-tengah teratai
putih, maka sangatlah tepat jika kita menggunakan bunga berwarna putih untuk
menyembah kehadapan Hyang Siwa Aditya dalam wujud purusa. Sebagai predana Tuhan
diwujudkan dalam bentuk “Ibu Pertiwi”,beliau menguasai sapta patala/Dasar. Ibu
yang memiliki kama “Bang”/merah diwujudkan dalam persembahyangan dengan bunga
yang berwarna merah, itu didasarkan atas pengertian sebagai pencipta/utpeti
adalah “brahma”,yang mana dari Ibulah lahir semua yang ada di alam semesta ini.
Ibu Pertiwi melahirkan tumbuh-tumbuhan, Ibu dari hewan dan manusia melahirkan
anak-anaknya. Jadi Ibu adalah utpeti/Brahma yang dilambangkan dengan warna
merah (Brahma betara wisnawi), stana beliaupun di Sapta Patala/dasar akan
didominasi oleh warna merah. Bunga hitam/pelung banyak digunakan untuk memuja
kebesaran Hyang Widhi dalam manipestasi beliau sebagai dewa Wisnu (pemelihara),
hitam identik dengan “Udaka”/air yang berarti ‘Amertha”/kehidupan. Dewa yang
berfungsi untuk memelihara kehidupan ini adalah dewa Wisnu, persembahyangan ke
segara, sungai, mata air dan lainnya yang terkait dengan air selalu menggunakan
bunga berwarna hitam. Kalau di pura yang memiliki pelinggih “lebuh”akan
menggunakan warna hitam sebagai ornamennya, ini didasari dengan penjelasan
dalam lontar Sundarigama yang menyatakan bahwa lebuh sebagai lingga Siwa Baruna
penguasa lautan/air/amertha/kehidupan. Jadi idealnya palinggih lebuh tersebut
dihiasi dengan busana hitam, sebagai penghormatan terhadap dewa Wisnu yang
membawa ‘Amertha Kamandalu”, disaat melaksanakan “pepranian” pelinggih lebuh
juga sebagai tempat pelaksanaanya, ini dimaksud karena kata pepranian tersebut
berkata dasar “Prani” yang artinya prana/kehidupan (sarwa prani hitangkarah),
jadi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih sempurna maka dilaksanakanlah
pepranian dengan memohon tirtha amertha kamandalu di tengah samudra/lebuh.
Untuk menyembah Tuhan dalam Guna Brahman/Ista Dewata maka sanagtlah
bijak jika menggunakan Kwangen. Kwangen berasal dari bahasa jawa kuno dari kata
“wangi” atau harum. Kata wangi mendapat awalan “ka” dan akhiran “an” menjadi
kawangian lalu disandikan menjadi kwangen. Dalam Lontar Sri Jaya Kasunu kwangen
disebutkan sebagai lambang “Omkara”, kojongnya sebagai ardha candra, uang
bolong sebagai windu dan reringgitan sebagai nada, ketika ketiga unsure
tersebut disatukan maka akan membentuk OM. Bunga warna-warni ditambahkan
sebagai pengharum/ mengharumkan Ida Sang Hyang Widhi. Kwangen dipersembahkan
menghadap ke Siwa Dwara artinya begitu energy Brahman/Tuhan dapat kita tarik
akan terjadi kontak antara Atman dengan Brahman (Atman Brahmanakyam),
seolah-olah komunikasi terjalin antara sang jiwa dengan sang pencipta.
Demikianlah warna-warni bunga untuk melambangkan kebesaran sang pencipta/ Hyang
Widhi, amatlah penting untuk kita ketahui agar tidak salah kaprah, ketika kita
melambangkan/ menyimbulkan Hyang Widhi dengan berbagai aspek kerja/Dharma
beliau maka sangatlah bijak jika kita dapat memahami tattwa yang tersirat dalam
lambang/simbul tersebut.
BUNGA SEBAGAI PERSEMBAHAN
Dalam Bhakti Marga persembahan adalah hal yang mutlak diperlukan untuk
menghubungkan diri dengan Tuhan, Umat Hindu membuat persembahan yang paling
sederhana adalah “canang”. Kata canang berasal dari bahasa jawa kuno yang
berarti sirih/base. Pada zaman dahulu tradisi makan sirih sangatlah kental
dilakukan untuk menghormati tamu-tamu penting, bahkan dalam kekawin nitisastra
disuratkan “Masepi tikang waktra tan amucang wang” Artinya : sepi rasanya mulut
itu tiada makan sirih. Jadi sirih/base sangatlah penting kedudukannya pada
zaman itu, ketika Agama Hindu Bali mulai mengenal banten maka salah satu wujudnya
dinamakan canang. Canang tersebut terbuat dari ceper yang dilengkapi dengan
“porosan” terbuat dari sirih/base, lalu bunga warna –warni dan kembang rampe,
jika tanpa porosan maka susunan tersebut belumlah bernama canang. Untuk
menghasilkan canang yang mempunyai nilai tinggi maka penyusunan bunganya
haruslah tepat, yang mana bunga putih ditaruh pada pojok kanan atas akan
melambangka Dewa Iswara/arah timur, kemudian bunga berwarna merah ditaruh pada
pojok kanan bawah sebagai lambing Dewa Brahma/arah selatan, lalu bunga kuning
pada pojok kiri bawah sebagai lambing Dewa Mahadewa/barat dan bunga hitam pada
pojok kiri atas sebagai lambing Dewa Wisnu/utara, di tengah-tengah ditaruh
kembang rampe sebagai lambing Dewa Siwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar